Samurai: Mendobrak Keterbatasan

 


            Gagal adalah kata yang hanya tergurat dalam benak mereka yang memilki banyak alasan. Ketika menemui kemalangan mereka bersikap melankolis dengan mengasihani diri sendiri dan mulai mencari cari pembenaran atas alasan tersebut. Karena masalah finansial lah, karena masalah relasi lah, karena masalah fisik lah. Diluar tampak memalukan karena ia menghiba hiba minta belas kasihan orang lain agar mereka turut pula bergabung dengan kedukaan itu. Dari dalam tengah terjadi pembusukan. Menjadi pecundang yang tak mau menghadapi kenyataan dengan kepala tegak serta menyambut segala risiko didepannya. Padahal jalan samurai tak demikian, kawan.

            Tengoklah Toyotomi Hideyoshi. Datang dari keluarga miskin yang nothing, bukan siapa siapa. Berwajah jelek hingga ia dijuluki si muka monyet. Sedang berperang ia tak pandai. Lain lagi dengan Miyamoto Musahi sejak bertikai dengan ayahnya ia menhadapi bermacam macam deraan hidup selama mengembara. Suram, itulah jawaban sembarang atas masa depan mereka.

            Namun nyatanya logika umpana telapak tangan dapat pula terbalik bagi orang orang yang tekun berikhtiar. Apa yang dijangkau oleh nalar tak melulu selaras dengan kenyataan. Seperti kembang api, kadang hidup meletupkan kejutan yang mengisnpirasi. Nyala, terang, hingga mata kita terbelalak dibuatnya. Hideyosi yang udik itu karirnya terus menanjak. Ia meniti karir hingga menjadi panglima tertinggi samurai dan wakil kaisar. Dirinyalah yang berhasil mempersatukan Jepang setelah mengalami perang antar klan selama ratusan tahun.

            Musashi yang otodidak itu terus mengasah kemampuan bermain pedangnya. Sejak berduel dengan Arima Kihaei pada usia yang masih amat muda, 13 tahun hingga melakoni pertarungan terakhirnya melawan Ujii Yashiro dan Shioda Hamanosuke diusia senja. Ia telah melawan lebih dari 60 ksatria dan tidak pernah kalah sekalipun serta terjun ke dalam 6 pertempuran. 

            Poinnya, apa yang membuat mereka jadi sedemikian luar biasa? Tak dapat disangkal bila fokus menjadi pasal utamanya. Fokus Ibarat generator yang menyalakan lampu ketika listrik mati dan segalanya berubah menjadi serba gelap. Fokus ibarat anak panah yang melesat dari busur menuju satu titik, terukur dan pasti.

            Lupakan soal asal usul dan fisik seperti Hideyoshi. Ia fokus mengasah kemampuan strategi perangnya. Membangun jaringan dan mengembangkan ilmu kepemimpinan. “Aku tak pernah manir dalam seni pedang. Aku sadar harus menggunakan otak daripada tubuhku.”  Dari sana muncullah pandangan pandangan yang inspiratif. Suatu ketika pernah ia berujar, “Siasat adalah hal penting dalam peran. Bertempur nomor dua. Daripada memenggal pedang untuk memenggal kepala lawan, gunakan kepala kalian untuk mematahkan pedang musuh.”  Atau, “Apakah pemimpin yang kuat selalu mengejar musuh musuhnya tanpa henti lalu melumat habis mereka? Tidak! Mereka juga mempertimbangkan sudut pandang lawan mereka dan bertindak dengan tepat. Pertempuran mesti jadi pilihan akhir.”

            Lupakan pula soal siapa yang mendidik yang setinggi apa level pendidikan seperti Musashi. Seperti dikatakan diatas ia sukses dengan menjadi sebagai otodidak. “Pastikan kau menempa diri dengan latihan seribu hari, dan mengasah diri dengan latihan selama ribuan hari,” ujarnya.  

            Setelah itu tak berpuas diri dengan pencapaian yang telah diraih. Meski kenyataanya tak ada manusia yang sempurna, terus menyempurnakan kemampuan di bidang apapun dengan cara mengulangnya merupakan pilihan terbaik. Pikiran harus terus berekplorasi untuk mempelajari hal hal baru. Dengan demikian seperti dikatakam Musashi, ia, “mengantarmu pada jalan sejati.”

            Tapi apa jadinya bila Hideyoshi dan Musahi bertingkah manja dengan sibuk mencari cari alasan mengapa mereka tak menjadi sukses? Keduanya niscaya kan sejajar dengan para pencundang. Dengan mereka yang melarikan diri saat genderang perang di tabuh, bahkan sebelum kabar itu sampai ke telinga mereka.

            Sejarah niscaya mengabaikan mereka karena tak lahir nilai nilai kepahlawanan dari diri keduanya. Semua berpangkal dari mengerdilkan potensi dalam diri sendiri yang sebenarnya amat luar biasa bila terus diasah dengan tekun seperti wakizahi. Adapun ujungnya adalah kehinaan, kesia siaan, kebangkrutan. Jauhi dan tinggalkan kawan! terang itu bukan jalan kita.

 

 

 

Komentar

Postingan Populer