Etika Samurai: Loyalitas Tak Berbatas
Sedang Kompetensi tak sekadar
berada pada ranah basa basi dan retorika semata. Para samurai
mengejawantahkannya dalam tindakan. Bagi mereka kompetensi diukur dari
sejauh mana loyalitas mereka pada sang tuan. Mengabdi menjadi harga
mati. Tak bisa ditawar dan diganti ganti lagi. Senada dengan asal usul
bahasanya, samorau yang artinya mengabdi.
Hidup mereka adalah untuk tuan mereka begitupun matinya. Kehormatan
mereka adalah kehormatan tuannya. Maka mautlah yang tiap waktu
mengintai. Nama nama besar tumbang di medan perang, Imagawa Yoshimoto, Ryozoju Takanobu, Saito Dosan, Uesugi Tomosada dan
banyak lagi. Semua membentuk rantai kematian yang panjang.
Terbentang dari jaman yang lampau lalu mengekor di benak kita saat ini.
Seperti disampaikan penulis Jeff Cohen, “Tidak mungkin menolak apa yang sudah datang, dan berakhir dengan cara kematian akan lebih abadi dan terhormat.” Sedang Uesugi Kenshin menyampaikan pesan pada para pengikutnya, “Seseorang
yang tidak mau mati karena tertusuk panah musuh tidak akan mendapat
perlindungan daripada Tuhan. Bagi kamu yang tidak mau mati karena
dipanah oleh tentara biasa, karena mau mati di tangan pahlawan yang
handal atau terkenal, akan mendapat perlindungan Tuhan.” Selebihnya, yang kalah dalam peperangan atau duel lebih memilih melakukan seppuku dari pada ditangkap musuh.
Di
atas semua itu, aspek spiritual tak pula dilupakan. Bukankah dalam
semangat bushido (etika moral para samurai yang berasal dari zaman
kamakura (1185-1333) itu, menekankan nilai keadilan, rasa malu,
tatakrama, kehormatan dan kesederhanaan? Kemenangan tak melulu dimaknai
dengan kemenangan fisik. Dalam falsafah bushido dikatakan bila seseorang
telah sanggup menaklukan diri sendiri baru ia bisa menaklukan orang
lain. Miyamoto Musashi menimpali dalam bukunya The Book Of Five
Rings jika ilmu pedangnya yang tertingggi ialah ketiadaan. Jiwa manusia
ialah sumber energi orisini yang tanpa batas. Sedang kekuatan fisik
bukan segalanya. Kekuatan fisik justru kerap membatasi kekuatan dan
teknik seorang samurai.
Lukisan Toyotomi Hideyoshi |
Maka lahirlah pribadi pribadi loyal yang disiplin.
Beriringan menyertainnya adalah rasa hormat dan kagum tumbuh
menjadi sebuah bintang. Bintang akan meledak dan menjadi ratusan
serpihan-serpihan cahaya. Dan setiap serpihan cahaya itu bagaikan sebuah
pedang, yang dapat menghilangkan semua hal negatif dan membawa kesucian
pada dunia ini.”
dari berbagai
pihak. Tak heran bila Toyotomi Hideyoshi berujar bila diri samurai, “
Setali tiga uang dengan para pendahulunya,
rakyat jepang mewarisi mentalitas serupa. Adalah aib bila seorang
karyawan pulang tepat waktu. Istrinya di rumah justru
akan merasa heran dan malu bila sang suami pulang cepat dari tempatnya
bekerja. Bisa jadi rekat sejawat menganggap bila ia tak punya niat untuk
bekerja. Tak heran lampu lampu kantor masih menyala sampai jam delapan
malam.
Etos kerja pada perusahaan diejawantahkan dengan
tak menyia nyiakan waktu misalnya untuk bermain internet atau membaca
berleha leham membaca koran. Ruang kantor sengaja dibuat tak bersekat,
bukan untuk mengawasi, namun sengaja agar masing masing kariawan dapat
saling bertukar pandangan.
Adalah hal lazim bila seseorang bekerja lembur kemudian tak meminta bayaran. Semua fokus pada tujuan dan berusaha sebaik mungkin untuk memberi kontribusi. Segalanya dijalani dengan filosofi makoto, yang artinya bekerja dengan giat semangat, jujur serta penuh ketulusan
Komentar
nice share