Buku Obral, Belanja Konsumtif dan Perpustakaan Pribadi
Hari selasa kemarin saya beli buku di gerai Mizan Gerlong. Lagi obral. Saya beli lima buku cuma empat puluh sembilan ribu. Buku buku bagus lagi. Novel Samurai, buku pengembangan diri Hermawan Kertajaya, dan buku biografi tentang Laura Ingalls diantaranya. Belum saya buku satupun saya baca. Semua masih disimpan di rak, numpuk sama buku buku lain (yang juga belum dibaca)
Belakangan saya jadi sering hunting buku buku obral. Salah satu tempat favorit saya sih di Gramedia Medeka. Ada tempat khusus jual buku obral yang lokasinya dipisah dengan buku buku dengan harga normal. Kisaran hargaya dari lima ribu sampai lima puluh ribu. Paling ngga, saya dua minggu sekali pergi ke sana. kalau ada buku bagus saya beli, mungkin tiga buah, mungkin juga lima. Lumayan, kan harganya lagi miring. Lagi pula kualitasnya juga bagus. Bisa jadi itu buku buku yang ngga laku dijual dengan harga reguler.
Cita cita sederhananya sih saya ingin punya perpustakaan pribadi. Jadi kalau saya nyari bahan buat nulis, baik fiksi ataupun non fiksi saya bisa gampang dapatnya. Riset bisa langsung dilakukan di tempat. Sampai sekarang saya masih ngumpulin buku. Mudah mudahan jumlahnya terus nambah. Soal koleksi buku sendiri, saya jadi ingat dengan baliho besar di gedung lantai dua Gramedia Merdeka yang bilang, “Room Without Books, Like a Body Without Soul.” Bagus sekali kata kata itu ya boi?
Kenyataanya sekarang orang orang lebih senang buat beli barang barang mewah, yang paling trend adalah telepon genggam tentu saja. Konsumsi belanja royal untuk memenuhi kebutuhan yang sebenarnya masuk ke dalam kategori tersier bikin orang rela melakukan apa saja. Di China ada ABG yang rela menjual ginjal cuma untuk bisa beli Ipod, kasus ABG perempuan yang melacurkan diri agar bisa tampil up to date juga sudah jadi hal yang jamak. Bombardemen iklan yang manipulatif namun seksi dan menggoda, tak selaras dengan kemampuan tiap orang untuk menggapainnya. Maka yang muncul kemudian adalah menghalalkan segala cara. Lebih jauh, yang muncul adalah sikap latah. Sikap membebek mengikuti trend tertentu. Eksitensi ditakar dengan neraca materi macam memilki gadget teranyar dan sejenisnya.
Soal ini, saya jadi ingat dengan ceramah Aa Gym yang bilang, “Apa bedanya pemuda Jepang sama pemuda Indonesia?” kemudian, Aa Gym sendiri yang menjawab, “bedanya pemuda Jepang sudah bisa bikin HP, pemuda Indonesia baru bisa pake HP.” Ungkapan yang sejatinya adalah sindiran atas pemuda pemuda yang miskin kreatifitas. Ungkapan yang mustinya membuat para pemuda malu karena mereka sekadar menjadi objek pasar, tanpa bisa mengambil peran atas pasar itu sendiri.
Tak ada yang berhak membatasi hasrat konsumsi seseorang. Uang adalah kuasa pemiliknya. Hendak digunakan untuk apa, terserah sang pemilik. Tapi sekiranya menghendaki nilai tambah, uang yang dapat diartikan juga sebagai modal itu, sekian persennya dapat dialokasikan untuk belanja produktif. Membeli buku adalah salah satunya.
Menumbuhkan hasrat belanja buku, terutama pada pemuda yang cenderung konsumtif memang pekerjaan yang tidak mudah. Kendati begitu, bukan berarti harana selamanya kan pupus. Paling tidak, tiap orang memilki minat atau ketertarikan sendiri sendiri, seperti masak, traveling, belanja atau apa saja. Konsumsi buku mungkin terjadi bila calon pembaca dan jenis buku sudah klop. Orang bisa menggali minat mereka lebih dalam dari buku buku yang berkaitan dengan minat itu sendiri.
Kemudian, lebih jauh dari itu konsep mengumpulkan buku sebanayak mungkin juga bisa jadi jalan keluar. Ini bukan soal mubazir karena banyak beli buku tapi tak dibaca. Ini soal menumbuhkan ketertarikan. Hal paling esensial adalah perbanyak saja bukunya nanti lama lama muncul ketertarikan buat baca.
Saya sendiri ngga minat buat belanja barang barang seperti itu. Ini soal selera saja. Saya lebih senang jalan jalan, atau nonton atau kadang beli buku. Tentu ngga ada yang berhak melarang untuk beli barang mewah. Tapi sekali lagi sekiranya masih bisa ditahan, kita bisa mengalihkan anggaran belanja ke kebutuhan yang punya nilai tambah. Pertimbangan yang matang, berpikir sebelum bertindak, memutuskan yang terbaik, adalah hal hal yang membedakan antara manusia dan hewan. Buku bisa menjadi jembatan yang mengatarkan gerbong panjang konsumerisme pada produktifitas.
Belakangan saya jadi sering hunting buku buku obral. Salah satu tempat favorit saya sih di Gramedia Medeka. Ada tempat khusus jual buku obral yang lokasinya dipisah dengan buku buku dengan harga normal. Kisaran hargaya dari lima ribu sampai lima puluh ribu. Paling ngga, saya dua minggu sekali pergi ke sana. kalau ada buku bagus saya beli, mungkin tiga buah, mungkin juga lima. Lumayan, kan harganya lagi miring. Lagi pula kualitasnya juga bagus. Bisa jadi itu buku buku yang ngga laku dijual dengan harga reguler.
Cita cita sederhananya sih saya ingin punya perpustakaan pribadi. Jadi kalau saya nyari bahan buat nulis, baik fiksi ataupun non fiksi saya bisa gampang dapatnya. Riset bisa langsung dilakukan di tempat. Sampai sekarang saya masih ngumpulin buku. Mudah mudahan jumlahnya terus nambah. Soal koleksi buku sendiri, saya jadi ingat dengan baliho besar di gedung lantai dua Gramedia Merdeka yang bilang, “Room Without Books, Like a Body Without Soul.” Bagus sekali kata kata itu ya boi?
Kenyataanya sekarang orang orang lebih senang buat beli barang barang mewah, yang paling trend adalah telepon genggam tentu saja. Konsumsi belanja royal untuk memenuhi kebutuhan yang sebenarnya masuk ke dalam kategori tersier bikin orang rela melakukan apa saja. Di China ada ABG yang rela menjual ginjal cuma untuk bisa beli Ipod, kasus ABG perempuan yang melacurkan diri agar bisa tampil up to date juga sudah jadi hal yang jamak. Bombardemen iklan yang manipulatif namun seksi dan menggoda, tak selaras dengan kemampuan tiap orang untuk menggapainnya. Maka yang muncul kemudian adalah menghalalkan segala cara. Lebih jauh, yang muncul adalah sikap latah. Sikap membebek mengikuti trend tertentu. Eksitensi ditakar dengan neraca materi macam memilki gadget teranyar dan sejenisnya.
Soal ini, saya jadi ingat dengan ceramah Aa Gym yang bilang, “Apa bedanya pemuda Jepang sama pemuda Indonesia?” kemudian, Aa Gym sendiri yang menjawab, “bedanya pemuda Jepang sudah bisa bikin HP, pemuda Indonesia baru bisa pake HP.” Ungkapan yang sejatinya adalah sindiran atas pemuda pemuda yang miskin kreatifitas. Ungkapan yang mustinya membuat para pemuda malu karena mereka sekadar menjadi objek pasar, tanpa bisa mengambil peran atas pasar itu sendiri.
Tak ada yang berhak membatasi hasrat konsumsi seseorang. Uang adalah kuasa pemiliknya. Hendak digunakan untuk apa, terserah sang pemilik. Tapi sekiranya menghendaki nilai tambah, uang yang dapat diartikan juga sebagai modal itu, sekian persennya dapat dialokasikan untuk belanja produktif. Membeli buku adalah salah satunya.
Menumbuhkan hasrat belanja buku, terutama pada pemuda yang cenderung konsumtif memang pekerjaan yang tidak mudah. Kendati begitu, bukan berarti harana selamanya kan pupus. Paling tidak, tiap orang memilki minat atau ketertarikan sendiri sendiri, seperti masak, traveling, belanja atau apa saja. Konsumsi buku mungkin terjadi bila calon pembaca dan jenis buku sudah klop. Orang bisa menggali minat mereka lebih dalam dari buku buku yang berkaitan dengan minat itu sendiri.
Kemudian, lebih jauh dari itu konsep mengumpulkan buku sebanayak mungkin juga bisa jadi jalan keluar. Ini bukan soal mubazir karena banyak beli buku tapi tak dibaca. Ini soal menumbuhkan ketertarikan. Hal paling esensial adalah perbanyak saja bukunya nanti lama lama muncul ketertarikan buat baca.
Saya sendiri ngga minat buat belanja barang barang seperti itu. Ini soal selera saja. Saya lebih senang jalan jalan, atau nonton atau kadang beli buku. Tentu ngga ada yang berhak melarang untuk beli barang mewah. Tapi sekali lagi sekiranya masih bisa ditahan, kita bisa mengalihkan anggaran belanja ke kebutuhan yang punya nilai tambah. Pertimbangan yang matang, berpikir sebelum bertindak, memutuskan yang terbaik, adalah hal hal yang membedakan antara manusia dan hewan. Buku bisa menjadi jembatan yang mengatarkan gerbong panjang konsumerisme pada produktifitas.
Komentar
senang bisa berkunjung kemari
Kunjungi juga Ke Blog Gua ya
salngsung meluncur ke TKP ^^
salngsung meluncur ke TKP ^^
tapi kayaknya bukan cuman masalah saya doank yah///