Jelajah Papandayan: Bertanya Verbal Lebih Canggih dari GPS


Tak ada ganjaran yang gratis. Tak ada apresiasi tanpa perjuangan. Gunung Papandayan adalah manifetasi bila rasa puas musti diraih dengan cara berpayah-payah. Sedang persaudaraan berada di atas segalanya. Dengan saling mendukung dan membantu kita bisa mencapai apa-apa yang hendak kita capai.

Saya bangun pagi-pagi sekali untuk berangkat ke kosan Dhiora.  Barang-barang sudah saya packing sehari sebelumnya. Baru berangkat jam 9:30  menuju garut dengan menggunakan motor.

Sampai sekitar jam 14:00.di lokasi, kami musti melewati perjalanan panjang. Dari jalan raya menuju gerbang, musti nanjak lagi sepanjang 10 km. jalan yang rusak parah membuat saya harus turun beberapa kali dari motor. Bila ditotal waktu tempuh Banung Garut 3-3,5 Jam.

Suasana sekitar Camp David
Ratusan Pendaki Turun Gunung 
Suasana ramai sekali saat kami sampai di gerbang depan. Musim hujan tak menyurutkan para pendaki yang
sedang berliburan panjang. Saat itu momennya bersamaan dengan tanggal merah hari Jumat dan libur akhir pekan Sabtu-Minggu. Beruntung bagi kami, saat mereka pulang pada hari minggu, justru kami baru datang. Dengan begitu keadaan Papandayan sudah sepi. Menurut menjapa pos jumlah pendaki yang datang  sebanyak 2000an orang.

Di sambut hujan, kami menaiki punggungan gunung berbatu. kembali kami lihat sepanjang perjalanan para pendaki turun beriringan dari arah atas. Mereka tak habis-habis,  banyak sekali. Suasana awal Papandayan sendiri berupa jalur menanjak dengan batuan sepanjang jalan. Di sini kita bisa melihat kawah yang menyemburkan asap. Sungai bercampur belerang mengalir di pinggiran tebing. berdasarkan informasi, Papandayan pada 1772 mengalami letusan besar yang menyebabkan 3000 orang tewas.

Menurut penjaga di pos, ada longsor di tengah jalan. Karena itu kami harus mengambil jalan memutar ke arah bawah yang berupa jalan tanah setapak. Ada sungai kecil yang musti dilintasi untuk kemudian memasuki jalan lebar berbatu yang mengatar ke arah Pondok Salada. Saat di jalan berbatu itu, dari kejauhan tampak asap belerang membumbung dari kawah. kembali para pendaki yang turun kami temui di sini.


Pondok Salada adalah spot camping yang digunakan para pendaki. Areanya berupa lapangan dengan pohon pohon berdiri di sekelilingnya. Waktu sampai hanya ada satu tenda. Karena tidak tahu, dari Pondok Salada kami lanjut, maksudnya hendak menuju Tegal Alun, tempat bunga-bunga edelwise tumbuh. Padahal saat itu hari sudah magrib dan hujan turun makin deras.Kami memasuki kawasan hutan. kemudian mengambil jalur menanjak. Makin tinggi naik, makin berat medannya. Melihat waktu hari yang sudah terlalu gelap, kami memutuskan kembali ke Pondok Salada.

Kalau Tidak Tahu, Tanya
Suasana Pondok Salada
Hujan terus turun di Pondok Salada. Otomatis kami lebih banyak menghabiskan waktu dalam tenda. Suasana lapangan di kelilingi kabut, pada saat-saat tertentu jarak pandang jadi sangat pendek. Ada kejadian aneh waktu kami beristirahat. Saya medengar suara kucing mengelilingi tenda. Entah datang dari mana kucing itu. Suarannya menggeram-geram. kadang muncul kadang hilang. Padahal pemukiman warga amat jauh.

Sedang Dhiora bilang, ada orang-orang ngobrol di tengah Pondok Salada. Kami kira itu pendaki yang tendanya kira-kira terpisah sejauh 100an meter dari tenda kami. besoknya para pendaki itu justru menyangka jika kami lah yang ribut semalam.

Tak ada yang bisa memperdiski kehendak alam. Menjelang subuh cuaca membaik. Langit cerah tanpa awan dan bintang-bintang terlihat bertaburan. Pemandangan indah sekali. Melihat langit yang luas di lapangan terbuka.

Tapi Api unggun yang di buat sia sia. Menyala hanya sebentar karena kayunya basah. Sekitar jam 6:00 kami berkemas. Kami juga berkenalan dengan rombongan pendaki yang juga bermalam di Pondok Sadalan. Jumlahnya 6 atau 7 orang. Saya lupa-lupa ingat. yang pasti satu dianatara mereka adalah perempuan. Bila meliah dari syalnya mereka dari UNJ. katanya sih semua sudah lulus. semacam kawan lama yang bertemu kembali sekadar buat camping.

Bersama rombongan ini pula kami diberi tahu jalan menuju Tegal Alun. Jalurnya ternyata tidak menanjak ke arah tebing.  Tapi melingkat ke arah kiri menuju hutan mati. Hutan mati adalah tempai di mana pohon-pohon kering berwarna kehitaman berdiri. Tak ada daun, tak ada kehidupan karena sudah mati lantaran erupsi.
Hutan Mati
Perjalanan berlanjut memasuki area hutan rimbun. Jalurnya berkelok-kelok dan menanjak. Tanjakan yang paling curam adalah Tanjakan Mamang. Musti berpayah-payah saat menapakinya. Beban bagi kami tambah berat, lantaran musti menggendong ransel.

Tapi semua rasa lelah terbayar waktu sampai di area Tegal Alun. Sepanjang mata memandang terlihat bunga-bunga edelwise, mirip di film Gie. Indah sekali. Tegal Alun adalah pencapaian tertinggi kami di Papandayan. Besama kelompok UNJ kami banyak berpoto sama-sama di sini.
 
Area Tegal Aun

Waktu pulang kami berpisah dengan rombongan UNJ di hutan. mati. Mereka kembali ke tenda, kami mangambil arah ke hutan mati pada sisi yang lain, untuk kemudian langsung tembus ke kawah. kami tahu jalur ini pun dari mereka.

Tapi mengituki jalur pulang memasuki hutan mati tak semudah yang dibayangkan. Bekas langkah kaki yang tak jelas membuat kami untuk beberapa saat berputar-putar di area itu. Setelah mencari agak lama barulah kami menemukan jalur turun melalui tebing. adapun tebing itu sangat tinggi dan terjal. Harus sangat berhati-hati waktu melewatinya. terbayang seandainnya terpeleset bisa tewas salah satu dari kami ke dasar jurang.

Jalan menurun membuat kaki pegal. Pada bagian-bagian tertentu kami musti turun dengan cara meluncur. artinya pantat harus menggilas pasir kering. sampai di ujung jalur. terdapat sebuah plang yang membelakangi kami. setelah dicari tahu, palng itu bertuliskan Tanda bahaya. Rupanya kami mengambil jalur pulang yang keliru.

Gunung Papandayan memberi saya secara pribadi pelajaran. Soal bertanya. Kalau tidak bertanya pada kelompk lain mungkin kami sudah tersesat. Bertanya secara verbal  menurut saya lebih canggih dibanding menggunakan bantuan GPS. Efektif, efisien, jelas. Bandung sampai Papandayan kami lebih banyak bertanya langsung ke warga setempat agar tak tersesat. Menuju lokasi camping kami juga bertanya.

Komentar

Tira Soekardi mengatakan…
keren ya pemandangan di atas gunung dan kita akan selalu mengagungkan nama Allah, jadi ingat pengalaman lagi mahasiswa naik gunung...

Postingan Populer