JANGAN AMBIL MAMA

Mah makasih banyak ya”, bisikku dalam hati sambil mengamati potret buram itu. Tampak seorang perempuan muda tengah memeluk anak berambut kepang dua yang lucu, mereka berdiri didepan sebuah marka bertuliskan ‘Trocadero’, disekitar mereka butir butir salju turun rapat sekali. “makasih udah ngajarin aku banyak hal”. Bisik ku dalam hati. Setelah puas melihatnya ku masukan kembali foto itu ke dalam dompet.

Mobil yang membawa kami menuju bioskop dijalan Merdeka Bandung tersendat. Sambil nyetir, Disty terus ngomel. Managerku ini tak mau kejadiannya terulang seperti di Jakarta. Ketika para penggemarku kecewa karena aku tak jadi datang dalam acara launching film terbaruku.
“Aah ada apa sih ini ? god please dong, save me buat kali ini aja".
“Sabar say, sekarangkan sabtu, wajar dong kalo macet”.

Disty melepas pegangan stirnya, ia mengambil brosur kecil dalam tasnya lalu menunjukannnya padaku.“ non, liat nih jadwalnya ! jam tujuh, jangan sok bijak gitu deh. Kalo nggak sesuai jadwal, gua juga yang disalahin”

“Emang gua pikirin”, kataku dalam hati. Aku benar benar capek apalagi satu bulan bekangan. Film terbaru yang ku bintangi meledak di pasaran.“Film keluarga yang menyentuh” begitu kata media. Mereka memuji aktingku pada setiap resensi dan berita yang mereka rilis. Efeknya, aku dan pemain pemain lain terjebak dalam rutinitas launching dan promo yang padat dibioskop bioskop diberbagai kota.

Mobil yang kami tumpangi kembali melaju tapi lagi lagi terhenti, kali ini diperempatan Dago. Wajah Disti makin tegang waktu sadar kalau penyebab semua malapetaka ini adalah matinya lampu lalulintas. Kendaraan segala jenis dari empat penjuru bertumpuk pada satu titik tanpa ada satupun petugas yang mengatur.

“Aduh mana sih polisinya? jangan Cuma makan gaji buta dong” Disty kesal. Ia menempelkan kepalanya kestir sambil memukul mukul dashboard. Dalam keadaan macet itu, tiba tiba kami dikejutkan oleh kejadian yang belum pernah kami alami sebelumnya. Dari arah kiri, muncul seorang wanita berpakaian kumuh memukul mukul kaca dengan sebuah kapak.
“Hei ! dompet ! mana dompetnya !” bentaknya kasar.

Kami berdua mengigil. Wajah Disty pucat. Ia tak mengucapkan satu patah katapun. Sementara aku ingin berteriak agar semua orang tahu kalau disekitar mereka ada perampokan, tapi seperti halnya Disty, seperti ada sesuatu yang mencekat suaraku di tenggorokan.

“Cepetan !!” wanita kumuh itu tak sabar. Lalu praang, tanpa diduga ia memecahkan jendela. Ia menempelkan kapaknnya dileherku. Wajah Disti makin pucat. Pelan pelan ku keluarkan dompet dari dalam tasku.
“ Mbak tolong jangan lukai kami”
“Ah banyak omong, cepetan sini kasiin!!!!"
"Ok ok, mbak boleh ambil uangnya tapi please jangan sama fotonya, saya mohon"

Belum selesai aku memohon, ia merampas dompet itu dengan kasar kemudian langsung melarikan diri kearah Taman sari. Ia berlari sekencang kencangnya meninggalkan kami berdua. Ia pontang panting diantara kendaraan yang mati kutu terjebak macet, lalu hilang begitu saja dari pandangan kami seperti raibnya dompet itu.

“Ty cepetan telepon polisi, gua nggak mau tau, pokoknya tu dompet kudu balik lagi !”, paksaku.
Perasaanku tegang. Aku tak peduli dengan jumlah uang yang ia rampas, tapi foto itu, foto yang sangat berharga, ia menyimpan banyak kenangan bagi ku. Acara jumpa fans gagal. Kami memutuskan untuk kembali kehotel. Disty langsung mengontak Polisi kenalannnya.
*****

“Mbak Airin, silahkan masuk”, kata seorang polisi jaga sambil tersenyum. Aku dan Disnty membalas senyumnnya.

Diruangan interogasi, pria berjaket kulit hitam telah menunggu kami. Lampu gantung diatas kepalanya membuat kening pria itu berkilat. Terdapat secangkir kopi, sebungkus rokok, pulpen, handy talky dan kartu tanda pengenal diatas meja. Dari tanda pengenal itu kutahu kalau namanya adalah Ajun komisaris Hendri Mulyana.
“kami sudah terima laporannya, kami benar benar menyesal atas musibah yang menimpa ‘mbak Airin”.
“Lalu bagaimana dengan tersangka ?sudah tertangkap pak ?”, tanyaku to the point. “yah yah, tunggu sebentar”.

Pak Hendi mengontak petugas dirungan lain dengan handy talkynya. Tak lama, pintu rungan interogasi diketuk, seorang polisi datang sambil menyeret seorang wanita muda. Wajahnya lebam. Pipi dan dahinya memar. Ia sangat ketakutan ketika tahu kalau aku ada disana. Perempuaan itu berdiri menundukan kepala sambil meneteskan air mata.

Tanpa basa basi aku mendesaknya, “ mana dompetnya ?” Perempuan itu diam. Ia membungkam. “mana ?” ia tertunduk. Jelas perempuan itu tak segarang tempo hari. Kini ia tak lebih dari seorang penjahat jalanan kebanyakan yang harus babak belur karena kelakuannya.
“Mana ?” bentakku
“maafkan saya”
“Bilang aja ada dimana dompetnya ?”
Ia pelan pelan menengadahkan kepala. Wajahnya kini dapat dengan jelas kulihat. Kumal, kotor, menjijikan.
“sudah saya buang”

Apa ? Kontan aku naik pitam. Teganya kau. Kalau kau membuang dompetnya berarti fotonya juga ikut hilang. Diambang amarah yang makin memuncak, aku bangkit dan menampar perempuan itu berkali kali.

“Teganya kau”, Tak tahukah ia betapa berarti foto bagiku. Dari ribuan foto yang aku punya, itulah satu satunya kenangan terakhirku bersama ibu sebelum beliau wafat karena gagal ginjal. Foto itu seperti nyawaku, bara semangatku. Ibu yang wajahnya hanya dapat kukenang lewat selembar foto itu adalah sosok yang pertamakali mengajariku cara berakting. Ibu yang seorang pemain teater itu yang pertamakali memperkenalkan diriku cara memaikan peran. Dan wanita kumuh itu sekarang telah menghilangkan foto terakhir ibuku. Kembali kutampar ia sebagai bentuk pelampiasan atas kemarahanku
“sabar Dik Airin, sabar” sergah pak Hendi
“gila lu, jangan main tangan gitu dong?” Disty menenangkan. Aku hanya membuang muka. “pak hukum kriminal ini seberat beratnya”, hardikku sambil mendorongnnya kelantai.

Tanpa mengucap salam, kami berdua bergegas meninggalkan perempuan kriminal, perampok, penjahat dan apapun sebutan buruk yang pantas ia sandang penuh rasa benci.
“yuk, mendingan balik aja deh, ga guna gua ada disini”

Disty memencet klakson. Mobil sudah stand by. Kubuka pintu mobil itu dengan kasar. Ketika baru saja duduk dan hendak meninggalkan kantor polisi, muncul seorang nenek tua disamping ku sembari menggendong bayi berumur dua tahunan.

“permisi nek saya mau pulang”, Nenek itu memandang dengan tatapan memelas. Ah pasti dia pengemis. Segera ku minta Disty memberikannya uang. tapi hal itu urung ia lakukan karena si nenek memberikan selembar amplop pada ku. setelah itu ia segera meninggalkan kami. Kulihat Langkahnya terseok menuju ruang tunggu kantor polisi. Ku taksir bayi itu terlalu berat baginya.
“wah fans lo bukan Cuma ABG, ternyata nenek nenek aja suka sama lo”. Ujar Airin


Ditengah perjalanan kubuka amplop itu, didalamnya ada selembar kertas lalu membuka lipatannya. Paling permohonan dikirimi sumbangan, pikirku. Tapi aku terkejut begitu membaca isi didalamnnya,

“maaf, saya sudah mengambil dompek mbak Airin. Saya terpaksa melakukanya Mbak. Dokter momfonis anak saya mengalami gagal ginjal. Saya butuh uang untuk oprasi. Terus, foto yang tempo hari diminta, tidak saya buang. Saya amankan fotonya dan beserta surat ini saya mengembalikannya. sekali lagi saya minta karena permintaan maaf saya, saya sertakan melalui surat yang saya titip pada emak agar diberikan pada mbak. Salah hormat, Santi”.

Cepat cepat Aku memeriksa kembali amplop itu. Ada sebuah foto perempuan muda sedang memeluk anak berambut kepang dua. Mereka berdua terlihat bahagia karena sedang pesiar keluar negri.
“apaan tuh Rin ?”
“nggak, bukan apa apa”. Jawab ku pada Disty.

Saat itu juga, seketika langit jiwaku runtuh memadamkan amarah yang telah membakar wanita itu. wanita yang bila tidak ditangani serius, akan kehilangan anaknya seperti aku kehilangan ibuku karena penyakit ginjal. Apa aku harus kembali ? memberikanya beberapa lembar uang untuk membantunya ? tapi, tidak tidak !! tidak mungkin. kalau melakukannya aku seperti menjilat ludahku sendiri, setelah tadi marah marah lalu sekarang minta maaf ? mustahil. Mustahil hal tersebut kulakukan. Biar aku meninggalkannya saja. Lagi pula Urusan ku terlalu banyak. Aku Cuma berdoa semoga ada orang baik yang berkenan membatu pengobatan anaknya. Isi surat itu tak ku sampaikan pada siapapun termasuk Disty, karena aku malu pada orang orang bila mereka mengetahuinnya. karena aku malu pada diri ku sendiri.

Komentar

Postingan Populer