Kisah Veteran Tua, Cita-Cita Merdeka dan Estafet Perjuangannya
Bila bicara soal semangat kemerdekaan maka saya seperti diminta untuk mengumpulkan pecahan-pecahan gelas kemudian berusaha untuk merekatkannya kembali. Pecahan itu ada dalam kepala, berserakan dalam bentuk kenangan. Buram, samar bahkan nyaris terlupakan. Saya coba sebisa mungkin untuk mengais-ngaisnya agar mendapat suatu sketsa, meski tak utuh paling tidak ada yang dapat diceritakan.
Saya ingat waktu masih kecil kira-kira saat berumur lima atau enam tahun, saat matahari sudah sepenggala dan sedang bermain dengan kawan-kawan di antara kebun singkong dan jagung, saya melihat seorang lelaki tua berjalan dengan tergopoh-gopoh di kejauhan. Lelaki itu berkulit legam macam tembaga. Wajahnya tampak memerah lantaran sepanjang jalan menitikan air mata. Meski hari mulai terik, pakaian dinas warna hijaunya masih licin, itulah satu-satunya pakaian terbaik miliknya, yang gunakan setahun sekali untuk menghadiri upacara hari kemerdekaan bersama para veteran lainnya. Saat ia makin mendekat tampak sebuah Bintang berwana emas tersemat di dadanya. “Akhirnya perjuangan aki diakui.” Ujarnya dengan bibir bergetar padauk dan pada ibu. Hari itu adalah hari bersejarah bagi kakek saya, ia mendapat bintang jasa veteran kemerdekaan.
Sebagai seorang bocah saya hanya bisa tertegun kala itu. Belum paham apa arti Bintang itu. Juga belum paham soal arti air mata yang terus mengalir itu. Lebih jauh cerita-ceritanya pada momen-momen tertentu saya maknai sebagai dongeng seorang kakek kepada cucunya, tak lebih dari itu. Saya masih ingat kakek bercerita komandannya berwarna Koswara lalu menunjukan secarik kertas lecek yang disimpan baik-baik dalam tempat yang suma ia yang tahu. Surat itu berupa surat perintah untuk memindahkan pasukan pada masa kemerdekaan. Kakek juga bercerita kalau tentara Belanda hanya berani melakukan perang kota. Mereka tak punya nyali jika sudah dipancing masuk hutan. Pernah ia menunjukan luka tembak di kaki kirinya. Ia bilang luka tersebut didapatkan saat berhadapan dengan Belanda. Pada saat itu pulalah saya tahu lantaran luka tembak itu kakinya menjadi kecil sebelah.
Kenangan masa anak-anak yang terserak itu meski samar ternyata terus terbawa hingga memasuki masa sekolah, kuliah dan bekerja. Wajah kurus dan kulit legam itu, cerita-cerita itu, Bintang jasa itu masih tergurat dalam ingatan kendati sudah dewasa. Rene Descartes berkata, “Aku berpikir maka aku ada.” Eksistensi manusia ditandai dengan kemampuan menemukan jawaban atas keresahan-keresahan dalam dirinya. Dalam perjalanan hidup genre buku yang saya minati salah satunya adalah buku-buku sejarah, bahwa kenayataannya kemerdekaan kita dibayar dengan harga yang sangat mahal, dengan tenaga, keringat dan darah. Bukan Cuma-Cuma macam bocah menerima hadiah ulang tahun dari bapaknya. Tengok saja bagaimana tak sudinya para pejuang di Bandung hingga lebih memilih membakar kota daripada kembali dijajah atau bagaimana para pemuda di Surabaya memilih melawan daripada sekutu menguasai kota mereka. Kemerdekaan kita adalah kemerdekaan yang dipertaruhkan antara hidup dan mati. Karena itu pula lah yang membuat kekak saya begitu emosial pada momen kemerdekaan itu. Ini tak sekadar soal mendapat bintang di dada, tapi ia mengalami langsung getirnya dijajah kemudian berjungan untuk lepas dari penjajahan itu. Ini bukan soal uang penisun pula, tapi jarak dirinya dengan kematian demikian dekat saat merentas jalan menuju kebebasan.
Maka adalah tugas kita kini melanjutkan semangat kemerdekaan. Paling tidak ada dua hal yang musti dilakukan. Pertama adalah amal ma’ruf, yaitu melakukan kegiatan yang memberikan dampak positif pada diri dan lingkungan. Dalam hal ini saya ingin meng-zoom-in, satu tema besar yaitu soal semangat belajar. Karena dengan Pendidikanlah bangsa ini menjadi melek secara intelektual, dapat menyadari arti penjajahan dan kemerdekaan. Sedang dulu Pendidikan kentara nian diskrimiatifnya. Gambaran diskriminasi itu dapat kita tengok dari Novel Bumi Manusia karya Pramoedaya Ananta Toer. Hanya belanda totok, indo dan priyayi yang mendapat Pendidikan tinggi. Minke contohnya sebagai anak bupati ia memili previlage untuk masuk HBS di saat jutaan anak seusianya masih terbelenggu kebodohan. Toh minke pun kendati anak bupati masih juga mendapat-perlakukan diskriminatif. Karena ia bukan belanda totok atau indo. Saat ia tak paham pelajaran yang disampaikan gurunya, maka sang guru meledeknya memanggilnya minke berkali-kali. Minke adalah kata lain dari monyet.
Para pejuangan kita berani berkorban untuk bisa sekolah. Tan Malaka sampai mengeluarkan dana pribadi agar bisa bersekolah di Belanda. “Pendidikan bertujuan untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan.” ujarnya. Bung Hatta adalah pembaca buku yang rakus. Karena seperti yang dikatakannya, “Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”Karena itu semangat untuk terus belajar harus terus dinyalakan. Pada masa kini beruntung bagi siapapun yang dapat melanjutkan Pendidikan secara formal bahkan hingga Pendidikan tinggi. Gunakan kesempatan istimewa itu untuk menggapai cita-cita. Bagi yang terbatas kemampuan finansialnnya bukan berarti mimpi itu mati begitu saja. Saat ini ilmu dapat dipelajari melalui cara lain, yaitu dengan menggunakan internet. Dunia maya seperti youtube dan social media contohnya menyediakan seluas luasnya ilmu yang dapat dipelajari melalui aneka video tutorial. Kemapuan dapat diasah secara mandiri bahkan hanya dari rumah. Internet memberikan banyak saluran untuk mendapat ilmu yang sesuai passion secara Cuma-Cuma.
Semangat kemerdekaan kedua yang musti dilanjutkan adalah keberanian untuk speak up atau dalam Bahasa agamanya dalah nahi munkar. Menyatakan keberanaran resikonya lebih besar bahkan berbahaya tapi iniah jalan para pahlawan. Para pahlawan adalah para pemberani. Lihatlah, Muhammad Toha berhasil meledakan Gudang mesiu Belanda di Bandung, lihat pula Para pejuang berhasil merebut kembali Jogja dalam dalam peristiwa serangan umum 11 Maret.
“Jangan lari, hadapi semua. Itu cara melatih keberanian.” Kata pram. Para pemuda harusnya bisa bersikap. Mengutip ungkapan Aktifis mahasiswa Soe Hok Gie para pemuda adalah, “Mereka yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran, dan salah sebagai kesalahan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, atau golongan apapun.” Bentuk keberanian dimasa kini adalah keberanian untuk bersikap bila mendapati hal-hal yang tidak beres. Tak usah muluk muluk ingin merubah nasib bangsa kalau menegur orang yang merokok saat berkendara saja tak mampu. Jangan mimpi menjadi pemimpin bangsa bila menegur orang yang buang sampah sembarangan saja tak punya nyali. Bukankah perubahan besar diawali dari rangakian perubahan kecil. Karena itu mulailah berani speak up menyatakan kebenaran dengan segala resikonya. Pasti ada resistensi dan perlawanan. Tapi apakah hal yang lebih indah dari seorang pemuda kecuali saat ia berani menyatakan kebenaran.
Semangat kemerdekaat musti dilanjutkan. Karena estafet perjuangan membutuhkan penerus. Hanya oleh mereka yang berkarakter amal ma’ruf dan nahi munkar bangsa ini bisa menggapai cita-citanya. Karena kita tak Cuma butuh orang-orang pintar, lebih jauh butuh orang-orang yang benar. Mereka yang mau berkorban, amanah dan jujur dalam tiap langkah perjuangannya. Karenas sifat-sifat itulah yang selaras dengan sifat kepahlawanan.
Komentar