CALEG STRESS CALON KORUPTOR MASA DEPAN

sakitnya makin terasa pedihnya tak terhingga nafsu ingin berkuasa memang mahal ongkosnya (Iwan fals ) Potongan lagu diatas, begitu senada dengan nasib tragis para calon legislatif yang gagal dalam PEMILU tanggal 9 April 2009 lalu. Setelah menghabiskan dana untuk membiayai kampanye, mereka harus gigit jari karena suara yang diperoleh ternyata jauh dari harapan. Segala cara telah dilakukan, mulai dari memasang baliho dijalan jalan protkal, membagikan selebaran visi misi apabila kelak terpilih, sampai melakukan kampanye gelap seperti memberi sembako dan uang saku pada masyarakat beberapa jam sebelum PEMILU dimulai. Dengan melakukan hal hal tersebut mereka berharap bisa menarik simpati rakyat, kemudian dapat mendulang banyak dukungan. Namun rakyat adalah rakyat yang menilai dengan cara mereka sendiri. Para caleg berfikir dengan menghamburkan dana, otomatis mereka dapat terpilih. Tapi bagi rakyat para celeg itu tak lebih dari sampah visual diruang publik, karena kehadiran baliho baliho dan spanduk selama kampanye bukannya menjadi sarana sosialiasai yang efektif tapi justru malah merusak keindahan tata kota. Rakyat telah jemu dengan tiga puluh dua tahun masa pemerintahan diktator soeharto dan dua periode pemerintahan reformasi dimana keadilan, kesejahteraan dan taraf hidup layak belum juga terwujud. Sekarang tanpa track record jelas tiba tiba tampil caleg caleg “gurem” ingin menjadi pahlawan kesiangan. Mengubar janji manis yang kesannya seperti biasa, basi. Hari ini rakyat berkata, “cukup ! kami sudah muak. Sebagian dari kami akan golput dan sebagian lagi memilih calon dengan lebih selektif !” Kemudian, menarik apabila mengamati tingkah caleg caleg gagal pasca pemilu. Istilah caleg stress menjadi ngapop baru baru ini. Baik dari koran atau televisi kita dapat tertawa geli, miris, sedih sekaligus marah apabila menyimak tindak tanduk mereka. Ada caleg yang menyegel pasar karena ia tidak terpilih. padahal sang caleg telah mengizinkan warga untuk berjualan diatas tanahnya. Ada yang mengambil kembali atribut kampanye setelah mengetahui kalau suara pemilihnya mengecewakan. Ada pula yang mengalami nasib tragis. Nur hayati contohnya, caleg Nomor delapan dari kota banjar ini bunuh diri karena seperti dua caleg sebelumnya iapun gagal. Padahal Nur telah menghabiskan biaya kampanye dari kantongnya sendiri sebesar lebih kurang tiga ratus juta rupia. Bayangkan tiga ratus juta raib tiba tiba sementara mimpi menjadi pejabat tak kesampaian. Tiga ratus juta yang terbilang masih amat kecil karena ongkos politik untuk memuluskan jalan ke gedung rakyat di negri ini konon bisa mencapai limaratus juta sampai satu miliar rupia. Lalu kalau kita berandai andai jika seumpamanya terpilih, kelak hal apa yang pertama kali mereka akan lakukan setelah harta benda, kekayaan dan aset aset pribadi habis untuk membiayai kampanye ? Walau saya bukan mahasiswa jurusan ekonomi, jika menggunakan hitungan matematika untung rugi, hal paling logis yang akan dilakukan pertama kali adalah bagaimana mengembalikan “dana investasi” secepat mungkin. Inilah bahaya laten Indonesia. Calon calon pemimpin bermental dagang. Menganggap jabatan layaknya alat tukar ekonomis. Pertama menanam modal habis habisan ketika kampanye, kemudian mengambil untung lebih besar khususnya materi setelah menjadi pejabat. Dengan kata lain inilah calon calon koruptor baru negri kita. Mereka yang akan melanggengkan lingkaran setan dimana bekerja sebagai abdi negara tak lebih dari tiga D, duduk, diam dan duit. Kita patut bersyukur karena caleg caleg stress ini tidak dipilih rakyat. Kalau mereka jadi, tak terbayang berapa banyak lagi uang negara yang akan dikorupsi ?. Namun kita juga harus prihatin dengan keadaan mental mereka. Setelah mengalami shock berat karena tidak terpilih dan kehilangan harta benda adalah menjadi tugas orang terdekat untuk terus mendukung dan membesarkan jiwa mereka . kita hanya bisa berdoa semoga caleg caleg tersebut pulih kembali keadaan mentalnya seperti sedia kala. Dan yang paling penting adalah tumbuh kesadaran dalam diri mereka bahwa untuk mengabdi pada rakyat tidak selalu harus bergabung dengan birokrasi. Karena nilai utama dari pengabdian adalah memberikan apapun sebanyak banyaknya pada orang lain tanpa menuntut imbalan. Selanjutnya harus makin matang pula pemahaman mereka kalau Karir politik bukanlah lampu ajaib aladin yang setelah digosok muncul jin sakti mandra guna yang bisa mengabulkan macam macam permintaan. Sejatinya ia ibarat tangga yang titiannya harus dilewati satu persatu. Track record dimana hasil kerja dan kebersihan diri dari korupsi menjadi modal utama. Hal itu lahir dari gemblengan kaderisasi yang panjang dalam tubuh partai tiap tiap caleg. Jangan bicara soal pemimpin kalau sang calon tak mau dikader. Jika seorang caleg dapat mencitrakan dirinya sebagai abdi yang tulus dengan dibarengi kerja nyata, tanpa harus keluar dana besarpun niscaya ia dapat terpilih. www.sanursukur.blogspot.com

Komentar

Postingan Populer