Filosofi Berperang Ala Samurai Sejati


Samurai sejati selalu menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian. Kemenangan tak melulu diartikan dengan terhempaskan musuh di medan perang. Bukankah segalanya musti dimulai dan diakhiri dengan etika serta rasa hormat pada lawan apa lagi kawan? Bukankah amarah hanya akan membuat seorang raja menjadi budak, sedang pengampunan dapat merubah seorang budak menjadi raja?
Toyotomi Hideyoshi, pemimpin legedaris Jepang pada abad ke 16 berujar, “Prajurit terbaik tidak pernah menyerang, prajurit terhebat berhasil tanpa kekerasan, dan penakluk terbesar menang tanpa perang.” Pemimpin yang datang dari kalangan petani miskin kebanyakan itu menambahkan, “Meski dikenal karena kemampuan kemiliteran, aku masih lebih bangga dengan keterampilanku sebagai seorang negarawan. Aku lebih memilih berdiplomasi daripada bertempur. Sebagian besar penaklukan yang kulakukan terjadi tanpa pertumpahan darah, dan banyak orang berkata bahwa aku adalah diplomat terbaik dalam sejarah Jepang. Jika kau ingin mencapai kesepakatan yang menguntungkan dengan mereka yang berseberangan denganmu –tanpa harus memenggal kepala mereka- maka kau akan merasakan manfaat dari pendekatan yang kulakukan.”
Akar yang menjadi cikal bakal dari pandangan Hideyoshi adalah rasio yang dapat berdiri dengan koheren antara akal sehat dan emosi. Antara perhitungan yang matang dengan semangat bertempur yang menggebu-gebu. Ia dapat menyeimbangkan kumparan magnet hari ini dan esok hingga tak bertindak terburu-buru, ceroboh bahkan mengundang petaka. Dengan demikian visi yang sifatnya membangun dapat ajek guna mencapai kemenangan yang sifatnya jangka panjang bahkan abadi.
Sedang buah darinya, adalah tindakan nyata yang sama sama menguntungkan semua pihak. Toyotomi Hideyoshi, yang kerap diledek berwajah mirip monyet itu, yang udik dan berperawakan kecil itu, berhasil menyatukan Jepang pada masa paling gawat di mana antar klan saling menghabisi satu sama lainnnya, sedang perang dijunjung tinggi tinggi sebagai panglima. Selain itu filosofi kepemimpinannya pun masih relevan sampai saat ini hingga dirinya mendapat julukan mulia, samurai tanpa pedang.
Bila ingin melihat contoh lain, samurai sejati adalah seperti Uesugi Kenshin(18 Februari 1530-19 April 1578) yang jarang melibatkan diri dalam peperangan bila peperangan tersebut bermuatan politis. Dirinya selalu menjunjung tinggi nilai nilai keadilan. Bila terjadi sesuatu yang tak adil maka ia tak ambil bagian didalamnnya. Dirinya selalu mampu meyakinkan rekan rekannya bila perang bukanlah cara terbaik untuk mencapai tujuan.
Samurai sejati adalah seperti Takeda Harunobu (1 Desember 1521–13 Mei 1573) yang berkata, “Memenangkan ratusan peperangan bukanlah kebanggaan. Tapi, kemenangan tanpa peperangan adalah kebanggaan yang sesungguhnya.”
Prinsip para samurai sejati seperti didedahkan di atas, yang datang dari masa lalu, yang dalam pandangan pragmatis anak muda masa kini sering dianggap kuno, seolah meledek habis habisan tesis Hobbesis. Homo homini lupus ujarrnya, bila manusia berprilaku umpama serigala yang saling memangsa untuk membuktikan siapa diantara mereka yang terkuat. Jika demikian tak ada lah bedanya manusia dengan binatang?
Tapi samurai sejati tak berpikir demikian. Lebih dulu menyarungkan pedang bukan berati tak lagi punya nyali tuk terjun langsung ke medang perang. Mengutamakan dialog bukan berarti pula tak lagi sanggup bertempur mati matian hingga ajal menjemput. Bukan! Ini sama sekali bukan tanda kepengecutan! Justru mereka melakukannya sebagai strategi untuk mencapai tujuan jangka panjang yang keuntungannya jauh lebih besar. Pedang baru dicabut dan genderang perang ditabuh keras keras saat segala macam upaya diplomasi berujung pada kegagalan.

Komentar

Postingan Populer