Para Penyaksi
Apa bagusnya dia, wajahnya yang sudah keriput itu lebih mirip wajah kunyuk. Tak ada lagi laki laki yang suka, karena yang langsung terbayang di benak mereka adalah mahluk berbulu setinggi pinggang orang dewasa, bergelantungan dari dahan ke dahan dalam sangkar besi di kebun binatang.
Sedang mata itu selalu membuat ngeri. Karena tiap kali
bersitatap, seketika menjelaga Atila The
Hun dari balik pelupuknya. Yang seolah hendak berkata seperti ia berkata
berabad lalu, “Dimana aku melintas,
rumput tak akan tumbuh lagi”. Sembab lantaran kurang tidur, merah lantaran
terlalu banyak minum. Bibirnya? Gersang seperti gurun Patagonia. Pecah pecah
dan kadang menyembulkan cairan berwarna merah.
Terus
terang kami jengah padanya. Tahu kenapa? Tengok saja ia saban sore. Ongkang ongkang kaki di atas
kursi goyang didepan rumahnya. Mengenakan rok mini, semini mininya sambil
menghisap Mallboro. Terang ia tak
kenyang kalau cuma menghisap satu dua batang. Mulutnya seperti cerobong pabrik,
mengepulkan asap hingga rokok dalam bungkus sebesar telapak tangan orang dewasa
itu habis. Pasti belum mandi lagi, pasti belum gosok gigi lagi. Karena ia biasa
bangun saban tengah hari bahkan menjelang sore. Ih jorok sekali.
Kalau
ada yang mengingatkan atas kelakuannya yang sengak
itu, pasti ia sewot. Mbak Nur, tetangga sebelah rumahnnya yang hanya
dibatasi tembok, habis didamprat tempo hari. Bukannya sadar mulut itu malah terus nyerocos. Bicara
soal haklah, soal suka sukalah, soal gimana guelah. Begitu juga kang Usep
petugas dewan kemakmuran Masjid Al Hikmah, yang terdapat di lingkungan kami.
Bahkan ia sampai disiram air segayung dan dilempar botol minuman saat
mengingatkannya agar berpakaian lebih pantas. Tak
ketinggalan dari mulut sampahnya berhamburan separah yang serupa sampah pula.
Dengan batang rorok mengepulkan asap di bibir ia mencak mencak, menantang
siapapun yang berani melanggar privasinya. Hah? Privasi? Kalau soal privasi
bukahkah privasi kami yang lebih banyak ia langgar?
Lantas bila malam datang, kelakuannya makin tak
keruan. Ia akan keluar rumah dengan dandanan menor dan pakaian yang menurut
kami jauh lebih seronok. Rok mini lagi, berganti ganti motif dan warna saban
hari. Ia berjalan sembari mengangkat
dagu waktu melintasi rumah rumah warga. Sombongnya. Tak ingat umurkah dia?
Kalau berpapasan dengan salah satu dari kami, ia membuang muka. Kalau diajak tersenyum malah mencibir, kalau dicibir
ia balik meludah.
Dipangkalan
ojek dekat mini market di ujung kampung sana, seorang temannya sudah menunggu.
Entah siapa. Hanya yang kami tahu ia berbadan tegap dengan potongan rambut
cepak. Mengenakan jaket kulit hitam, celana jeans agak belel dan bersepatu
penfopel. Dari tampangnya kami bisa menebak kalau ia bukan tipe lelaki murah
senyum. Tampang yang belum apa apa justru seolah ingin berkata, “Akan kukunyah kau hidup hidup.”
Setelah duduk dalam boncengan,
merekapun berlalu ke pusat kota. Buat bekerja tentu saja. Jadi apa? Jadi germo. Kami tahu benar soal itu.
Lantaran Ia terang terangan ngebacot
didepan rumahnya tempo hari. Rupanya emosi itu tersulut hingga ia tak bisa
menjaga mulut, setelah ibu ibu kami menggunjingkan soal pekerjaanya. Pasalnya
ia tampak selalu berkecukupan. Macam punya antena parabola, televisi plasma,
mesin cuci dan radio compo yang bisa dipakai nyanyi nyanyi dan pesta pesta.
Padahal suamipun ia tak punya.
Selain itu, dari cerita ibu ibu kampung pula,
kami jadi banyak tahu soal masa lalunya. Kata mereka, dulu Pak Edi suaminya
kontan menjatukan talak tiga. Lima bulan menikah membuat ia jengah dengan kelakuan
sang istri. Kembang desa itu ternyata tingkahnya tak seelok parasnya. Ia
tak dapat meninggalkan kebiasaan goyang dangdut saban malam minggu di cafe
remang dekat Saritem. Meski karena dangdut pula pak Edi kepincut dulu, tapi
akhirnya iapun meradang. Ia tak rela bila sang istri jadi bahan tontonan banyak
lelaki macam supir truk, tukang becak, pedagang kaki lima dan para penganggur. Terlebih kalau sudah disawer. Mata mereka umpama mata
hyna lapar yang mengintai seekor anak antelop. Menyala dalam keremangan lampu,
memancarkan bola api pada masing masing pelupuknya. Sedang Tangan tangan itu
begitu liat seperti tangan gorila yang tak segan menjamah bagian atas tubuh
istrinya sekadar tuk menyelipkan uang ribuan.
Bukannya
risih lantaran sudah punya laki, sang istri justru makin menjadi. Ia dengan
senang hati melayani tiap jamahan itu karena ingin mendapat saweran lebih
banyak. Maka dari hari ke hari cemburu pak Edi makin menggunung macam bisul.
Lalu pada suatu titik yang sudah tak tertanggungkan, meledaklah lava kemarahan
yang panas tak terkira. Tak mempan dinasehati, iapun menceraikannya.
Hidup sendiri lagi, memberikan ia
ruang lebih leluasa. Kebebasan kini menjadi karibnya. Bukan hanya goyang di
panggung tapi ia melakukan hal yang lebih dari itu. Menjajakan diri dipinggir
jalan dan rebah dipelukan lelaki manapun yang mau membayarnya. Tiap tiap bagian
tubuhnya makin komersil, entah sudah berapa ratus hidung belang telah ia
temani.
Waktu berputar, bulan dan tanggal
beredar, pusaran masa menyeretnya pada apa yang disebut dengan ‘menua’. Umpama
madu, kecantikannya lama lama pudar. Kala kulit tak kencang lagi, kala wajah
tak elok lagi, ia memutuskan tuk berhenti. Tapi bukan berarti benar benar
meninggalkan kehidupannya yang gemerlapan. Lantaran sebagai pelacur yang
usianya paling tua, ia tahu sekali seluk beluk dunia yang telah menjadi darah
dan dagingnya. Diajaknyalah gadis gadis muda tuk bergabung dengannya, tuk
menjadi ‘ayam ayamnya’ peliharaanya yang lucu lucu dan penurut.
“Ada
SMA, ada mahasiswi, tahu kalian semua!” katanya. Ibu ibu kami yang
mendengar itu mengerutkan dahi. Mereka yang kebetulan membawa anak, segera
menutup telinga anak anaknya. Khawatir anak anak itu mendengar dan kesambet
hingga kelakuannya jadi tak keruan macam orang sinting. Mereka yang bersama
suaminya, cepat cepat membawa para suami pulang ke rumah. Menutup pintu dan
jendela tak keluar lagi, khawatir bila pasangan mereka kena hasut. Kamipun
saling mengiatkan, saling memelihara, saling menjaga, agar jangan pengaruhnya
menular pada kami dan keluarga kami.
Namun ibarat pepatah lama berdedah,
buruk rupa cermin dibelah. Kenyataanya tak melulu sesuai harapan. Sekuat tenaga para bini menahan, kabar kabur tersebut
sampai juga ketelinga para suami. Diam diam beberapa dari mereka yang mudah
goyang imannya tergoda juga. Dalam perselingkuhan yang keji, mereka memotong
jatah gaji bulanan tuk dipakai foya foya. Di
café dangdut tempatnya goyang dulu ia mengatur semua, mulai dari menyediakan
gadis, memesah hotel dan menerima pembayaran. Prosentasi 60:40. Tentu ia yang
dapat bagian lebih besar. Kami tahu siapa yang kepergok bermain api. Beberapa
diantara mereka adalah Pak Hen suami bu Ati yang kedapatan sedang menggandeng
perempuan muda menjelang bulan Ramadhan tahun lalu atau Mas Arto suami bu Deti
melakukan hal serupa. Namun yang paling sial tentu saja Iwan suami Wida. Saat
istrinya hamil tua, Arto kelayapan mencari perempuan lain. Dengan bantuan
darinya, dianturlah sebuah kencan buta. Sial, hotel tempat mereka kencan
digerebek polisi. Dua bulan Wida tak berani keluar rumah lepas melahirkan.
Lantaran suaminya tertangkap kamera dan masuk tayangan kriminal di televisi,
bersama pasang pasangan lain tentu saja.
Kadang kami berpikir, sudah sintingkah
dia? Kenapa tak seberstipun menyimpan perasaan iba pada para istri yang suami mereka tergelincir main perempuan?
Bukankah mereka sama sama perempuan juga? Atau jangan jauh jauh, soal pakaian
saja. Tak bisa jugakah ia berpakaian agak sopan? Bagaimana nanti kalau anak
anak, pemuda, para bapak yang akan pergi shalat berjamaah ke Masjid, pergi
ngaantor atau sekolah melihat ia berpakaian seronok saat melewati rumahnya?
Bisa kacau perkaranya.
Kelakukannya yang sudah keterlaluan tak bisa dibiarkan. Dia cuma bisa bikin kampung malu saja. Bisa rusak kelakuan warga kami bila lama lama membiarkan ia tinggal disini. Aib! Ini aib! Sebelum semua makin buruk kami musti melakukan perhitungan.
Maka sebelum matahari terbit, kami mendatangi balai desa dengan masing masing menggengam celurit, golok dan pentungan. Mata mata melotot, urat urat tegang, dan terikan teriakan lantang terdengar hingga batas kampung. Kami sepakat, untuk mengakhiri keresahan selama ini. Ia harus diusir. Tak ada kompromi. Setelah semua berkumpul, kami segera bergegas ke rumahnya. Lantas waktu sampai disana dengan liar kami semua melompati pagar dan mendobrak pintu. Seluruh barangnya kami keluarkan hingga seisi ruang tengah, dapur dan kamar tidur kosong.
Setelah semuanya selesai, kami menunggu ia pulang. Biasanya jam segini dirinya kembali dari tempat kerja. Kami sengaja mendahului agar segalanya menjadi lebih mudah. Agar ia langsung pergi tanpa lagi membuang waktu. Lama menunggu namun ia tak datang jua. Perasaan kami makin geram. Sebagian warga yang terlampau emosi berteriak tuk mencincangnya saja seperti adegan adegan dalam televisi. Sampah macam dia memang pantas mendapatkan itu. Serapah bersahut. Suasana makin kalut. Tapi para tetua kampung kami menyela dengan berkata bila bertindak sejauh itu urusannya bisa ruwet nanti. Menyuruhnya pergi, sudah lebih dari cukup.
Diam
menahan geram, hanya itu yang kami lakukan hingga ia datang nanti. Sampai kami
semua tersentak saat seorang pemuda lari pontang panting menuju kearah kami. Sambil terengah ia berkata, “Si Marni! Si Marni mati!” wajah pemuda itu pucat setelah berata
demikian. Jelas kami keheranan melihat tingkah janggalnya. Ah, ada ada saja.
Entah salah makan apa ia semalam sampai bicara ngawur macam demikian. Bagaimana
bisa? Kemarin si Marni terlihat masih sehat sehat saja. Masih belaga seperti
biasa dengan merokok dan menghitung tumpukan uang di beranda depan. Tapi
kesanksian kami pupus. Waktu ia menyeret kami semua ke jalan besar dekat
pangkalan ojek.
Kami
temukan sesosok tubuh terbujur kaku dipinggir jalan, berlumur darah di
kepalanya. “Mau menyelamatkan anak kucing
di tengah jalan, malah celaka” kata salah seorang tukang ojek. “Terlindas
truk.” Sahut yang lain.
Kami tertegun menyaksikan tubuh
Marni telah membeku. Kepala
itu benar benar remuk. Kontan para ibu menutup mulut lantaran mendadak dicekat
mual. Sedang teriakan lantang para lelaki pelan pelan reda. Urat
leher kami tak lagi tegang, senjata dan pekarang masing masing sudah tersampir
dipinggang. Kami saling tatap tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. Saat
jalanan mulai ramai dengan lalu lalang kendaraan, tanpa perlu dikomando kami
segera membopong tubuhnya dalam keranda kemudian segera menyiapkan pemakaman.
Komentar