Bersikap Seperti Tirto (Refleksi Pemikiran Tirto Ahdi Soerjo Di Era Kelimpahan Informasi)
Hanya satu kali Pramoedya Ananta Toer mengungkap identitas asli Minke, tokoh utama dalam tetralogi Pulau Buru, yaitu pada novel keempatnya: Rumah Kaca. Pram secara tersamar menulis inisial T.A.S. tanpa menyebut kepanjangannya. Belakangan diketahui bila T.A.S yang dimaksud adalah Bapak Pers Nasional Tirto Adhi Soerjo. Setelah itu Pram tak pernah lagi menyebut nama Tirto dalam magnus opusnya itu.
Tirto dibikin misterius dalam tetralogi pulau Buru, sebagaima nasib sama ia alami di kehidupan nyata. Karena ketajaman penanya Tirto musti mengalami sejumlah represi. Koran Soenda Berita yang didirikannya pada 1903 bubar. Medan Priyayi yang berdiri pada 1907 bernasib serupa. Campur tangan kolonial telah membuat koran pertama buatan pribumi itu bangkrut. Tirtopun mati sebagai idealis kesepian. Pemakamannya hanya dihadiri beberapa orang. Jauh dari upacara duka cita bagi seorang pahlawan yang memberikan banyak jasa.
Kendati telah pergi, Semangat Titro nyatanya masih relevan dengan dunia jurnalistik masa kini. Di era kelimpahan informasi, di saat tiap orang dapat beropini muncul pertanyaan, apakah jurnalistik masih diperlukan? Model jurnalisme macam apa yang dapat menjawab arus informasi yang bukan cuma deras tapi juga bisa dikatakan kacau?
Apabila merujuk pada Tirto, maka jurnalistik digunakan untuk melawan kolonialisme dan penguasa lokal yang menindas. Sementara pada masa kini tantangannya lebih luas lagi. Di era media yang makin bebas dan terbuka, Kran berita hoax mengalir dari mana-mana. Tugas jurnalis adalah melakukan antitesa atas hoax-hoax itu. Jurnalis musti memiliki kemerdekaan berpikir, daya analitis dan berani menyampaikan kebenaran. Tentu ada resiko dari melaksanakan amalan nahi munkar. Dulu Tirto Musti dibuang ke Lampung lantaran kena delik pers dan diajukan ke pengadilan setelah menulis praktik persengkongkolan antara calon pengawas Purworejo, Siman dengan Wedana Cokro Sentono di Desa Blapangan Distrik Cangkrep, Purworejo.
Di lain waktu Wartawan Bernas Udin musti tewas lantaran menjalankan tugas jurnalistik investigatifnya. Penuh marabahaya? Memang. Taruhannya bisa sampai nyawa? Bisa jadi. Namun apakah yang lebih manis dari memenuhi panggilan jiwa sebagai seorang jurnalis untuk menyampaikan kebenaran? Maka simak apa yang disampaikan Marsiyem Istri Udin, “Mas Udin selalu bilang, kalau memang ada kesalahan, ya, harus diberitakan sesuai fakta. Memang begitu kerjanya wartawan,”
Semangat jurnalistik Tirto lainnya yang dapat diterapkan adalah melakukan advokasi melalui media. Medan Prijaji yang didirikan Tirto demikian getol melakukan hal itu. Contohnya saat memuat kasus perampasan tanah rakyat yang dilakukan kolonial. Berita serupa menunjukan bila kolonial musti bertanggung jawab atas ketidakadilan dan penderitaan rakyat.
Pada masa kelimpahan informasi masa kini, jurnalis dituntut untuk lebih peka terhadap isu-isu sosial dan kemanusiaan. Saat media sosial disibukkan dengan berita seputar hedonisme, foya-foya dan pesta pesta, jurnalis mustinya hadir di bilik-bilik rumah petani yang tanahnya dimanipulasi makelar, buruh yang di-PHK sepihak atau para korban pelecahan seksual yang tak memiliki kuasa untuk bersuara. Jurnalistik mustinya menjadi perpanjangan tangan mereka yang menderita agar didengar, diperhatikan hingga akhirnya mendapat keadilan.
Masih relevan untuk mehadirkan jurnalisme ala Tirto pada masa berlimpahnya informasi seperti saat ini. Jurnalis musti pula meneladani tokoh pers nasional itu. Lantaran sejatinya jurnalis dalam melaksanakan tugas-tugasnya tak mencari tenar. Ia semata-mata hanya mencari benar.
Komentar