Puncak Mega, Menguak Esensi Mendaki Gunung

Tanpa memaksakan diri kita tak kan pernah mengetahui titik tertinggi capaian prestasi kita. Tanpa berikhtiar sungguh-sunggguh impian cuma jadi retorika, omong kosong. Butuh real action untuk merubah angan-angan yang gentayangan di atas kelapa agar menjadi nyata. "Tanpa berani menanggung risiko, Anda tak akan pernah menang," ujar Richard Nixon. Dalam hal ini gunung jadi guru bijak untuk menjawab keraguan-keraguan dalam diri kita. Ia menggantinya dengan hikmah.

Puntang selama ini sekadar jadi utopia buat saya. Saya hanya melihat puncaknya dari arah reruntuhan bangunan Belanda, kolam cinta atau sungai Cigeureh. Namun pada 16 Maret 2014, setelah berpayah-payah mendaki, akhirnya dapat juga menjejakan kaki di titik tertingginya.

Gunung Puntang sendiri terletak di kawasan Bandung Selatan, tepatnya di desa Cimaung, Banjaran. butuh waktu 2,5 sampai 3 jam untuk mencapainya dari arah Bandung. Area Puntang merupakan objek wisata alam di mana pengunjung bisa menikmati sejuk dan indahnya suasana sekitar gunung Puntang. Di sini terdapat sejumlah objek wisata seperti curug Siliwangi, sungai Cigeureh, dan penangkaran owa jawa. Selain itu ada pula rerutuhan bangunan statsiun radio dan gua yang merupakan peninggalan Belanda.

Bangunan Belanda. Diambil setahun lalu

Gua Belanda. Diambil setahun lalu

Sungai Cigeuruh. Diambil setahun lalu


Fasilitas di sini terbilang lengkap. Akses jalan menuju lokasi sudah diaspal mulus. Sebagai penunjang sarana rekreasi, terdapat kolam renang dan sejumlah penginapan di sekitarnya.

Tak sekadar Puncak
Menuju Puncak
Mendaki Gunung Puntang buat saya bukan soal penaklukan-penaklukan. Bukan soal capaian menjejakan
kaki di puncak. Lebih dari itu ada pelajaran besar yang bisa didapat. Di mana pelajaran itu memberikan efek domino pada kehidupan sehari-hari.

Ini soal semangat pantang menyerah. Waktu kaki sudah melangkah, maka pantang mundur ke belakang. Di depan ada banyak kemungkinan-kemungkinan, sedang di belakang adalah balik arah, pulang tanpa mendapatkan apa-apa. Adalah benar jalan terjal musti didaki. Adalah benar tebing dan jurang jadi ancaman. Tapi di sanalah pointnya. Kalau mau bersantai-santai diam di rumah saja, jangan naik gunung.

Kontur hutan gunung Puntang lebih lebat dari kontur hutan gunung Burangrang. Suasana gelap karena kabut dan daun-daun rimbun. Sedang pendakinya tak seramai pendaki di gunung Manglayang. Waktu naik, hanya ada tiga grup yang saya temui, yaitu Grup Mapala (entah adi kampus mana) yang terdiri dari 5 sampai 6 orang, Grup pendaki personal dengan jumlah 2 orang (saat kami temui sedang camping), dan Grup saya yang juga 2 orang.

Menuju puncak Mega harus keluar area hutan yang lebat. Setelah itu kita akan memasuki area menanjak yang konturnya jauh lebih curam. Pada area ini di penuhi ilalang. Di kanan kiri jalan setapak yang berbatu, terdapat jurang terjal. Mencapai satu pos ke pos lain butuh perjuangan. Sedang mencapai puncak kita perlu mengeluarkan usaha lebih besar lagi.

Puncak mega

Saya nyaris berhenti, sebab karena kebodohan sendiri yang minim sarapan. Padahal butuh enegi ekstra untuk mendaki gunung. Saya sampai berhenti sebelum pos pertama atau shelter zuhur hanya untuk makan dulu, itupun hanya bebepara potong roti ukuran kecil. Setelah itu kedaaan bedan terasa lebih baik. Energi bertambah, saya lanjut jalan.

Saya juga nyaris berhenti saat memasuki area berbatu dengan kontur yang jauh lebih menanjak menuju puncak. Dari beberapa sumber yang saya baca di internet, hanpir semua pendaki melakukan dua tahap pendakian. Pertama mendaki sampai salah satu shelter dan membuat tenda. Kedua pada dini atau pagi harinya lanjut ke puncak Mega. Sedang yang kami lakukan naik sekali hantam. Hanya berhenti beberapa menit pada shelter shelter yang ada untuk kemudian melangkan lagi untuk menggapai titik tertinggi.

Kalau tak memaksan diri untuk terus maju, bisa jadi saya sudah mundur, bisa jadi tak akan mendapatkan apa-apa. Tapi syukur Alhamdulillah puncak Mega dengan ketingian 223 mpdl dapat digapai juga.

Soal lain yang memberikan saya hikmah besar bagi saya adalah seorang kawan yang menyertai berpengaruh besar untuk menggapai suatu tujuan. Beberapa kali saya tracking dan camping bersama Dhiora, kawan waktu di kampus. Kawan Tiongoa saya ini punya stamina yang jauh lebih prima. He is unstopable, terus saja naik seperti tanpa beban.

Saya jadi ingat saat SMA. Saat itu masih aktif latihan atletik di klub Atletik Bumi Siliwangi Bandung. Spesialisasi saya adalah lari jarak jauh, dengan nomor 5000 m atau 10000 m. Saat awal-awal latihan atetik, untuk meningkatkan stamina dan speed, ada seorang senior yang ‘menarik’ saya. Ia berlari beberapa meter di depan, sedang saya sebisa mungkin harus mengikutinya dari arah belakang. Tetap menjaga kerapatan jarak dan tak tertinggal jauh.


Dalam hal ini Dhiora melakukan hal yang sama pada saya, ia ‘menarik’ saya di depan dan saya mengkuti dari belakang. Kadang ada jeda kadang tanpa ampun. Tapi dengannya saya bisa mencapai puncak. kawan dalam perjalanan tak akan membuatmu merasa sendirian. Kita dapat saling menolong dan menyemalamatkan. Sinergi menjadi hal utama sebab kerja tim jauh lebih efektif dalam menggapai suatu tujuan ketimbang kerja solo.

Hal terakhir yang dapat saya pelajari adalah, bila di alam bebas semua orang menjadi saudara. Kami tak pernah kenal sebelumnya, bahkan kami tak saling tahu nama masing-masing. Tapi jadi demikian akrab saat bertemu. Saat naik ke puncak Mega, saya berpapasan dengan para pendaki baik yang akan turun atau yang sedang camping. Sikapnya selalu sama, akrab, ramah, hangat. Mungkin karena kami mengalami kesusahan dan penderitaan yang sama. Bukankah dalam cobaan tiap orang dapat menjadi kawan akrab?
Berjumpa dengan pendaki lain

Esensi Pendakian
Mendaki gunung adalah satu hal. Mendapatkan pelajaran darinya adalah hal lain. Karena kalau tak hati-hati yang kita dapat cuma lelah dan nihil nilai-nilai. Mendaki harusnya mendewasakan diri, di mana prespekif berpikir jadi berambah luas, spiritual makin matang, mental makin teruji dan jaringan pertemanan bertambah luas. “Unusual travel suggestions are dancing lessons from God,” ujar penulis Amerika Kurt Vonnegut, dan dengannya kita terus berkembang menjadi pribadi lebih baik.





Komentar

S. Fauzia mengatakan…
Bercengkrama dengan gunung memang hal yang luar biasa, apalagi kalau sampai mencapai puncaknya. Pasti bahagia, haru, dicampur bangga, dan yang pasti semakin tinggi gunung yang dinaiki semakin kita mengakui akan kebesaran Allah Swt.

Tetap semangat!
Semoga selalu dalam lindunganNya, kawan!

Salam hangat,
Zia
suguh kurniawan mengatakan…
Ayo Zia kita hiking bareng biar banyakan. dhio ngajakin...aamiin, semoga selalu dilindungi di tiap perjalanan :)
Airo mengatakan…
bang kalo sumber air di puntang gampang ga??

salam lestari
Suguh Kurniawan mengatakan…
@Ai Roudotul sumber air hanya di kaki gunung. tepatnya di sunga cigeruh. kalau sudah naik menuju puncak udah ga ada lagi sumber air. saran saya banyak banyaklah bawa air minum sebelum mendaki.

salam. suguh

Postingan Populer