Kupu-Kupu dan Kawanan Kecoa

Seekor kupu-kupu terbang di atas taman bunga. Matanya berbinar saat dari ketinggian menyaksikan hamparan warna warni yang indah pada sebuah padang. Mawar, Lily dan Lantana telah memasuki masa mekarnya. Mereka umpama dewi-dewi yang turun dari langit kemudian merubah diri menjadi kuncup-kuncup cantik. Sengaja menebar pesona, menggoda, agar mahluk-mahluk di bumi jatuh cinta dan kepayang pada mereka.

Kemudian sang kupu-kupu hinggap pada salah satu kuncup mawar. Ia mengatupkan sayapnya dan menutup mata dalam-dalam. Dengan segenap jiwa ia menarik napas. Maksud hati hendak menikmati aromanya yang harum dan segar itu. Bunga-bunga hanya mekar pada musim semi. Ini kesempatan yang tak datang tiap saat. Pikir Kupu-kupu, menyambut mereka adalah cara untuk bergem, mencium wangi mereka adalah cara untuk berterima kasih.  

Namun belum genap menuntaskan niatnya, tiba-tiba kupu-kupu terbelalak. Wajahnya memerah dan keningnya berkerut. “Uh! Bau apa ini?" Ujarnya ketus.
Ia melirik ke arah kiri dan kanan sembari menutup hidung. Di bawah sana, di antara rumputan tampaklah seekor kecoa kotor dan bau sedang menyepak-nyepakan kakinya ke belakang. Ia membersihkan bekas kencingnya.
Hei mahluk tak tahu aturan! Tak bisakah kau kencing di tempat lain?” ujar kupu-kupu geram. “pesing benar kencingmu itu tahu!”

Kecoa yang sedang asyik bersiul-siul itu mendelikan mata ke arah kupu-kupu. Ia acuh. Dengan bersikap begitu dirinya seolah hendak berkata, “Memang apa peduliku?”

Melihat sikap kecoa yang tak peduli, kupu-kupu makin geram. Sedang geramnya kian menjadi waktu melihat, kecoa-kecoa lain bermunculan dari balik rimbun rumputan. Tak kurang dari Sembilan jumlahnya. Mereka gemuk dan rakus. Waktu muncul, mulut mereka penuh dengan makanan.

Seperti dilakukan kecoa pertama, dengan acuh mereka kencing di mana saja. Mereka bersiul-siul sembari memejamkan mata. “Astaga!” ujar kupu-kupu sembari menepuk kening.
Makin terciumlah bau pesing di sekelilingnya. Meski sudah menutup hidung, kini ia tak dapat menahan lagi baunya. Muka sang kupu-kupu pucat, perutnya mual dan kepalanya pening.

“Hei! Bagaimana bisa kalian bersikap amat jorok macam itu?”
Kecoa-kecoa itu mendelikan mata ke arah kupu-kupu. Salah satu dari mereka menjawab, “kalau kami jorok, memang itu jadi masalah buatmu?”
“Ya tentu jadi masalahku. Kalian menggangu aku yang sedang mneikmati bunga-bunga. Lagi pula Apa kalian tak merasa risih dengan kencing kalian sendiri?”

Kecoa pertama kembali menjawab kalau mereka dapat tinggal di di mana saja. Seperti di bawah tumpukan sampah, genangan lumpur, rawa-rawa atau batang-batang kayu lapuk. Kotoran akrab dengan mereka, bau busuk telah menjadi bagian hidup. Mereka tak lagi risih dengan hal-hal jorok.

Mendengar penjelasan itu, muncul ide dalam benak sang kupu-kupu. Ia mengajak kecoa-kecoa tersebut menaiki batang bunga dan bertengger di puncaknya.
“Oh. Kau ingin bunga-bungamu kami kencingi? Begitu maksudmu?” salah satu kecoa meledek.
“Yakin kau tak akan menyesal?” sahut yang lain. Tawa tergelak saling bersahut terdengar kemudian.

Sang kupu-kupu merayu kecoa-kecoa itu agar menuruti ajakannya. “Yaa. Kalian mungkin saja bisa kencing sepusnya di atas sini.” Ujarnya.

Maka para kecoapun mulai merayapi batang-batang bunga. Mereka bersiul sembari menutup mata. Mereka merasa tak seorangpun dapat mencegah kelakuan mereka yang seenaknya. Tiba di puncak-puncak kuncup bunga, suasana lain tiba-tiba terasa. Angin segar berhembus pelan. Aroma lain tercium oleh mereka. Aroma itu yang begitu lembut dan dalam. Masuk ke rongga dada mereka dengan membawa aneka wewangian.

Aroma wangi itu rupanya amat kuat bila dibanding dengan bau busuk yang selama ini jadi bagian hidup para kecoa. Hal tersebut membuat mereka nyaman. Mereka menghirup napas dalam-dalam. Berulang kali dalam helaan yang teratur. Dengan bersikap begitu, mereka seolah hendak berkata, “Hei! Ke mana saja kau selama ini.”

Sedang asyik menikmati aroma bunga, dari arah bawah suara yang tak asing memanggil mereka. “Coba kalian datang kemari sebentar.” Sang kupu-kupu berujar. Belum juga turun dan hanya menengokan kepala ke arah bawah, tiba-tiba tercium bau berbeda dibanding aroma wangi yang mereka sedang cium. Kontan para kecoa itu menutup hidup. Wajah mereka memucat dan perut mereka mual.

“Astaga bau apa ini!” ujar kecoa pertama. Lagaknya seperti orang yang baru bangun dari tidur yang amat panjang.
Sambil terbang sang kupu-kupu menjawab, “Bau kencing kalian!”
Wajah para kecoa kemerahan. Mereka berlarian di antara bunga-bunga. Agar mereka bisa menyembunyikan malu. Agar tubuh mereka berbaur dengan aroma wangi dan tak lagi bau.

<CENTER><iframe width="420" height="315" src="//www.youtube.com/embed/sUcvnQFhPeo" frameborder="0" allowfullscreen></iframe></CENTER>

Komentar

Postingan Populer