MAHASISWA LAWAN SIAPA?


“Nila setitik rusak susu sebelanga”, ungkap pepatah lama. Hal tersebut amat paralel dengan tidakan anarkis yang ditunjukan oleh oknum mahasiswa belakangan. Disebut oknum sebab tak semua insan perguruan tinggi bertindak demikian. Namun karenanya, dapat dipastikan jarum sejarah bergerak mundur dan kita seolah kembali kezaman purba, dimana darah dan peperangan menjadi solusi dalam memecahkan suatu masalah. Intelektualitas dan heroismepun hilang wibawa, lantaran gejolak ‘darah muda’ para mahasiwa terlanjur lepas kendali.

Bila mengkalkulasinya dengan ‘ rumusan matematika politis’, tindakan kekerasan seperti yang terjadi antara mahasiswa YAI-UKI Jakarta, tawuran antar fakultas di Universitas Samratulangi Manado atau berkonfrontasi langsung melawan aparat seperti di Makasar, membuat citra mahasiswa dihadapan publik anjlok ketitik minus. Alasannya?

Pertama, kekerasan yang terjadi dalam ‘tubuh mahasiswa’, makin menguatkan tudingan kalau terdapat kekeliruan dalam mengelola sistem pendidikan tinggi kita selama ini. Kampus tak ubahnya ‘konsulat asing’ yang bekerja mengeluarkan visa bagi para mahasiswa untuk mendapat gelar akademik. Iming iming absen longgar, cepat lulus atau jadwal fleksibel merupakan magnet tersendiri bagi mereka. Sedang pembinaan etika, moral dan sprititual diajarkan sambil lalu dengan durasi kuliah yang seret. Tak heran kalau mahasiswa berkembang menjadi sosok yang cerdas secara intelektual namun bebal secara personal. Bila muncul suatu masalah, jalan keluar yang ditempuh adalah cara cara konfrontatif, bukan duduk bersama untuk mencari solusi terbaik.

Kedua, kekerasan sama dengan ‘bunuh diri sosial’ yang konyol. Padahal romantisme sejarah menggariskan bila mereka dan rakyat sejatinya adalah kekuatan manunggal. Menjadi kontra produktif bila mahasiswa yang berjuang mengatas-namakan rakyat justru ‘melukai’ rakyat. Pemblokiran jalan, perusakan aset aset publik atau menyerang mobil dinas dan ambulan dapat membuat mereka kehilangan suport moral. Mahasiswa anarkis hanya akan menjadi tiran tiran bertipikal anarkis pula lima sepuluh tahun kedepan. Seperti dikatakan Pramudya Ananta Toer, mereka dengan kekuasaan absolutnya memiliki, “mentalitas umum priyayi: beku, rakus, gila hormat dan korup.”

Karena itu kedepan introspeksi wajib dilakukan. Kampus musti meninjau kembali kebijakan korporatifnya. Hal paling penting bukanlah menambah tambun ‘takaran neraca laba’, namun mencetak lulusan yang bukan hanya pintar intelektualnya tapi juga bermoral kepribadiannya. Sedang bagi mahasiswa, alih alih bertindak anarkis dengan mengatas namakan rakyat, konsolidasi dan memperkuat jaringan musti digalang. Dengan mencopot asal usul kampus dan masing masing ideologi golongan, kekuatan moral yang melebur dapat menjadi senjata ampuh dalam mensukseskan cita cita perjuangan. Ungkapan asing berkata, “Fight war not war”, dan karenanya aksi massa yang massif namun tetap damai dan simpatik, dapat menaikan kembali grade mahasiswa secara umum dihadapan publik. Tabik!

Sumber Foto: http://wahyukokkang.wordpress.com/

Komentar

Postingan Populer