Seandainya Saya Hidup di Jaman NAZI

Apa jadinya bila saya lahir pada medio 1940an, saat NAZI sedang menggila di Eropa? Apa jadinya saya jika saya dilahirkan sebagai yahudi, gipsi, sosialis, demokrat, atau secara fisik mengalami difabelitas?

Saya mungkin akan menjadi objek pemurnian etnis  yang dilakukan NAZI pada saat itu. Sang Furher demikin getol mengkapanyekan suatu isu bila  Aria, Ras sang Furher, adalah ras terunggul di antara ras-ras lain. Oleh karena itu darah aria tak selaiknya dinodai oleh darah lain yang  dipandang lebih rendah.  Dalam pandangan chauvanistik Hitler, aria hanya untuk aria. Ia  memimpikan suatu hegemoni global di mana rasnya ada pada mata rantai tertinggi evolusi umat manusia, sebagai penguasa, sebagai pemuncak peradaban.

Bila saya hidup pada jaman itu, bisa jadi saya cepat atau lambat akan diciduk pihat berwenang.  Saya bisa membayangkan bila dua atau tiga orang tentara Nazi berpakain gelap dengan senapan laras panjang Karabine 86k yang terdandang di pundak mereka, mendobrak pintu rumah di suatu desa antah berantah di polandia sana, seperti di Birkenau, atau bahkan jauh di Austria atau Romania. Sebelumnya seorang tetangga yang usil, melaporkan saya secara diam-diam pada tentara-tentara itu. Sudah mahfum adanya pada saat itu tiap orang saling curiga satu sama lain dan sibuk menyelamatkan diri serta keluarga mereka.

Bila pihak NAZI tahu ada musuh negara menjadi tetangga mereka, dan mereka tak  segera melaporkannya, maka bukan hanya si tetangga yang akan mendapat hukuman berat tapi juga mereka. Saya bisa membayangkan tangan saya diikat ke belakang. Tentara-tentara itu membawa saya bahkan saat saya masih mengenakan baju tidur biru tua, hadiah seorang kawan saat ulang tahun saya musim panas lalu. Sedang kedua telapak kaki saya telanjang.  Tubuh saya mengigil karena di luar suhu anjlok ke titik minus dan salju bertumpuk-tumpuk hingga ke lutut. Pintu dan jendela rumah-rumah tetangga tertutup rapat. Kendati begitu saya tahu, diam-diam mereka mengintip di balik tirai yang disibakkan. Bisa jadi mereka turut prihatin melihat saya diperlakukan macam itu. Tapi bisa jadi juga mereka lega lantaran berkurang satu orang tuk mereka curigai.

Kini, dengan moncong karabin 86k tertempel di kepala tentara-tentara itu menggiring saya pada sebuah truk bak terbuka yang telah terparkir di jalan desa, berwarna hitam dengan bentuk kekar seperti seekor kumbang Augosome male raksasa.  Pada truk itu terdapat berpuluh orang dengan wajah masai dan bibir bergetar lantaran sudah terlalu lama menahan dingin. Sebagian dari mereka setengah telanjang dan sebagian lain memperlihatkan luka di dahi dan pipi dengan darah megering membaluri wajah.

Truk itu melaju, berderak, berat dan malas. berjam-jam melewati jalan berkelok dan panjang, berjam-jam diikuti hantu-hantu musim dingin yang genayangan hendak mencabut nyawa manusia malang yang sedang kedinginan. Hingga saya dan yang lain tiba pada sebuah kamp konsentrasi yang sudah kami duga sebelumnya bila kami memang memang kan di bawa ke sana. Suatu tempat yang menjadi muara bagi para tawanan, seperti air laut bermuara ke lautan. Itu lah Auschwitz. Pada gerbangnya terpasang slogan yang berbunyi, “Arbeit  macht frei” atau kerja akan membuat Anda bebas. Suatu omong kosong lantaran sebagain besar tawanan justru mati mengenaskan di sana.

Pagar kawat menjulang demikian tinggi, jalanan hitam yang tepinya di selimuti salju terhampat di hadapan. Saya dan yang lainnya digiring macam kawanan kambing bodoh. Tentara-tentara berpakain gelap dan bersenjata lengkap menyambut kami. Jelas mereka tak memerlakukan kami selaiknya tamu, karena kami adalah tawanan perang.

Kami berjalan menapaki jalan tanah itu. Sebuah lapangan luas menjelaga di depan saja. Selagi melangkah, saya melihat ada sesuatu yang lain di tepi kiri dan kanan jalan dan pagar kawat yang melintang di dekatnya. Di antara salju yang bertumpuk-tumpuk, di antara hembusa angin yang menerbangkan butir-butir putih Kristal hingga membuat pandangan kabur, saya melihat mayat-mayat bertumpuk. Mereka semua telanjang.  Laki-laki, perempuan, tua, muda, anak,anak.  Saya melihat seorang anak perempuan, mukin usianya sekitar tiga atau empat tahun, seusia dengan sepupu perempuan saya, terhimpit oleh mayat-mayat orang dewasa. Wajahnya pucat seperti terigu dan matanya tertutup dengan damai. Sedang mulut mungilnya tampak sedikit terbuka. Saya melihat sebuah lubang bulat kecil di dahinya. Sebutir peluru telah mengoyak batu kepalanya yang rapuh dan darah mengalir deras hingga ke tepian jalan. Demikian merah, demikian segar. Di mata saya darah itu seolah memancarkan cahaya.  Saat melewati bocah itu, saya menginjak darahnya dan meninggalkannya dengan napas yang tecekat di kerongkongan.

Saat sampai di lapangan itu, saya akan dibariskan dengan tawanan lain yang jumlahnya lebih banyak. mereka datang dari seluruh penjuru negeri dengan memikul masing-masing kisah pilu di pundak mereka. Dengan hanya mengenakan baju tidut tipis dan bertelanjang kaki membuat saya makin menggigil menahan dingin. Di depan saja, seorang opsir di balik meja menanyai para tawanan seorang dokter dengan wajah sedingin Frankenstein dan dua orang perawat perempuan berkaki jenjang dab berambut merah (yang bisa jadi keduanya adalah anggota Hitler Jungen, barisa pemuda hitler) mendampingi.

Dalam proses interogasi itu, tawanan yang dinyatakan lulus baik dari sisi intelektual, asal usul, ras, kesehatan fisik dan mental akan diberi nomor register, yang angkanya berderet-deret panjangnya. Kini orang-orang malang itu mengalami semacam personal brain washing. Mereka dikenal tak lagi dengan nama, asal-usul, ras atau agama. Satu-satunya identitas yang disandang adalah nomor register itu.
Saya dapat membayangkan, saya dengan perasaan gamang melangkah setapak dmi setapak mendekati opsir itu. kepala saya sesekali menyembul dari arah kiri dan kanan barisan, sembari menebak-nebak kira-kira apa yang kan terjadi pada diri saya? Hingga akhirnya tibalah giliran saya. Sang opsir memiringkan kepala. Alisnya terangkat dan dahinya ikut mengkerut.  Ia kemudian melirik ke arah sang dokter dan sang dokter melirik kembali ke arah kedua Hiler Jungen. Para Hitler Jungen menggelengkan kepala. Sang dokter mahfum, ia telah menduganya sejak awal. Lantas dirinya balik menggelengkan kepala ke arah sang opsir.

“Well nak,” ucapnya. “ku kira tak sulit untuk menentukan nasibmu.” Ia memerhatikan wajah saya lekat lekat. Semakin lama pandangannya semakin fokus pada mata saya. saya jadi makin gugup dibuatnya. Terlebih saat ia berkata, “Nak, kutaksir sebelah matu buta.”

Saya terkesiap.  Dari awal saya berusaha sebisa mungkin agar kebutaan saya tak diketahui oleh mereka.  saya lebih banyak menunduk dan meemjamkan mata. Tapi sipir dan dokter sialan itu lebih jeli. Mereka tahu saya setengah buta setelah melihat hal janggal pada  mata kanan saya yang hanya berupa bola mata hitam tanpa retina. Hitam sehitam-hitamnya karena memang sudah begitu adanya sejak saya lahir. Saya berusaha menyangah dengan mengatakan mata saya baik-baik saja. Tapi mereka bergeming, dingin, dan tak ambil peduli sekeras apapun saya berargumen.

Saya berharap mendapat nomor gegister itu, tapi nasib buruk yang justru datang mendekat. Salah seorang Hitler jungen itu berteriak. “Soldaat! ada seekor anjing berulah di sini!” ujarnya. Empat orang tentara tak lama berdatangan.  Mereka menarik saya dengan kasar. Dua orang mendorong dari belakang, dua orang lain menodongkan senjata. Reflex saya hendak mengangkat tangan, tapi hal itu urung dilakukan lantaran kedua tangan saya masih dalam keadaan terikat. “Jalan bangsat!” ujar salah satu dari mereka. saya terhuyung dan jatuh tersungkur ke tanah.

Saya kemudian terpisah dari barisan, dan kembali berjalan melewati tanah hitam yang dingin serta pagar kawat yang melintang di sebelah kanan dan kiri jalan itu. lajurnya berkelok-kelok seperti labirin. Kadang memanjang kadang pula melingkar-lingkar. Sembari berjalan saya melihat kamp-kamp menjelaga, tempat di mana para tawanan dijejalkan tanpa sanitasi yang layak. Tanpa jendela, tanpa ventilasi udara.

Hingga sampailah saya pada barisan lain yan terdapat di depan sana, sekitar dua puluh tentara bersenjata lengkap mengawal mereka.

“kalian ketinggalan yang satu ini soldat!!”

“Masih ada yang lain?” jawab salah satu dari mereka.

“Untuk sementara, kurasa cukup sampai yang ini dulu.”

Keempat tentara itu menyerahkan saya pada mereka, dan saya seperti seekor kambing bodoh dibariskan kembali. Tak ada lagi interogasi di sini. Wajah para tentara itu sepertinya juga tak menunjukan ikikat sikap beramah tamah laiknya seorang petugas front office pada seorang pelancong asing yang berkunjung ke hotelnya. Tak ada sapaan ceria, “ Wie geht is Ihnen?" apa kabar?  Atau “woher mommen sie?” Dari mana asal Anda? Atau sekadar mengucapkan, “Guten Morgen”, selamat pagi. tak ada sama sekali.

Tidak lama kemudian saya menemukan hal lain pada tawanan-tawanan yang ada di depan saya. Setelah saya perhatikan mereka adalah sosok yang secara fisik dan mental bisa dikatakan mengalami difabelitas. Mereka adalah yang sungsang sbelah kaki dan tangannya, tuli pendengarannya, tak dapat bicara mulutnya atau secara mental mengalami keterbelakangan.

Saya dapat membayangkan jika kemudian kami digiring pada sebuah tempat yang terpencil dari kamp-kamp lain. Pada sebuah ruangan terisolasi tanpa lubang udara. Itulah tempat yang akan menjadi krematorium kami, sebuah ruang gas beracun yang biasa digunakan untuk membunuh manusia secara masal dalam tempo singkat.  Menjadi bagian dari promram T4 atau euthanasia adalah gambaran mengerikan dalam sejara umat manusia.

Terbayang, kami akan berjalan dengan langkah gontai, wajah masai dan bibir bergetar. Selangkah demi selangkah kami mendekati ruang itu. Seiring dengan hal tersebut sebagaian para tawanan mulai panik. Jiwa mereka menolah tuk diperlakukan macam demikian, tapi raga mereka tak kuasa untuk melawan.  Sedang sebagain lain hanya pasrah. Mereka justru berharap kematian dapat mengakhiri  penderitaan yang panjang selama ini.

Satu persatu para tawanan yang malang itu memasuki ruangan gas beracun.  Suasana mulai gaduh. Sayup-sayup suara tangis yang lirih dan erangan panjang terdengar dari arah barisan. Mereka makin mengigil, makin ketakutan. Demikian mengerikankah kematian? Kalau saya ditakdirkan lahir pada jaman itu, saya bisa jadi akan melakukan hal serupa dengan apa yang para tawanan itu lakukan.  Kendati raga saya tak berdaya tapi jiwa saya niscaya berontak. Saya bukan seekor anak lembu seperti dalam lagu Donna-Donnanya Joan Beaz, yang pasrah saja saat akan di penggal di rumah jagal. Saya akan berargumen bahwa saya tak pantas mendapat perlakukan macam ini, kebutaan saya tidak pada dijadikan alasan untuk menjadikan saya sebagai pesakitan. Saya akan berusaha meski hasilnya sia-sia.

Setelah semua tawanan masuk ruangan, pintu kemudian ditutup. Keadaan berubah menjadi serba gelap.  Untuk beberapa saat  keadaan berubah senyap. Hanya keheningan yang membayangi kemudian. Saya dapat mendengar napas saya sendiri dan napas tawanan lain yang terengah engah.  Kemudian, saya mendengar suara seperti gas bocor dari tiap sudut ruangan. Suasana lalu berubah menjadi gaduh. Para tawanan mulai terbatuk-batuk, tersedak dan mulai menutupi hidung mereka.  Gas beracun itu merayap seperti hantu. Mendekat setapak demi setapak dengan gerakan diam-diam, lantas mencekik leher kami dari arah belakang.  Tanpa di sadari, gas itu lalu memenuhi ruangan. Meski tak dapat melihat dengan jelas, saya dapat merasakan para tawanan mulai berjatuhan. Mereka menggelepar dan terguling-guling di lantai.

Demikian mengerikankah kematian? Hingga saya seperti halnya yang lain, musti berakhir di ruangan gas beracun itu? Saya bisa membayangkan bila perlahan tubuh saya lemas. Saya menggeliat sembari menarik napas berat, mulut saya tergagap seperti hendak mengucapkan sesuatu dan saya merasakan hawa dingin mulai merangkak dari ujung kaki ke lutut, ke perut, ke dada, ke ubun-ubun. Inikah yang sering dikatakan orang dengan proses keluarnya roh dari tubuh.  setelah itu segalanya menjadi gelap, menjadi hitam, menjadi hening.

Seandainnya saya hidup di jaman NAZI, mungkin saya akan mati seperti itu. Memang itu hanya suatu kemungkinan dari banyak kemungkinan nasib yang akan dijalani oleh seorang manusia. Tapi sah saja bila membayangkan hal macam itu. Melihat ke belakang adalah bercermin pada sejarah, kembali belajar dari masa lalu untuk menatap hari esok yang masih gaib. Lantaran seandainnya kita tidak bisa merubah dunia, paling tidak kita bisa merubah diri. Sedang itulah pangkal dari segala pngkal perubahan.  Untuk menjadi makin mawas diri, makin merasa, makin peka. Seperti NAZI pada masa lalu, kenyataanya tiap kekuasaan kecil, bisa berpotensi melahirkan tirani besar pada masa kini.

Komentar

Postingan Populer