TERSERAH SUMINAH SAJA
“Bagaimana kau mau?”
“saya tidak tahu”
“dua puluh
“entahlah”
Suminah melangkahkan kaki ke tepas depan. Ia terawang lindap langit berselempang mendung diatas kepalanya. Awan gelap menggumpal bagai cerobong lokomotif yang tak bosan muntahkan karbondioksida. Sebentar lagi hujan akan turun. bulir bulir air mulai menjatuhi bumi. Gerakannya lambat dan liat. Ia segera mengaisi jemuran dihalaman. Beberapa helai pakaian berjatuhan dihempas angin sejak tadi. Tangan Suminah cekatan ketika memasukan baju baju itu dalam ember kering. Ia seperti sedang berlomba dengan waktu agar tak didahului hujan untuk menyelamatkan cuciannya.
Setelah semua pakaian diamankan ia bergegas kembali ke tepas rumah. Namun hal tersebut urung dilakukan karena sapuan angin menghempas selembar kaos yang disimpan pada bagian paling atas ember hingga terbang kearah kebun si Mak. Ia mengejarnya, menyibak daun daun singkong setinggi kepala orang dewasa dan melewati tunas tunas talas disekitarnya. Ah kebun itu, sedikit lebih kecil dari lapangan badminton. Satu satunya harta berharga punya si Mak setelah semua yang mereka miliki ludes bagai ditelan bumi. Kebun tersebut memang sama sekali tak dapat mencukupi kebutuhan sehari hari mereka berdua tapi paling tidak hasilnya bisa menggantikan nasi bila beras dalam gentong habis, sekaligus menjadi penghibur bagi si Mak untuk terus berkegiatan pada usia senja.
Dulu keluarga suminah pernah punya
sawah sendiri. Saban tengah hari ia dan si mak keluar rumah dengan mengais
sebakul nasi dan lauk pauk dalam rantang. Tak lupa pula teh tubruk hangat
hangat kuku dimasukan dalam termos merah tua merk butterfly buatan Cina. Mereka
melangkah lewati rumah tetangga, melintasi balai desa menuju utara. setelah menyebrangi
jembatan bambu yang memotong sungai kecil dimana airnya senantiasa rincik dan
jernih, mereka akan terengah karena harus menaiki undakan undakan tanah
menyerupai anak tangga. Seratus tiga belas jumlahnya seingat suminah. Dengan
bawaan sebanyak itu mereka terus melangkah hingga setelah menggenapkan
hitungannya, seketika semua rasa lelah lenyap karena mereka mendapati hamparan
luas sawah sawah penduduk nan memesona. Warnanya Hijau menyala tergelar
menyerupai sajadah
Pada sebuah gubuk Abah sudah
menunggu sambil merebahkan bahu pada sebuah dinding bilik. Kulit lelaki itu
legam lantaran saban hari disengati matahari, urat uratnya melintang kuat
seperti kawat, otot otot kentara membalut tuulang bajanya menyiratkan kesan
sangar pada dirinya. Namun sungguh dilubuk paling dalam hati Abah putih bagai
kapas. cintanya pada suminah dan si mak luas tak terhingga. Jauh melebihi air
yang terus mengalir dari sulur sulur sungai kelautan atau sinar matahari yang
menyinari bumi. Sembari duduk melingkar diatas tikar anyam mereka menyantap
makanan itu sama sama. Setelah selesai Abah akan kembali mengawasi sawah dari
jamahan
Kaos itu tersangkut pada salah satu
pohon singkong. Bagian lehernya lengket terbalur getah. Suminah memungut lalu
memasukannya kembali dalam ember. Ia membalikan badan hendak kembali kerumah.
Sembari melangkahkan kaki tawaran lelaki itu terus terngiang ditelinga. Siapa
tak tergiur uang dua puluh
Suminah merindukan Abah. Nasehat nasehat bijak Abah selalu membimbingnya pada jalan keluar tanpa ada lagi masalah tersisa. Namun ayahnya itu telah pergi tiga tahun lalu dalam sebuah kecelakaan lalulintas. Saat akan menjual beras ke pasar, mobil elf bak terbukanya oleng menghindari pengendara motor mabuk lalu membentur pembatas jalan. Ia mengalami pendarahan berat dikepala. Dokter memvonis Abah mengalami geger otak. Untuk biaya pengobatan si Mak terpaksa menjual sawah dan rumah. Namun hal tersebut belum cukup hingga harus meminjam pula uang pada juragan Kasman, rentenir dari desa tetangga. Abah memang menjalani oprasi kepala tapi setelah dua minggu koma suratan takdir pulalah yang menggariskannya tuk berpulang keharibaan Ilahi. Sementara bulan demi bulan bunga hutang juragan Kasman terus membengkak, membesar, menjadi gunung batu yang menghimpit tubuh suminah dan Si Mak.
Lepas peristiwa tersebut tak ada lagi harta tersisa. Rumah Panggung sederhana yang mereka tinggalipun adalah buah simpati warga pada sosok abah yang ringan tangan semasa beliau masih hidup. Dengan suka rela mereka membangunnya diatas tanah kosong yang agak jauh dari perkampungan. Si Mak menanami halaman depannya tersebut dengan singkong dan talas.
Suminah memasuki rumah. Ia letakan
ember cucian dekat pintu depan. Seorang lelaki tampak duduk mendekap sebelah
lutut sementara tangan lainnya memiting sebatang rokok kretek yang terus
menyala. Asap mengepul dari mulutnya memenuhi ruangan rumah dengan aroma
tembakau.
“bagaimana ? kau mau ?” kepalanya
condong kedepan, dagunya terangkat memamerkan janggut tipis jarang jarang. “sudahlah
terima saja”. Suminah bimbang. “ dengan uang sebesar itu kau bisa membayar
kontan hutang Emak mu”. Suminah masih bimbang. Haruskah ia menerima
tawarannya. Ia dengan terbata bata berkata,
“Ju..juuragan Kasman…sayaaa…”
“Apa lagi ? pak Pur dari Jakarta bersedia
membayarmu dengan harga pantas Sumi,” alis juragan kasman terangkat, senyum
licik menyembul dari bibinya.
“tentu kau masih gadis bukan ?”
Ia dengan enteng mengatakan kalau
hal ini cuma perkara
“kau itu cantik, muda pula...pak Pur pasti suka pada mu”
Suminah diam. Ia tak bisa berkata
apa apa. Haruskah ia menukar keperawanannnya demi uang sebesar itu ? merelakan
selaput daranya koyak oleh pria yang sama sekali tak ia kenal dan cintai ? agar
hutang dan bunga selangit tersebut lekas terbayar, agar rumah bobroknya bisa
direnovasi dan membelikan si Mak tanah serta sawah baru ?
“ingat baik baik Minah, kalau hutang ku tak
seg’ra kau bayar, bisa saja saudara ku
yang polisi menjemput mu dan menjebloskanmu dalam penjara !!”. Kini ia
memprovokasi. Usai medengar perkatan juragan kasman suminah berlalu sembari
menundukan kepala menuju kamarnya yang bersatu dengan kamar si Mak dibagian
belakang rumah.
“hei !! hei !! mau kemana kau ???”
Langkah suminah
tercekat, tanpa memandang lawan bicaranya ia berkata,
“Kalau memang baiknya begitu, saya mohon izin sebentar, mau pamit dulu sama Emak”. Senyum juragan kasman makin lebar.
Butiran butiran bening berderai membasahi pipi merah suminah. Disana Si Mak tergolek melekati kasur kapuk. Lemas, lunglai tanpa daya bagai boneka mainan. Rasa duka yang teramat dalam atas kepergian Abah telah mentokan sisa sisa tenaganya, menggundang berbagai penyakit untuk merobohkan benteng pertahanan tubuhnya. tiada lagi daging tersisa karena yang tampak hanya tulang tulang menonjol berbalut kulit.
Suminah
kemudian melirik lemari pakaian berkaca buram di sudut kamar. Dari lemari
tersebut Ia mengemasi beberapa helai pakaian kedalam tas gendong ukuran sedang.
uang tabungan dengan jumlah tak lebih dari
Ia menatap kembali Si mak. Hatinya tersayat melihat keadaan ibunya itu. Ia ambil sehelai kain samping yang masih terlipat rapi diatas ranjang. lalu diselempangkannya melingkari bahi dan pinggang, si Mak ia gendongkan diatasnya. secara diam diam suminah meloncati jendela kamar. Melangkah merunduk runduk bagai seekor kelinci yang menyembuyikan diri dari intaian rubah.
Dibawah guyuran hujan Suminah
menapaki jalanan lembab dan becek. Kadang terseok kadang juga terjatuh. Si mak
terus lekat dipunggungnya. Entah mereka akan menuju kemana setelah pelarian
ini. Cuma dari kejauhan lamat lamat Suminah mendengar juragan Kasman yang
merasa tertipu melolongkan amarah. Suara ember cucian berdentum keras ketika
sekuat tenaga ia tendang. Pakaian pakaian itu burai didepan pintu. Tak ada lagi
yang memunguti karena pemiliknya kini telah pergi. Jauh. Jauh sekali.
Komentar