Hikayat Bumi, Bulan dan Matahari (Kisah Lain Tentang Bumi)
Dulu, dulu sekali, sebelum peri peri, manusia dan binatang tercipta sebenarnya tanah di bumi berwarna putih. Bahkan Lebih putih dari terigu. Rona bumi selalu berseri karena ia selalu berdampingan dengan kekasihnya, matahari. Sedang matahari masih serupa planet tanpa cahaya. Gugusan bintang menyaputnya, gumpalan awan dan siur angin menyisipi tampan wajahnya. Yang mereka lakukan saban waktu adalah sama sama mengelilingi alam semesta. Sembari bergandengan tangan, keduanya saling bertukar keriangan dan kegembiraan.
Hingga dewa dewa di langit menggariskan takdir mereka berdua berbelok ke arah yang tak diduga. Suatu saat, dalam sekali ayunan, dari tongkat ajaib yang mereka arahkan ke langit, memerciklah bunga api dan kepulan asap pekat berwarna susu. Lalu tiba tiba di atas sana mengambang sosok baru, sosok yang belum pernah ada dan dikenal sebelumnya. Ia bersinar dengan memancarkan cahaya berkilauan. Cahaya itu amat memesona, angggun, menawan. Para dewa memanggil sosok itu degan sebutan bulan.
Saat bulan mengambang di tata surya untuk kali pertama, matahari menyaksikannya dari kejauhan. Lalu dalam langkah yang malu malu ia mendekatinya, dirinya ingin tahu siapa gerangan sosok itu. Makin dekat makin kentara, makin dekat makin terbelalak ia, lantaran di hadapannya terdapat sosok amat jelita. Lalu dalam tarikan napas yang malu malu pula, ia menyapa. Dilain pihak bulanpun seketika terpana karena ia mendapati sosok rupawan menghampirinya. Matahari yang dilingkupi rasa penasaran dan bulan yang masih telanjang jiwa dan pikirannya seketika menjadi akrab. Diawali perjumpaan yang canggung kemudian lama lama keduanya menjadi akrab. Sejak saat itu, mereka sering bersua. Bahkan dalam pergumulan yang lebih jauh, matahari merayu, merajuk, menyanjung, menggoda. Sebagai mahluk yang baru dicipta, bulan amat tersanjung atas sikap tersebut. Tanpa alasan yang dapat dijelaskan muncul perasaan aneh dalam dirinya, Perasaan untuk menyayangi dan mengasihi, perasaan yang bisa diterjemahkan sebagai rasa cinta. Lalu merekapun bertautan dalam asmara.
Bumi yang semula tidak tahu, mulai curiga atas sikap matahari. Ia kini tak seperhatian dulu. Sikapnya menjadi dingin dan tak acuh. Saat mendung menggelayut dan hujan curah dari langit, diam diam ia mengintip ke atas sana. Dan sungguh amat terkejut ia, karena dari celah gumpalan awan yang renggang, dirinya melihat matahari sedang berasyik mahsyuk dengan bulan. Amarahnya tersulut, hatinya remuk. Seketika bumi yang cemburu ingin melabrak mereka berdua. Tapi apa daya ia tak kuasa tuk menjangkau langit, ia bukan burung yang bisa terbang sekehendak hati. Tangannya menggapai gapai namun tangan itu terlapau pendek. Dirinya pun melonjak lonjak namun tubuhnya begitu liat dan berat bila musti melontar sejauh itu. Dipanggil panggilnya matahari dalam lolongan yang amat panjang, tapi jarak mereka terlalu jauh, suaranya lebih dulu lenyap dikaburkan hembusan angin.
Bumi berduka atas pengkhianatan itu, ia menangis sejadinya. Air matanya urung berhenti, mengalir membanjiri dirinya sendiri, menjadi sulur sulur yang berkelokan seperti perut labirin lalu menjelma lah sungai sungai. Kemudian sungai itu mengalirkan kembali air mata ke tempat yang lebih rendah dan berhimpun menjadi satu lalu terciptalah lautan. Ya lautan pertama dalam sejarah alam semesta. Sedang amarah bumi yang meledak ledak, menciptakan pula palung palung, yang berubah menjadi bukit lalu menjadikannya gunung gunung. Dari gunung tersebut semburat api yang sangat panas, api cemburu, api amarah, api perih dan api luka lantaran pengkhianatan. Karena kesedihan yang sangat panjang, warna bumi yang semula putih berubah menjadi coklat kehitaman seperti warna tanah saat ini.
Sementara matahari yang sudah dikelambui nafsu, tanpa malu malu menghisap madu bulan, madu mahluk baru itu yang tersimpan dijantungnya yang murni. Ia mereguk saripatinya lalu menyiramnya dengan berahi. Inilah perzinahan pertama dalam sejarah alam semesta. Sejak saat itu mereka mengumbar nafsu tak henti henti. Siang malam, sepanjang waktu dan selaras putaran zaman. Makin lama direguk makin memudar sinar yang melingkupi wajah bulan, makin lama direguk makin memudar pula kerupawanannya. Pelan pelan timbul benjolan benjolah di wajahnya. Semula hanya sedikit benjolan itu, tapi lambat laun menjadi banyak bahkan tak terhitung jumlahnya. Wajah bulan berubah menjadi buruk rupa.
Melihat kenyataan kini, matahari
merasa jijik pada bulan. Wajah kekasihnya itu tak secantik dulu. Ia jelek,
bopeng, cacat. Tanpa
perasaan matahari mencampakan bulan begitu saja, lalu hendak kembali pada pangkuan
bumi. Tapi
alangkah kaget ia karena mengetahui bumipun telah berubah rupa dan sikapnya.
Ketika ia hendak medekat, bumi menghamburkan api, mendidihkan air laut dengan
maksud melukai matahari. Matahari mencoba kembali merayu, merajuk, menggoda,
tapi sudah terlambat karena bumi lebih dulu luka hatinya.
Ketika matahari lengah dalam rayuan dan godaannya, bumi menumpahkan api kewajahnya. Seketika api itu menjalari kepala, badan, tangan, kaki. Api itu menyala nyala di sekujur tubuh matahari. Ia menjadi api yang abadi membakarnya sepanjang jaman dan tak pernah mati meski satu kedipan mata. Matahari yang kesakitan menahan panas berlari ke langit hendak mengadu pada bulan, tapi bulan kembali mengusirnya. Setelah di usir bulan ia hendak kembali ke bumi, tapi bumi tak menerimanya kembali.
Sejak saat itu matahari, bumi dan
bulan tak pernah lagi bersama. Mereka tetap mengikuti hukum alam tapi dengan
peran yang sama sekali berbeda. Matahari yang merasa bersalah pada bumi,
bermaksud menebus kekhilafannya. Dengan api yang bersemayam di sekujur tubuh,
ia menghangatkan tubuh bumi ketika musim dingin, mengeringkannya ketika musim
hujan. Karena sinar hangat yang dipancarkan matahari, dari perut bumi mekarlah
tumbuh tumbuhan, bunga bungan, pohon pohon dan hutan. Bumi yang mulai reda amarahnya diam diam merasa senang
atas apa yang telah dilakukan oleh matahari. Tapi bila mengingat pengkhianatan
itu, ia kembali menuntahkan api dari gunung dan membuat laut bergelombang.
Sementara bulan, ia lah yang paling berduka karena telah kehilangan
keperawanannya dan kini menjadi buruk rupa. Bulan tak mau lagi berjumpa dengan
matahari. Bilapun hukum alam menakdirkan mereka berjumpa, perjumpaan itu
menjadi perjumpaan yang menakutkan, mencekam dan menjadi semacam teror. Alam
semesta menjadi gelap, bumi kehilangan sinarnya, orang orang memanggil peristiwa itu dengan istilah gerhana.
“Anda mungkin tertipu jika terlalu memberi kepercayaan, tetapi hidup anda akan tersiksa jika tidak cukup memberi kepercayaan.”
Frank Crane, 1 Januari 1873–1 September 1948: Aktor Film dan Sutradara Amerika
Komentar