POLITISASI MASSA MENGAMBANG

diterbitkan juga di mediaindonesia.com pada 20 Maret 2011
PEMILU 2014 belum lagi tiba. Tapi sejumlah partai politik telah menyiapkan strategi untuk berkompetisi pada perhelatan lima tahunan itu. Pemilih pemula kemudian jadi ceruk pasar amat menjajikan. Pada Pemilu 2009 saja jumlahnya lebih dari 20%. Hal ini diamini oleh Ketua Dewan Pengurus Pusat Partai Keadilan Sejahtera, Mahfudz Siddiq, “Pemilih pemula dan muda ini pangsa pasar yang bagus.” (tempointeraktif.com/15/07/10). Sementara Ketua Umum Partai Golkar Abu Rizal Bakrie menandaskan akan memusatkan perhatian generasi yang masih belia itu. “Mereka yang bakal menjadi pemilih pemula pada Pemilu 2014 adalah anak-anak didik yang duduk di kelas dua SMP sederajat. Karena saat Pemilu 2014, mereka berusia 18 tahun dan sah sebagai pemilih,” tandasnya (inilah.com/21/10/09). Hal tak jauh beda disampaikan pula oleh ketua DPPP PDIP Puan Maharani dengan mengatakan, “Kalau dihitung secara politik, anak (yang sekarang usia) SMP inilah yang akan menjadi pemilih pemula 2014.” (republika.co.id/27/01/11) Massa Mengambang Pemilih pemula berkisar pada kisaran usia 17-21 tahun, mereka merupakan pelajar dan mahasiswa tingkat awal kelak. Secara psikologis dapat dikatakan inilah entitas massa mengambang dalam perhelatan politik Indonesia. Apa pasal? Lantaran mereka masih sekadar jadi pemilih emosional dan belum rasional. Pilihan bisa berubah-ubah sesuai pengaruh dari luar dan selera yang pragmatis. Pilihan bisa jatuh pula bukan karena paham soal Visi dan misi kandidat dan partai, tapi cenderung dilahap oleh isu-isu pencitraan yang bias dan semu. Meminjam ungkapan pakar teori kebudayaan Jean Baudrillard, di sinilah demokrasi berpotensi menjelma hiper demokrasi. Suatu keadaan di mana elemen-elemen demokrasi termasuk partai politik tumbuh melampaui batas batas rasionalnya dan kehilangan konteks, makna dan tujuan demos itu sendiri, yaitu kedaulatan rakyat (serbasejarah.wordpress.com). Seperti yang sudah-sudah pemilih pemula sekadar dijadikan sebagai raison d’entra untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya. Politisasi sama dengan manipulasi. Karena dalam demokrasi suara tak ditentukan oleh kualitas intelektual, tapi usia yang sudah ‘akhil baligh’ untuk memilih. Makanya partai politik melakukan segala cara untuk mendapat konstituen. Seperti dikatakan oleh pengamat Jeirry Sumampouw selama ini partai politik tidak pernah fokus dalam melakukan penggalangan massa pemilih sebelum kampanye dan semasa kampanye. Partai politik lebih melihat pemilih sebagai crowd atau kerumunan yang mudah dimobilisasi (Suarakarya-online.com/ 28/04/). Bisa jadi pemaparan visi misi tak terlalu penting, karena hal paling esensial adalah mobilisasi massa ke tempat tempat kampanye. Bisa jadi pengenalan kandidat dengan segala kompetensinya tak melulu dinomorsatukan, karena massa pemula tertarik pada hura-hura. Itu sebabnya di kampung-kampung, mereka ‘didangdutkan’, sedangkan di kota- kota mereka disuguhi aneka macam pertunjukan musik yang sama sekali tak memiliki keterkaitan dengan isu pemilihan umum. Lebih jauh kampanye pun sudah seperti acara kuis saja karena diselipkan door prize, yang membuat massa konstiuen berharap-harap cemas mendapat hadiah besar tak terduga. Hadiah dalam konteks pragmatis tentu saja, karena sebenarnya jarum jam demokrasi sedang merangkak mundur. Partai partai yang manipulatif dan massa pemilih pemula yang melulu dijadikan objek pesakitan, menguatkan ungkapan Lord Acton bila power tends to corrupt. Di mana kekuasaan setelah ia diraih, kemudian diselewengkan untuk memenuhi libido berpolitik sebagian elit dengan melupakan induk semangnya, yakni rakyat pemilih. Logika berpikir yang dipakai bukan lagi logika negarawan tapi logika pedagang. Yang paling bukan mengabdi tapi invetasi kembali atas dana kampanye yang telah dikeluarkan. Pendidikan Politik dan Kaderisasi Filsuf Imanuel Kant pernah berkata bila ada dua watak binatang terselip di setiap diri politisi, yakni merpati dan ular. Merpati identik dengan kemuliaan dan idealisme, sedangkan ular licik dan jahat. Sialnya yang lebih muncul ke permukaan justru watak ular. Ular itu menjelma menjadi rentetan skandal yang amat memalukan pada ranah nyata. Tak kering dalam ingatan soal okmun anggota DPR terjerat skandal seks, menggunakan ijzah palsu dan yang pasti dan tak dapat dielakkan lagi yakni soal korupsi. Hasil survei trasnparansi Internasional Indonesia pada 2009 menemukan bila parlemen dengan skor 4,4 merupakan salah satu lembaga terkorup di negeri ini(sumbawanews.com/04/06/09). Bila keadaanya terus seperti ini, maka lonceng kematian atas legitimasi pemerintah tinggal menuggu waktu. Pemerintahan dan parlemen tanpa legitimasi hanya akan menimbulkan huru hara. Apa yang terjadi di Mesir dan Libya dapat dijadikan contoh. Sebab itu musti ada aksi yang dapat menjungkirbalikkan anasir-anasir negatif selama ini. Pendidikan politik menjadi hal fardhu’ain untuk dilakukan oleh parpol. Menjaring massa usia belia jelas bukan hal yang haram. Bahkan menjadi tugas partai untuk menggaet konstituen dengan latar belakang beragam. Namun jangan lupa hal lebih esensial dari itu adalah pemilih pemula musti dipahamkan secara mendalam soal misi dan visi partai bersangkutan. Setiap tokoh dan kandidat, diperkenalkan bukan melalui citra yang absurd di televisi atau radio. Bukankah citra pura-pura selalu bias dan menipu? Meminjam ungkapan politisi Budiman Sudjatmiko, para kandidat musti pandai membaca lingkungan. Dalam arti terjun langsung ke ranah di mana anak-anak muda itu berada. Menyerap cita-cita ideal yang mereka inginkan dan berjalan beriringan tuk mewujudkannya adalah langkah politik seorang negarawan yang membumi. Dengan demikian partai politik tak hanya menggunakan momentum aji mumpung. Mumpung sedang pemilu maka pemilih pemula didekati dan distir tuk memilihnya. Namun kaderisasilah yang menjadi tujuan utama. Menciptakan kader jelas akan memakan waktu lama. Jauh jauh hari sebelum pemilu kader kader muda musti dibina agar matang wawasan politiknya. Rasionalisasi massa partai kemudian dapat menjadi kenyataan karena para kadernya sudah ‘terdidik’. Begitupun lepas pemilu. Proses itu terus berlanjut hingga menciptakan bakal bakal calon yang kompeten, kompetitif dan bermoral. Pemilih pemula bukan objek. Politisasi dalam arti memberikan pendidikan politik dan mengkader adalah hal yang musti dilakukan. Partai partai kenyataanya masih mengadalkan basis masa untuk mendulang suara. Dibutuhkan nyali dari parpol untuk memilih watak merpati seperti disampaikan diatas. Meski tak populer, meski tak serta merta pula melonjakan raihan suara, tak jadi soal juga lantaran transformasi di segala lini menjadi tujuannya. Pertanyaanya kemudian, adakah partai yang mau mengambil jalan tak populis tersebut? Entahlah, kita tunggu saja sampai 2014.

Komentar

Postingan Populer