MARCOS: EKSISTENSI TANPA RUPA


“Beda antara mereka dan kita semua bukanlah terletak dalam kantung salah satunya, meski kantung mereka berlimpah uang sementara kantung kita berlimpah harapan.”
(Subcomandante Marcos)

“Kata adalah senjata,” ungkap Subcomandante Marcos, pemimpin sekaligus juru bicara gerakan Zapatista. Baginya Revolusi tak sekedar retorika klasik soal darah, tapi ia bisa tampil 'seksi' bila didukung oleh instrumen yang biasanya dilirik sambil lalu oleh geriliyawan bersenjata populer, yakni kata kata.

Diluar dugaan umum, Marcos bukanlah sosok geriliyawan fanatik yang membabi buta dalam mewujudkan cita citanya. Ia justru dikenal sebagai penulis mahsyur dari Pegunungan lacandon, negara bagian Chiapas tempat para pejuang Zapatista terkonsentrasi. Setelah kontak senjata dua pekan melawan militer pemerintah pada Januari 1994 menyusul disepakatinya draft perdagangan bebas antara Mexico, Amerika dan Kanada. Hingga karenanya petani petani miskin kehilangan tanah dan nafkah mereka, Marcos menggebrak dengan perang gaya baru yang luar biasa unik.

Komandan Zapatista ini menterjemahkan gagasan gagasannya melalui tulisan. Tak kurang dari dua ratus esai dan cerita, juga dua puluh satu buku dengan total tiga puluh tiga edisi ia terbitkan sejak 1992-2006. Menanggapi karya karya Marcos, Alexander Cockburn penulis kolom untuk The Nation mengatakan, “ribuan kata dari prosa paling indah yang pernah ada dalam sejarah Mexico”. Sementara Gacia Marquez sang empunya realisme magis, menyebut, “Apa yang tengah terjadi di Chiapas membuatku ingin membuang buku buku ku ke laut.” Dengan gaya santai dan renyah Marcos dalam tulisannya mengagitasi, meledek, merayu, merajuk, bahkan melucu. Hal ini terbukti ampuh menyerang balik represi neoliberal pemerintah Mexico yang telah 'melacurkan diri' pada sistem ekonomi haram jadah itu. Kemenangan opini berbuah kemenangan posisi, pihak incumbet dipaksa menyetujui tuntutan politik para pejuang soal otonomi khusus dan hak pengolahan tanah oleh petani miskin.

Dibalik Topeng
Siapa Marcos? Tak seorangpun tahu. Ia selalu menyembunyikan identitas dibalik balaklava (topeng hitam) yang kemanapun selalu pakai. Melihat kesamaan karakter tulisan, pemerintah Mexico menduga Marcos adalah Rafael Sebastian Guillen Vicente mantan profesor filsafat National Autonomous University of Mexico (UNAM) kelahiran Tamaulipas. Namun hal itu dibantah oleh Marcos, dengan guyon ia berkata memang pernah bekerja disana tapi sebagai bodyguard pada salah satu rumah bordil. Saat wartawan majalah Vanity Fair, Ann Louise Bardach bertanya kenapa ia tak mau melepas balaklavanya, dengan guyon kembali Marcos menjawab, “Jika aku menanggalkan balaklava ini wajahku akan menjadi lebih buruk, Sebab aku sekarang dianggap tampan”.

Lebih dari segurat rupa, Subcomandante Marcos adalah simbol dari gerakan revolusi yang ispirasional. Tak melulu anarki seperti dipertontonkan oknum mahasiswa belakangan, bila jeli, katapun bisa menjadi kran penyalur aspirasi yang efektif . Selain itu, substansi lebih utama dibanding eksistensi. Karena tugas seorang intelektual adalah menghegemoni masyarakat baik didalam dan diluar kampus dengan pesan pesan konstruktif. Marcos telah mencontohkannya, tanpa harus menjadi 'banci tampil' yang lebay rindu eksis, ia berjuang sembari merahasiakan identitas dirinya. Belajar dari Subcomandante Marcos adalah hal niscaya bila menghendaki perubahan tersturuktur dimasyarakat kita.

Komentar

Miawruu mengatakan…
wah...penggemar marcos ya... menarik sejarah hidupnya, tapi Mia tetap cinta produksi dalam negeri, yaitu Tan Malaka^^
suguh kurniawan mengatakan…
waa ngga nyangka mia yang imut imut penggemar Tan malaka sana tau subcomandante marcos ^^

mastra siempre companeera ^^

Postingan Populer