Revitalisasi Braga Menjadi Jalan Budaya
Mengembalikan
kejayaan Jalan Braga merupakan suatu keniscayaan. Menjadikannya sebagai
primadona wisata laiknya tempo dulu adalah suatu ikitad yang musti disikapi
pula dengan antusias. Seperti disebut dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe
karya Haryoto Kunto, pada masa jayanya Braga dijuluki sebagai “de meest Europessche winkelstraat van
Indie” atau komplek pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia-Belanda.
Ungkapan Paris Van Java atau Parisnya Jawa
bermula dari jalan ini. Kehadirannya menjadi magnet bagi tiap orang tuk
berkunjung. Sederet pertokoan elit dengan bangunan bergaya art deco khas eropa di sepanjang jalannya, membuat Braga memiliki
nilai plus di banding jalan-jalan lain di Bandung saat itu. Glamor,
elit, elegan dan berkelas adalah citra yang terdanding padanya.
Namun tak dapat dimungkiri seiring
perkembangan jaman, pamor Braga lambat laun memudar. Proses modenerisasi di
segala lini, menggilas peran Braga yang
sejatinya bukan cuma area wisata tapi juga kawasan bersejarah. Pemugaran
bangunan tua yang serampangan, terbengkalainya gedung-gedung penting yang alpa
dilestarikan, semrawutnya trotoar dan badan jalan, merupakan potret suram Braga
masa kini. Lantas pertanyaanya, apa yang musti dilakukan guna menyikapi hal
itu?
Dari
Jalan Culik hingga Parisnya Jawa
Bila merunut asal usulnya, istilah
Braga memiliki sejumlah versi. Dalam
beberapa literatur kata Braga diyakini berasal dari nama sebuah perkumpulan
drama Belanda yang didirikan Peter Sijthot, seorang Asisten Residen pada 18
Juni 1882. Pemilihan Braga sebagai nama kelompok diduga kuat diambil dari nama
Theotilo Braga (1834 -1924), salah seorang penulis naskah pada perkumpulan
drama itu. Namanya kemudian diabadikan menjadi nama jalan yang kita kenal saat
ini. selain itu ada pula pendapat mengemuka jika Braga berasal dari nama dewi
puisi dalam mitologi jerman, Bragi.
Sedang
para budayawan Sunda semisal MA Salmun, berpendapat jika istilah Braga berasal
dari bahasa sunda yakni ‘baraga’, yaitu jalan yang ada di sepanjang sungai. Jika
seseorang berjalan menyusuri jalan tersebut maka disebut dengan istilah ‘ngabaraga’. Pada kenyataanya lokasi Jalan Braga memang
terletak di tepi sungai Cikapundung.
Terlepas dari beragamnya asal usul
istilah Braga, menarik untuk mengkaji lebih dalam runutan sejarah yang
mengantarnya hingga menjadi ikon Bandung. Seperti diungkapkan oleh Ir. David
Bambang Soediono, Pengurus Bandung
Society for Heritage Conservation, Bidang Lingkungan Alam dan Binaan dan
Staff Pengajar di Universitas Parahyangan jurusan Arsitektur, di situs
bandungheritage.com, secara singkat terdapat tiga hal yang melatar belakangi
lahirnya jalan Baraga, di antaranya.
- Pembangunan
Proyek Jalan Raya Pos yang digagas Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman
Willem Daendles (1801-1811). Jalan ini terbentang dari Anyer di Provinsi
Banten hingga Panarukan di Provinsi Jawa timur. Membentang sepanjang
seribu kilo meter. Di kawasan Bandung, jalan ini menjadi cikal bakal jalan
Jenderal Sudirman, Jalan Asia
Afrika dan Jalan Ahmad Yani.
- Pada 1831-1870 pemerintah kolonial Belanda
menerapkan politik tanam paksa atau cultuurstelsel.
Hal
ini disebabkan karena kondisi keuangan Belanda yang morat marit setelah
perang Diponegoro (1825-1830) dan perang-perang lain. Kopi merupakan salah
satu hasil tanam paksa itu. Kopi tersebut kemudian dikirim ke tempat
pengemasan atau Koffie Pankhuis
yang berada di kawasan Balai Kota Bandung kini. Jaraknya kira-kira satu kilo meter sebelah utara
Jalan Raya Pos.
- Dari Jalan Raya Pos terdapat jalan penghubung menuju Koffie Pankhuis. Jalan itu berlumpur dan becek. Karena sering di lewati pedati yang bolak balik ke tempat pengemasan kopi tuk mengantar hasil bumi maka di kenal sebagai nama Karren Weg atau Jalan Pedati sebelum Abad ke 20. kerena kerawanannya akan aksi kejahatan jalan ini pun di kenal sebagai jalan culik, kelak kehadirannya menjadi cikal bakal Jalan Braga.
Karrenweg, cikal balak Bragaweg atau jalan Braga |
Mulanya, tak ada yang menyangka jika
jalan sepanjang 700 meter ini akan menjadi kawasan paling Elit di Hindia
Belanda. Denyut perbahan mulai terasa saat berdirinya toko kelontong De Vries.
Para petani Priangan keturunan Belanda atau dikenal dengan Preanger Planters kerap mengunjunginya untuk membeli kebutuhan
sehari-hari. Kemudian kehadiran mengundang toko-toko lain bermunculan di Braga.
Hal itu membuat pamor Braga melesat memasuki awal abd ke 20.
Apalagi pada 1906 dibuat peraturan
standar bangunan toko di jalan tersebut, di mana bentuk mulai dari klasik hingga arsitektur
modern. Dikutip dari situs pda-id.org,
perombakan pada bangunan-bangunan di Jalan Braga dilakukan setelah tahun
1920-an secara drastis. Gemeentebestuur atau pemerintah kotapraja Bandung mengeluarkan aturan
jika tiap rumah dan toko di jalan itu harus didisain dalam gaya Barat termoderen
pada era itu. Dalam perjalanannya banyak para arsitek terlibat. Antara
lain bangunan-bangunan rancangan RA de Waal, Bennink, Brinkman, Gmelig Meyling,
Trio arsitek Bel-Kok & Piso. Tapi yang paling banyak adalah karya dua
bersaudara arsitek Prof Ir Richard LA Schoemaker dan adiknya, Prof Charles
Prosper Wolff Schoemaker. Sejak itu berbondong-bodonglah para pengusaha
keturunan Eropa untuk mendirikan toko di Braga
Onderling Belang, salah satu toko elit di Braga pada masa jayanya |
Untuk memfasilitasi para Preanger Planter kaya dan kaum elit
Eropa lainnya dalam bersosialisasi di bentuklah societeit Concordia yang kini
menjadi gedung Merdeka. Selain itu terdapat pula toko-toko elit semisal Butik
Au Bon Marche, yang cuma menyediakan pakaian impor dari Paris. Selain itu ada
pula toko jam Stocker yang cuma menyediakan jam buatan Swiss. Kemudian terdapat toko bunga Van Doup, Fuchs
& Rents yang merupakan toko mobil pertama di Hindia Belanda sampai penjahit
August Savelco yang menjadi langganan figure-figur terkenal macam JP. Coen dan Bung Karno. Mengunjungi Braga saat itu
menjadi gengsi tersendiri karena demikian elitnya jalan tersebut.
Pokok
Masalah
Begawan sastra Khalil Gibran
berkata, “Tidak ada yang tidak berubah,
kecuali perubahan itu sendiri”. Begitu pula dengan Braga. Seperti
disampaikan pada bagian awal, seiring perkembangan jaman perlahan pamor Braga
meredup. Mengutip situs berita arafuru.com, Sejak warga Belanda dan
Indo-Belanda hengkang dari kawasan tersebut pada 1957 jalan tersebut berangsur
sepi. Pembangunan di Bandung kemudian membuat keramagia kota tak tersentra pada satu titik. Bermunculan komplek pertokoan baru yang
menggeser posisi Barga sebagai tempat favorit. Sebutlah arena pertokoan Delam
Kaum, Bandung Indah Plaza, Paris Van Java, Cihampelas dan lain-lain.
Masih menurut arafuru.com, bahkan sejak 2005 sebanyak 45 persen pemilik usaha sekitar Braga gulung tikar alis menutup usaha. Akibatnya bangunan-bangunan bersejarah terbengkalai dengan kondisi menyedihkan. Sebagai contoh adalah gedung Sarinah atau Onderling Belang. Baik bagian luarnya telah dipenuhi lumut dan tumbuhan liar. Hal lebih menyedihkan adalah tak tampak lagi atap pada gedung tersebut. Sedang untuk menyembunyikan kekumuhannya hanya ditutupi oleh dinding seng yang penuh dengan coretan dinding. Padahal pada masa jayanya Onderling Belang murupakan toko yang menyediakan kain kualitas impor.
Masih menurut arafuru.com, bahkan sejak 2005 sebanyak 45 persen pemilik usaha sekitar Braga gulung tikar alis menutup usaha. Akibatnya bangunan-bangunan bersejarah terbengkalai dengan kondisi menyedihkan. Sebagai contoh adalah gedung Sarinah atau Onderling Belang. Baik bagian luarnya telah dipenuhi lumut dan tumbuhan liar. Hal lebih menyedihkan adalah tak tampak lagi atap pada gedung tersebut. Sedang untuk menyembunyikan kekumuhannya hanya ditutupi oleh dinding seng yang penuh dengan coretan dinding. Padahal pada masa jayanya Onderling Belang murupakan toko yang menyediakan kain kualitas impor.
Nasib toko Onderling Belang kini |
Adapun masalah selanjutnya di luar
bangunan taua namun tetap memiliki kaitan sejarah adalah masalah badan jalan. Pada masa colonial Belanda Jalan Braga dilapisi aspal hot mix. Sampai kemudian
muncul ide yang dicanangkan Pemerintah Kota Bandung untuk menggantinya dengan
batu andesit. Revitalisasi
jalan Braga ini memakan biaya sekitar 2,8 miliar rupiah yang berasaldari APBD
2008. Niat baik tuk menjadikan Kawasan Braga sebagai pedestrian yang tertutup
bagi kendaraan bermotor sempat memunculkan harapan.
Jalan andesit, cuma buang-buang anggaran kalau tak tepat penggunaannya |
Sedang masalah selanjutnya adalah
area parkir yang terbatas. Unit
usaha di Braga pada dasarnya membutuhkan ruang untuk mengakomodasi tamu yang
membawa kendaraan bermotor. Namun karena kerebatasan tempat
maka digunakanlah sisi badan jalan . Akibatnya, ruas jalan yang sempit jadi
bertambah sempit. Hal lebih mengenaskan tak jarang trotoar yang sejatinya domain para pejalan kaki digunakan pula
untuk parkir khususnya kendaraan roda dua. Saat pejalan kaki terusik kenyamanannya,
trotoar menjadi tak terawat, kotor, bahkan kumuh.
Memprihatinkan .Parkir kendaraan yang semrawur bi Braga |
Hal ini berbeda dengan dengan
perhatian pemerintah Hindia Belanda pada masa lalu. Amun Syarif salah seorang
warga Bandung dan juga pelaku sejarah mengungkapkan kenangannya tentang braga.
Menurutnya, “Saat itu, setiap pukul 02.00
WIB Jalan Braga selalu dibersihkan dengan sebuah truk tangki khusus yang
menyemprot kan air ke jalan dari ujung ke ujung.”
Mewujudkan
Art Distric
Mengembalikan kejayaan Braga bukan sekadar
angan-angan, namun merupakan suatu keniscayaan. Karena itu dibutuhkan real action guna mewujudkannya. Adapun
rencana kemudian musti dirumuskan agar hal tersebut dapat mencapai hasil
maksimal. Bukankah gagal membuat rencana sama dengan merencanakan kegagalan?
Bila menilik potensi, sudah
selaiknya Braga dijadikan kawasan pedestrian sepenuhnya. Memadukan kawasan
wisata sejarah dan industri kreatif musti pula dipikirkan. Bukankah selama ini
Bandung di kenal sebagai kota kreatif yang tak hanya sanggup menarik para turis
berdatangan tapi juga mendatangkan keuntungan finansial. Sedang kota ini
sendiri hingga kini belum memiliki kawasan pedestrian laiknya kota-kota besar
di negara lain seperti Turki, Prancis
atau Jerman, apalagi yang terintergrasi dengan kawasan kota tua.
Bangunan tua tak bertuan. Mustinya diambilali Pemkot dan dipugar |
Perlu kerja sama antara antar semua
pihal yang terlibat dan memiliki kepentingan. Sebut saja Pemerintah, Sejarahwan,
Arsitek dan pemilik bangunan. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan publik
dapat meminta bantuan dari sejarahwan dan Arsitek yang lebih kompeten mengenai
konsep revitalisasi bangunan di Braga dengan wajah aslinya. Hal itu diharapkan dapat menjadi semacam rem untuk
para pemilik bangunan. Selain tidak melakukan pemugaran secara serampangan,
mereka juga bisa sadar akan nilai sejarah atas bangunan yang mereka tinggali.
Perhatian sama kita harapkan terjadi
pula pada bangunan-bangunan lain dengan status tak bertuan. Bangunan-bangunan
tua tersebut dapat diambil alih pengelolaannya oleh pemerintah kota.
Keberadaannya dapat dialih fungsi seperti menjadi museum jalan Braga, yang
merupakan centre point di mana
pengunjung dapat mengetahui sejarah Jalan ini dari awal hingga masa kini,
lengkap dengan koleksi barang-barang bersejarahnya. Atau dapat dijadikan pula
sebagai ruang pertemuan para pemuda tuk berdiskusi, bertukar pikiran, melakukan
bermacam akfitas misalnya bedah buku, pelatihan motivasi atau kegiatan kesenian
Setelah itu hal lain yang kemudian
musti dilakukan adalah menutup jalan Braga sepenuhnya dari kendaraan bermotor. Merupakan
suatu impian bisa memiliki kawasan pedestrian seperti Marie Platz atau Plaza
Maria di Munchen Jerman, di mana para pejalan kaki dapat menyusuri kawasan
pedestrian sembari menikmati pertunjukan seniman jalananan macam menjumpai para
pemain band unplugged, pemain biola dan bas dan lain-lain. Atau kawasan Grotte
Markt di Brussel Belgia dimana pengunjung pada menikmati pedestrian dengan
nuansa kota tua dengan nuansa gothic
berusia seribu tahun.
Berkaitan dengan proses sterilisasi
jalan, kita musti memerhatikan hal-hal berikut. Pertama adalah jalan yang disterilkan
dari kendaraan bermotor, akan mengundang keramaian para pejalan kaki. Sedang keramaian itu sendiri berpotensi menarik
kehadiran para Pedagang Kali Lima. Bukan tak mungkin jalan yang sudah nyaman,
kembali jadi sembrawut. Kita
dapat belajar dari kasus car free day
di kawasan Dago tiap hari Minggu. Di mana para PKL mulai mendominasi trotoar yang mustinya hak para
pekalan kaki itu. Karena itu musti dilakukan pengawasan intensif oleh petugas
kemanan, sebutlah Satuan Polisi Pamong Praja yang konsisten agar para pedagang
tak makin menjamur di Braga Kelak.
Malasah
kedua adalah soal transportasi. Seperti diketahui saat ini badan jalan dan
trotoar Braga masih digunakan untuk parkir. Pemilik usaha dan pengunjung memang memiliki
kepentingan tuk memarkirkan kendaraan mereka di lokasi yang dirasa dekat dan
nyaman tempat usaha. Namun guna mendukung Braga sebagai
kawasan pedestrian tertutup, maka perlu dipikirkan solusi alternatifnya.
Menyiapkan sarana pendukung adalah
hal utama. Area parkir selaiknya di sediakan di luar Braga semisal di kawasan
dalem kaum, alun-alun atau Wastu Kencana. Guna menjakau Braga dari kawasan-kawasan
tersebut dapat menggunakan kendaraan alternatif seperti trem dengan model
klasik atau monorel seperti di Singapura. Memang di butuhkan investasi tak sedikit untuk hal ini. Tapi
modal yang dikeluarkan sebanding dengan keuntungan yang diperoleh kelak.
Kendaraan lain yang bisa di gunakan adalah delman seperti yang terdapat di
kawasan kota tua Salzburg, Austria.
Hal terakhir yang juga amat penting
adalah aktifitas apa yang kelak dan di helat di Braga setelah jadi pedestrian?
Bandung merupakan gudangnya insan-insan kreatif baik yang bersifat individu
ataupun kelompok. Seniman-seniman besar banyak lahir di kota ini. Oleh sebab
itu menjadikan Braga sebagai jalan budaya atau art distric amat potensial nilainya.
Street Performance di Jalan Braga mustinya tak hanya saat Braga Festival saja tapi bersifat permanen |
Menggapai
keniscayaan
Mewujudkan kawasan Braga sebagai
kawasan pedestrian bukan merupakan hal tak mungkin. Wisata sejarah dan
aktifitas seni merupakan potensi yang kan menarik para pengunjung ke kawasan
itu. dengan fasilitas pendukung yang mumpuni makin membuka peluang bagi Braga
tuk kembali pada masa jayanya. Perlu kesadaran dan kerjasama antar komponenkota
seperti masyarakat, swasta dan pemerintah. Sinergi mutlak musti digalang, bila menghendaki Braga
kembali pada masa jayanya.
Daftar Pustaka
http://palingindonesia.com/pudarnya-popularitas-braga/
http://bataviase.wordpress.com/2007/07/05/mengenang-pedestrian-eropa-untuk-kota-tua/
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/09/09/ngabaraga-di-jalan-tua-braga-491505.html
http://jalan2.com/city/bandung/jalan-braga/
http://aleut.wordpress.com/2010/03/13/revitalisasi-kawasan-wisata-kota-tua-bandung-menghidupkan-kembali-raga-jalan-braga/
http://hensyam.com/2007/08/31/renungan-hari-kelahiran/
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/09/09/ngabaraga-di-jalan-tua-braga-491505.html
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&jd=sejarah+jalan+braga+%26+julukan+parijs+van+java&dn=20090813144821
http://www.indonesiakaya.com/see/read/2011/11/13/815/20008/1/jalan-braga
http://arafuru.com/lifestyle/wisata-bandung-bernostalgia-di-jalan-braga.html
http://blogketinggalanzaman.blogspot.com/2013/02/bandung-tempo-doeloe-sejarah-seabad.html
http://www.pda-id.org/library/index.php?menu=library&act=detail&gmd=artikel&dkm_id=20000001&start=30
http://jurnal-is-me.blogspot.com/2011/11/jalan-braga-gagalnya-sebuah.html
http://m.inilah.com/read/detail/1210282/paris-van-java-sebenarnya-ada-di-jalan-braga
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/533/jbptunikompp-gdl-eviearisan-26612-5-unikom_e-v.pdf
http://www.republika.co.id/berita/internasional/palestina-israel/11/11/29/lvezn5-austria-tingkatkan-status-diplomatik-palestina
Komentar
salam hangat dari bandung,
salam kenal