MENGHIRUP 'CANDU' TIMNAS


pulang kerja saya pergi ke kampus. Sore sore sampai disana. Saya sudah janjian dengan kawan untuk bertemu. Seperti biasa saya naik angkot dari Panorama menuju Cikutra. Dalam angkot orang orang ramai benar bicara soal Timnas Indonesia. Sekumulan mahasiswa kira kira jumlahnya tujuh orang, yang saya terka baru pulang kerja paruh waktu hampir sepanjang jalan membahas soal kemenangan tim kesayangan mereka itu. Mereka bicara soal Bachdim, Bambang, Gonzales, Okto, Arif Suyono penuh rasa optimis. Salah satu dari mereka bilang nanti bisa jadi dia pergi kemana mana tidak akan pakai Baju Barca atau MU lagi tapi baju Timnas. Yang lain juga bilang permainan Timnas ketika lawan Filipina amat heroik. Inilah pencapaian terbaik Indonesia secara kolektif sebagai timnasional.

Habis ngobrol tak keruan bersama kawan kawan dikampus dan makan sama sama. Saya pulang naik angkot lagi. Dua orang mahasiswi kembali bicara soal timnas. Saya terka mereka sebenarnya jarang nonton main bola, karena salah menyebut beberapa nama pemain, tapi apa yang mereka bahas merupakan perwujudan atas rasa bangga bada sebuah tim yang sekalipun tak pernah jadi juara AFF dan kini tiba tiba berubah menjadi monster menakutkan bagi lawan lawannya.

Bangsa ini, termasuk saya dan juga mahasiswa mahasiswa dalam angkot tadi sedang merasakan apa yang disebut dengan eouforia. Tim kami tak terkalahkan bahkan selalu menang dalam setiap pertandingan di AFF Cup. Bagi kami monetum ini jadi semacam angin segar dalam kehidupan mayoritas rakyat yang karut marut. Rakyat yang saban hari jengah dengan persoalan hidup seperti kemiskinan, biaya pendidikan selangit, pelayanan kesehatan yang buruk dan sederet masalah lain seperti menemukan oasisnya. Rakyat yang geram karena sikap birokrat yang tingkahnya lebih mirip pedagang ketimbang negarawan lantaran sibuk dengan pencitraan semu, rakyat yang jengah melihat pemimpin rabun nilai nilai lantaran hidup bermewah mewah menggunakan pajak negara, dan rakyat yang bosan melihat makin bobroknya tatanan birokrasi, kini dapat menemukan apa yang disebut dengan pelarian.

Bangsa ini seolah olah dibuat ‘sakaw’ atau bisa juga dikatakan ‘fly’ atas raihan positif yang terlah dicapai oleh Timnas. Firman Utina dan kawan kawan menjadi candu yang memabukan hingga rakyat seolah melayang layang dalam gegap gempita euforia AFF Cup. Volume pede mereka melonjak beberapa digit dan kini tak sungkan lagi untuk mengaku sebagai bangsa Indonesia bila ada yang menanyakan asal usul bangsa mereka.

Sejenak rakyat melupakan soal kasus Gayus yang terkenal jayus itu. Sirkus ala gayus amat konyol tapi tak sedikitpun membuat kita tertawa. Seorang pesakitan yang ditahan lantaran terjerat kasus suap bisa melenggang ke Bali untuk menonton pertandingan tenis. Gayus memang jayus. Buktinya ia membuktikan betapa kekuatan uang bisa meruntuhkan benteng integritas kepolisian RI. Dinginnya dinding sel MAKO BRIMOB ditembusnya dengan kekuatan uang.

Kita bisa melupakan pula untuk sejenak kisruh Sultan Jogja dengan pemerintah pusat. Pernyataan soal monarki dan demokrasi serta usulan untuk memilih gubernur Jogja secara langsung benar benar telah membuat rakyat jogja geram. keistimewaan jogja seakan tercabik atas pernyataan itu. Terlebih saat Gamawan Fauzi menyatakan bila aksi menentang pemilihan langsung sultan sebagai gubernur beberapa waktu lalu tidak merepresentasikan suara mayoritas rakyat jogja sendiri.

Bagi rakyat miskin (berpendapatan dibawah Rp 6000/hari), kedigjayaan Timnas adalah pelarian dari segala macam kemelaratan. Gol gol cantik El Loco dan kawan kawan sejenak menepis rasa lapar mereka yang selama ini tak tertahankan. Sejenak hutang dan kreditan sandang pangan terlupakan, sejenak pula biaya kosan perbulan, biaya pendidikan anak anak dan problema pekerjaan yang tak kunjung diraih pun diganti dengan sorak sorai bahagia dan teriakan yang lepas.

Tak ada yang tahu apakah Timnas akan jadi kampiun atau tersingkir. Paling tidak inilah hiburan bagi 250 juta rakyat. Semua bersinergi tanpa lagi melihat asal usul, identitas, rasa atau agama demi satu nama, Indonesia. Tak ada yang tahu apakah Timnas akan jadi kampiun atau tersingkir. Untuk sementara, biarlah rakyat melayang layang dalam euforia. Sebelum kelak mereka kembali menjalani hidup yang biasa dijalanani. Sebelum mereka kembali menginsyafi betapa getirnya kenyataan.

Komentar

Anonim mengatakan…
nioe blog..

kalau ada waktu silahkan mampir ke blog ane yang sederhana di http://toglu.wordpress.com

Postingan Populer