Piutang
Disebuah
gang buntu yang dijejali drum drum karatan, ia memojokan ku ke tembok.
Dipelintirnya leher kemejaku hingga terangkat. Pikir ku inilah tempat para
bajingan tengik, kriminal kelas kakap atau bandar besar narkoba membagi hasil
kejahatan. Disini mereka
biasa berpesta dengan menenggak tiga empat botol vodka bercampur darah manusia
sambil mengendus marijuana hingga fly.
Seperti dalam film film mafia. Seorang sandera malang akan mereka jadikan umpan
agar bisa ditukar dengan sekoper penuh uang tunai. Bila
beruntung ditebusan kontan, si sandera dapat melenggang dengan tenang ke rumah.
Tapi bila tidak, esok lusa tv
dan koran akan menyiarkan berita soal mayat tercacah dua belas yang dibuang
begitu saja di kolong jembatan. Aku makin kalut.
Tubuh ku mengigil ketika ia
menempelkan pisaunnya tepat di tenggrorokan ku. Mungkinkah nasib ku akan
berakhir seperti nasib sandera dalam pikiranku? Saat ia mendesak kurasakan
nafasnya naik turun, jantungnya berdetak kencang. Sementara
keringat dingin terus menyeka wajah kumuhnya yang liar! menakutkan! Berbahaya! Dengan paksa ia memerintahkanku mengelurkan
seluruh isi dompet. Ada tiga juta rupia dalam pecahan seratus ribu disana.
Langsung ia rampas. Ia ambil pula tas kerja ku, dipikirnya ada surat surat
berharga dalam tas itu padahal yang ada cuma setumpuk dokumen kerja yang
kuyakin tak berguna baginya, berisi sederet nama mahasiswa penerima beasiswa
dan berapa jumlah rupiah yang akan mereka terima.
Usai dikuras hartaku, perlahan
desakannya mengendur, belati ia selipkan di pinggang. Sambil melangkah mundur
matanya tetap bersiaga mengawasiku. Lalu tanpa ku duga ia membalikan badan dan
lari meninggalkanku. Ia pontang panting melangkahkan kaki sampai pada suatu
kelokan dirinya menghilang dalam kegelapan. Aku yang masih dicekam rasa takut,
mulai mengumpulkan keberanian. Ku berteriak sekeras mungkin agar orang orang
bangkit dari buaian mereka dan segera memberi pertolongan. Ku panggil panggil
polisi, petugas linmas, satuan pengamanan atau siapapun yang dapat
menyelamatkan ku tapi mereka seperti raib ditelan bumi, tak seorangpun datang padaku. Dengan gontai
aku kembali melewati kelokan kelokan berbau tengik itu, sambil menutup hidung. Pikirku
Biarlah hilang uang dan tas itu, yang paling penting aku dapat pulang kerumah
tanpa harus ada bagian tubuh yang tercacah.
***
Ya, memang kedua mataku belum lamur.
Tepat satu hari setelah peristiwa naas tadi, betapa kaget aku karena sekarang
dapat bertemu dengannya kembali. Dari balik pintu diam diam kulihat ia sedang
duduk berhadapan dengan seorang perempuan jelita bersafari hijau tosca.
Perempuan itu tampak serius membaca beberapa lembar dokumen dihadapannya.
Sesekali ia mengerutkan dahi, lalu mengangguk angguk. Sedang si berandal tak
lagi berperangai kasar. Ia kini tampak lebih santun dengan memakai setelan
kemeja kotak kotak warna biru yang dimasukan dalam pinggang, dengan bawahan celana
katun berwarna hitam. Kilat kacamata minus di batang hidungnya mengaburkan
seringai yang telah kukenal dari sepasang mata jahat itu. Ingin langsung ku
labrak ia dan menyeretnya ke Polisi saat itu juga. Aku bersiaga.
Kulihat ia menandatangai dokumen
diatas meja. Perempuan dihadapannya bertanya kapan ia bisa melunasi tunggakan?
Si berandal menelan ludah, lalu ia merogoh saku bajunya untuk mengambil
sejumlah uang. Ia bilang dibayar tiga juta dulu, sisanya baru dilunasi setelah
mendapat pinjaman baru. Hah? pinjaman? Sialan! Aku tahu itu uang hasil rampokan.
Sambil tersenyum perempuan tersebut mensupotrnya agar terus bersemangat. Si
berandal membalasnya dengan senyuman pula.
Setelah bersalaman ia bangkit dari
duduknya. Namun saat membalikan badan betapa kaget ia karena mendapatiku sudah
berada dihadapannya. Wajahnya mendadak pucat, tubuhnya menggigil, mulutnya seperti
hendak mengatakan sesuatu namun seketika tercekat dikerongkongan. Dengan panik
Ia menoleh ke arah kiri dan kanan. Ia mencoba lari dari dalam ruangan, aku
sekuat tenaga menghadang. Lalu tak disangka ia mengabil kembali uang yang tersimpan
diatas meja. Dengan gerakan tergesa ia menyerahkannya kembali padaku.
Si berandal meninggalkan ruangan, ia
lari secepat mungkin agar dapat menjauh dari ku. Aku berteriak pada beberapa
orang satpam yang sedang berjaga diluar. Ku
perintahkan mereka mengejarnya. Perempuan itu terkaget melihat sikap ku yang tiba
tiba reaktif. Diambang pintu ku jelaskan kejadian semalam serinci mungkin. “Betulkah
itu pak ketua yayasan ?”
gamang ia bertanya. “Anak sepintar itu?
Bisakah?” Diserahkannya selembar dokumen pada ku. Dalam dokumen tersebut
terdapat data diri si berandal, Namanya Nanang koswara, mahasiswa angkatan 2007
jurusan akutansi dari Ciamis. Indeks
prestasinya ternyata sangat baik, tiga semester lamanya ia meraih angka
diatas 3,65 tapi tiga semester pula ia menunggak biaya kuliah.
“Tahun lalu ayahnya meninggal. Mobil elf yang ia
tumpangi ke pasar untuk berjualan mengelami kecelakaan.” perempuan itu menerangkan.
“Oh”, hanya itu
jawabanku atas keterangannya yang panjang lebar. Ia turut menyesal atas peristiwa semalam. Diangkatnya
gagang telepon, maksud hati hendak menghubungi polisi tapi segera ku sergah.
Gagang telepon tadi menyenggol papan namanya diatas meja hingga jatuh kelantai.
“Siska Karenina, kepala biro
kemahasiswaan”. Nama yang telah lama ku kenal karena akulah yang
mengangkatnya untuk menempati posisi itu.
Ku langkahkan kaki keluar mengikuti
jejak langkahnya. Kucari cari ia ke bagian belakang, depan dan samping kampus,
Kutanyakan juga pada beberapa orang satpam yang tadi mengejarnya. Namun hasilnya
nihil, bukan Nanang yang meraka gelandang, namun para dekan, ketua jurusan dan
sejumlah mahasiswa yang terusik atas keributan barusan. Rupanya mereka kalah
gesit karena Nanang lebih dulu melompati salah satu tembok kampus dan menghilang
di pemukiman warga.
Lalu aku kembali ke ruangan Siska.
Lima belas menit menunggu hingga datanglah mereka, sepuluh mahasiswa mengenakan
jas alamamater berwarna biru tua. Dalam acara ramah tamah ku absen satu per
satu nama mereka, dan mereka menjawab sembari mengacungkan tangan. Bergantian
mereka menghampiri dan mencium tangan ku saat menerima cek beasiswa. Ah
mahasiswa mahasiswa ini, cerah benar masa depannya, sebagian adalah putra putri
para donator di kampus ini. Sengaja mahasiswa mahasiswa ini kupilih sebagai
ucapan terima kasih atas kemurahan hati orang tua mereka, kebanyakan kolega,
pengusaha serta kawan satu kampus ku dulu yang sekarang sudah mapan benar hidup
mereka. Sebagian lagi adalah mahasiswa
mahasiswa yang aku tahu mereka pandai benar cari muka. Aku tahu benar siapa
mereka. Biar ku beri jatah juga agar mereka dapat meredam gejolak yang timbul
soal kejanggalan pembagian dana beasiswa selama bertahun tahun di kampus ini.
Bukan kah anjing akan menurut pada tuannya bila diberi tulang? Bagi mereka
tulang tulang gurih itu adalah lembaran cek beasiswa. Mereka akan melakukan
cara apapun untuk mendapatkannya.
Sementara Nanang ia tidak pernah terlihat lagi di
kampus setelah peristiwa itu. Peduli setan ia melarikan,
toh uangku juga sudah kembali. Sampai kapanpun Nanang tak pernah masuk dalam
hitungan. Persetan juga soal
keluarga melarat dan IPKnya. Ku ucapkan selamat melanjutkan perkuliahan
mahasiswa mahasiswa penerima beasiswa. Semoga sukses kalian dihari depan. Ku
ucapkan selamat jalan pada Nanang. Setelah drop
out semoga kau sukses jadi berandal sungguhan.
Komentar