Ingin Ku Kecup Kening Amak Sekali Lagi



Padahal jangkar rantauku masih tertambat erat di dada amak
Melindapi kelok curam labirin asanya yang putih macam pohaci
Mencengkram muara cintanya yang harum bagai kesturi

Sungguh masih ingin kucumbu ia seperti kemarin lalu
Saat perlahan terbuai oleh senandung Anak Salido
dalam timangan legam sepasang tangan tembaganya
atau termangu menyimak kisah tinutur batu ajuang batu peti
lepas lampu surau mati dan anak anak pulang mengaji.

Tak gundahkan ia, waktu lamat lamat bunyi peluti merambat
antar perahu sandar di hadapan?
Sampai hatikah ia, tika melihat orang orang berhimpit
dalam sesak anjungan pula buritan?

Selembar kain sarung dan peci
Sebuah mushaf Qur’an dan pepata pepiti
dijejalkannya dalam kopor haji sisa umroh tetangga tujuh tahun lalu
Silat langkah tigo harimau campo menyertai
bertahun telah menjadi sungai garam, dalam sulur gerak dan langkahku.

“Karatau madang di hulu, Babuah babungo balun…,”
Ia mengusap peluh di keningku
“Marantau Bujang dahulu, Di kampuang baguno balun.”
Ia mendekap dan mulai terisak di bahuku

Gemuruh dalam dadaku
menjadi pusaran gelombang karenanya.
Lantas ia semburat hingga langit berubah sendu
Wajah itu kini bersisipan bersama sapuan awan di atas sana,
Wajah yang telah mengkerut lantaran digerus usia
Wajah yang telah tiga puluh satu tahun bermimpi,
namun tak jua berangkat naik haji.

Ingin kukecup kening amak
meski hanya sekali
Sayang,
Belum lagi berbalik badan di ambang titian sauh
Ia lebih dulu pergi lalu menjauh.

(Ngilu di dada kukemas baik baik bersama mimpi amak menuju rantau)

Komentar

Anonim mengatakan…
i like this.
frm khatijah ariffin
suguh kurniawan mengatakan…
terima kasih kunjungannya ya Khatijah
S. Fauzia mengatakan…
Begitu polos, mengalir apa adanya, sebuah ketulusan, makna yang mendalam.
Saya suka puisinya.
Untaian kata untuk sebuah rasa :)
suguh kurniawan mengatakan…
selamat hari ibu ya Zia.... ^^

makasih bgt udah komen...

Postingan Populer