JALAN PANJANG MERENTAS KEMERDEKAAN BURMA


Pandangan “bapak rasisme modern”, Charles Darwin soal mahluk paling kuat akan selalu menghegemoni mahluk mahluk lebih lemah seperti tertuang dalam the origin of species, telah mengilhami sebagian orang didunia untuk merebut kekuasaan dengan cara cara tidak halal. Para penguasa tiran, despotis dan paranoid adalah bukti dari pengejawantahan pandangan sinting itu, dimana mereka mewarnai perjalanan sejarah umat manusia bukan dengan kasih sayang tapi darah. Tengok saja bagaimana pemerintah Uni soviet mengeksekusi 39 juta rakyatnya sendiri, atau pemerintah komunis Cina yang menghilangkan lebih dari 45 juta nyawa. Itu baru dua negara, belum ditambah dengan korban tewas pada perang dunia I dan II. Sepanjang abad ke 20, diperkirakan hampir 170 juta nyawa melayang sia sia akibat ambisi segelintir orang yang mabuk kekuasaan. Karena sikap paranoid mereka, para penguasa ini mendapat sejumlah stigma negatif, seperti diktator, fasis, tangan besi atau malaikat pencabut nyawa. Apapun julukannya, terdapat keseragaman cara yang mereka praktekan ketika menjalankan pemerintahan. Adalah paham ke-aku-an yang mereka pakai, dimana “aku” lebih digdaya daripada “kamu”, Agar kedigdayaan “ku” tidak diambil oleh “kamu”, maka “aku” dengan segala cara harus menyingkirkan “kamu”. Dalam hal ini Kebenaran absolut tidak lagi datang dari demokrasi tapi represi. Lahirlah tukang tukang jagal semacam Hitler, Stalin, Ante Pavelic, Mao Tse Tung, Idi amin atau Theoneste Bogosora.

Hari ini, walau zaman telah berganti dan nilai nilai kemanusiaan, perdamaian, anti kekerasan dijunjung tinggi pasca berakhirnya perang dunia ke II, Ternyata masih ada negara negara yang menganut paham ke-aku-an ini. Dari sekian banyak negara, Burma adalah salah satunya. Sejak kudeta tahun 1988 silam, junta militer telah melakukan sejumlah kekangan, pembatasan dan teror pada rakyatnya. Sebagai contoh, kebebasan mengakses informasi diberangus. Penggunaan mesin pencari internet tanpa izin bisa berakhir pada penangkapan. "Kalau kedapatan memakai Yahoo atau Google ataupun mesin pencari lainnya oleh aparat negara maka bisa dihukum hingga 10 tahun penjara", kata Jurnalis Burma Sien win dalam wawancaranya dengan the globe jornal. Slogan populis pemerintah “no politic and pornography” tersebar di senatero negri seribu pagoda itu. Sementara "Politik”, kata Sien win “pengertiannya sangat luas di Burma, bisa berarti anda tidak boleh menonton CNN, ABC, mencari kata "Aung San Suu Kyi" atau kata "Burma" sekalipun di internet,". Ia melanjutkan, Pemakaian telepon dan faxilime harus dilaporkan ke pemerintah sebab kalau tidak, bisa berakhir pada penahanan.

Sikap represif junta militer lebih kentara diranah politik. Walaupun mendapat suara pemilih sebanyak 80 % pada pemilu tahun 1990, pemerintah tidak mengakui LND (liga nasional untuk demokrasi) sebagai pemenangnya. Aung san suu kyi, pemimpin partai pro rakyat tersebut dijebloskan kedalam tahanan rumah dalam waktu sangat panjang (19 tahun). Pemerintah selalu mencari cara dan alasan agar Suu kyi tidak berkomuniasi dengan lingkungan luar. Politik isolasi mereka terapkan. Jared Genser dan Meghan Barron yang bekerja pada LSM Freedom New menulis, ”Telepon sudah bisu buat selama-lamanya, lantaran kawatnya diputuskan. Lonceng pintu tidak pernah berbunyi, lantaran tamu-tamu dilarang datang. Tidak ada surat pos, tidak ada warta berita Bagi Aung San Suu Kyi, pemimpin Myanmar yang telah terpilih secara demokratis”. Berita terbaru menyebut pemerintah menuntut Suu kyi lima tahun penjara, karena dituduh mengancam keamanan nasional dengan mengizinkan seorang warga AS, Jhon yettaw menginap secara rahasia selama dua hari dirumahnya. Tuduhan tidak masuk akal ini, menurut para pengamat adalah alasan yang dicari cari agar suu kyi lebih lama mendekam dalam penjara sehingga tidak dapat mengikuti pemilihan umum pada tahun 2010 nanti.

Sikap represif junta militer mendulang protes baik didalam ataupun luar negri. Tuntutan agar demokrasi lebih terbuka dan iklim politik lebih sehat diselenggarakan oleh pemerintah, berdatangan dari negara negara dan LSM LSM yang menyimpan simpati pada pejuangan rakyat Burma. Namun seperti halnya penguasa tiran di manapun, junta militer menjawab semua itu cukup dengan todongan senjata dan barikade panser. Aksi aksi damai para biksu dan pejuang pro demokrasi berakhir dengan huru hara. Pemukulan, penahanan, penyiksaan, penembakan terus terjadi sampai hari ini. Selain menggunakan tentara reguler sebagai benteng pertahanan, junta militer juga mendapat sokongan dari pasukan partikelir bernama Union Solidarity and Development Association (USDA). Mereka ditugasi untuk bergabung dalam aksi aksi anti pemerintah kemudian merubahnya menjadi kekerasan. Tahun 2003 USDA terlibat dalam upaya pembunuhan Aung San Suu Kyi. Meskipun gagal tindakan itu menewaskan simpatisan LND sebagai gantinnya.

Sampai sekarang junta militer masih berkuasa. Dengan sikap ke-aku-an warisan charles darwin mereka mengontrol tiap sendi kehidupan dengan cara cara fasistik, sementara rakyat hidup dalam ketakutan dan teror. Jendral jendral dalam tubuh junta militer barangkali tidak pernah membaca the origin of species, namun metalitas fasis yang diwariskannya terus menular dari satu penguasa tiran ke penguasa tiran lain. Kita tidak tahu sampai kapan tentara tentara memegang kendali. Kita hanya berharap semoga kediktaron junta militer segera disudahi. Semua pihak mesti bersinergi dalam hal ini, masalah Burma bukan hanya masalah rakyat Burma tapi juga masalah seluruh masyarakat dunia karena berkaitan dengan isu kemanusiaaan. Dewan keamanan PBB harus membuktikan kalau mereka adalah representasi dari suara negara negara anggotanya yang mencintai perdamaian. Selain kecaman, PBB harus memberlakukan sanksi politik, seperti mengadili para pelanggar HAM di mahkamah internasional. Masyarakat biasa yang tergabung dalam LSM LSM atau berjuang secara individu berbuat dengan cara cara yang mereka bisa. Baik ahli ekonomi, dokter, penulis, seniman, ilmuwan atau kuli kuli kasar sekalipun dengan penuh kesadaran, menyumbangkan ide, saran dan tindakan nyata. Sehingga kelak, apabila kekuatan pro demokrasi berhasil merebut kekuasaan dan menyelenggarakan pemerintahan dengan lebih beradab, yang merasa menang bukan hanya rakyat Burma tapi juga Umat Manusia.




sumber foto : http://www.phaseloop.com/foreignprisoners/exp-the_quiet_land.html

Komentar

Lilis Indrawati mengatakan…
Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, hak asasi, yang tak siapa pun boleh melanggarnya...
sanur sukur mengatakan…
dengan tidak melupakan masalah masalah nasional kita juga patut peduli dengan perkembangan masalah internasional....dukung terus Burma

Postingan Populer