SEPATU

            Apa yang harus kujawab ketika ia meminta sepasang sepatu? Mengelakkah atau mengalihkan topik pembicaraan? Keduanya sama sulit karena aku tak terbiasa bersikap pura-pura. Sejak kecil kedua orang tuaku mendidik agar aku tak jadi seorang pembohong. Lagi pula ini bukan soal tak mampu membeli sepatu baru karena nyatanya secara materi diriku dapat dibilang cukup. Apa lagi buat ia, seorang putri cantik yang akan merayakan ulang tahun ke enamnya. Apapun kan kubeli kalau masih sanggup. Tapi soal sepatu? Ah, dilema aku jadinya.

            Sejujurnya bagai disambar petir saat mendengar permintaan itu. Tapi pintar-pintar kusembunyikan perasaanku di balik kuluman senyum. Ya, senyum yang kecut macam cuka dan hambar pula rasanya. Karena itu kubiarkan saja ia meracau hingga kantuk menghinggapi pelupuk matanya dan iapun terlelap di balik selimut  malam itu.

            Setelah lampu kamar dimatikan pelan-pelan pintu kututup. Kemudian beranjak ke kamarku yang letaknya hanya dipisah oleh dinding rumah. Dwi, istriku sudah menarik selimut dan siap tidur. Aku menghampirinya, maksud hati hendak membaringkan badan di atas kasur. Namun belum sempat rebah, Dwi berkata, “Sepatu lagi?”. Aku bersikap tak acuh. Kubaringkan kepala tepat disampingnya yang tengah memunggungiku.

            “Jadi mau kau belikan? Bukankah esok ia ulang tahun?”. Aku tahu bila ia sedang gamang sepertiku. Ada perasaan gelisah yang menggelayuti benaknya. Beputar-putar seperti gulungan topan. Enggan beranjak dalam pikiran, tak mau keluar pula melalui rongga tenggorokan. Seolah ada biji mengkudu mengganjal di sana. Tak mau menanggapi ucapan Dwi, aku balik memunggunginya. Kantuk membuat kedua mataku berat. Antara sadar dan tidak, masih kudengar ia bertanya, “Mas, Mas...Bagaimana? 

***

            “Kau belikan barbie baru saja.” saran ibu mertua saat aku berkunjung ke rumahnya. Aha! betul juga. Bukankah anak perempuan lazimnya menyukai boneka. Lagi pula selama ini ia memang suka mengoleksi macam-macam boneka. Sempat terpikir tuk mengikuti anjuran tersebut.  Dwi yang saat itu menyertai tampak setuju pula dengan apa yang disampaikan oleh ibunya. Tapi ketika sampai di rumah dan mendapati ia sedang duduk di teras, ditemani oleh mbak Hesti pengasuhnya belum apa-apa dirinya sudah berkata, “Ayah, Ibu, jangan lupa pesananku ya!” sembari menyibakan rambut. Aku tersenyum, mengecup keningnya dan menarik napas panjang. Aku tahu pandangan matanya mengkuti langkah kakiku yang tampak sedikit tergopoh seperti orang mabuk. Sedang Dwi menemaninya sembari berusaha mengalihkan arah pembicaraan lagi.

            Tak habis akal aku coba mengajaknya berwisata. Selama ini ia memang suka sekali jalan jalan. Ah, kalau yang satu ini pasti tak akan gagal. “Nak kita ke Taman Safari yuk!” Ujar ku riang. “Hari minggu nanti ya sayang” Dwi menimpali. Ia mengerutkan dahi. Lalu senyumnya terkembang, “Aku pengen bu. Tapi... sepatu dulu ya, please.”

            Maka di hari yang istimewa ini, meski berat akhirnya aku membelikan apa yang ia minta. Saat dirinya masih terlelap di balik selimut diam-diam aku dan Dwi masuk ke dalam kamarnya. Dwi membawa kue tart dengan hiasan cream warna jingga, warna kesukaanya. Sebuah lilin bertengger, berbentuk angka enam menyalakan api di atasnya. Cahayanya berpendaran amat terang karena hari masih gelap. Sedang aku membawa sebuah kado berbentuk kotak persegi panjang yang di balut kertas kado. Tampak cantik ia lantaran diujungnya diberi hiasan rumbai dan pita.

            Pelan-pelan kami duduk di atas tempat tidurnya. Lalu Dwi mengusap keningnya, menyibak rambutnya lalu mendekati telinganya. “Selamat Ulang Tahun Dinda…”. Ia membuka mata. Tubuhnya menggeiat seperti seekor kucing yang malas. Saat mengetahui kami hadir di hadapannya dengan membawa hadiah iapun tersenyum.

            Dinda bangkit. Seperti kami kini iapun duduk di tempat tidur. Lagu ‘panjang umurnya’ sayup sayup kami nyanyikan. Setelah lagu tersebut selesai, mulut kecil Dinda meniup lilin. Kami bertepuk tangan dengan gembira. Aku dan Dwi memeluknya erat-erat.

            Seperti sudah tahu isi kado yang aku bawa, Dinda meraihnya bahkan sebelum kuberikan. Ia tampak makin girang dengan apa yang sedang ia dapatkan kini. “Makasih ya ayah, ibu” selipat demi selipat ia membuka balutan kertas kado itu. Saat menyaksikan ia melakukan hal tersebut, rasa gamang muncul dalam perasaan kami berdua. Hal yang membuat perasaan berubah ngilu bila kelak kan tahu kenyataan yang akan ia hadapi.

            “Yeaaa… sepatu kan isinya!” Dinda melonjak girang. Ia berusaha turun dari tempa tidur. Mau mencobanya kah? Makin tak keruan hati ini. Bagaimana bisa ia mencobanya. Bukankah sepasang kaki itu telah diamputasi sejak enam bulan lalu. Sebelum kanker menjalar lebih jauh ke sekujur tubuhnya. Bukankah tak  ada lagi telapak kaki mungil untuk sepasang sepatu baru itu?

            Dinda mendekati kursi rodanya. Kami menggendong ia hingga duduk dapat dengan nyaman. Senyumnya masih rekah seperti fajar yang menerobos sela-sela kaca jendela. Lalu dirinya memacu kursi roda tersebut ke ruang tengah cepat-cepat. Sampai tergopoh kami mengkutinya dari belakang. Khwatir terbentur meja atau jatuh terjerembab menghanam lantai ia. “Sepatu baruuu! Sepatu baruuu!” teriaknya girang.

            Kami saling berpandangan. Tak tahu musti mengatakan apa. Dinda terus melaju ke teras depan. Ia meluncur ke halaman dan mendekati tong sampah di depan rumah. Disana kedua mata Dinda melirik kearah kiri dan kanan, tampak seperti sedang mencari seseorang. Kami tak tahu pasti. Lantaran jalanan masih sepi. Belum tampak pula lalu lalang orang-orang. Kendati demikian setelah menunggu beberapa saat tampak  anak perempuan seusia Dinda memanggul karung besar. Tubuhnya kering seperti pohon cemara habis disambar petir. Rambutnya memerah lantaran terlalu sering disengat sinar matahari. selintas melihatnya aku tahu bila ia jarang mandi.

            Anak itu tampak agak canggung saat mendapati kami di depan rumah. Tak seperti biasa dirinya tidak bebas mengorek sampah. Ketika berada di hadapan kami, ia bermaksud mengurungkan niatnya. Pagi ini tak ada sampah yang diambil dari depan rumahku. Namun sebelum ia beranjak pergi dab menjauh, Dinda memanggilnya. “Hesti!!!”, anak perempuan itu membalikan badan.

            Dinda mengampirinya. Ia begitu saja memberikan sepatu itu padanya. Serta merta tampak amat giranglah anak perempuan itu. Mula-mula tersirat rasa canggung dari pancaran bola matanya yang hitam bagai pualam. Namun rasa canggung tersebut perlahan pupus saat ia mengenakan sepatu baru Dinda di kakinya yang biasa telanjang.

“Makasih ya Dinda.”

“Sama sama, selamat ulang tahun ya” jawabnya. Aku saling bertatapan mata dengan Dwi. Lama dan dalam. Tak sadar kami berdua saat ia berucap, “Ayah ibu, ini Hesti temanku, sama sepertiku ia hari ini ulang tahun. Kalau ayah dan ibu berangkat kerja Hesti selalu menemaniku”

            Campur aduk perasaan kami saat ia mengucapkan hal itu. Sepatu ia kini dikenakan oleh anak yang bahkan bertemupun kami baru kali ini. Aku dan Dwi menyalaminya dengan hangat. Lalu Dinda menarik tangannya dan mengajak ia masuk kedalam rumah. Tergopoh kami berdua mengikuti mereka. Sembari tertawa Dinda menyanyi, “Selamat ulang tahun kami ucapkan...” samar-samar kami dengar Hesti ikut bertepuk tangan.

 

 

 

Komentar

Postingan Populer