Mengenang Jejak-Jejak Sepatu Kemenangan



kalau bukan karena sepatu Kodachi murahan yang dipakai pada lomba lari tempo hari, mungkin tak ada hal manis yang layak buat dikenang. Kalau bukan karena sepatu sebelah kirinya yang jebol lantaran tak tahan terus-menerus mengilas lintasan atletik, tak kan mungkin saya menggapai mimpi yang tak pernah terpikir sebelumnya, jadi seorang pelari jarak jauh.
           
Waktu itu saya masih kelas satu SMA, dan untuk kali pertama musti bertanding di lintasan lari Stadion Pajajran Bandung pada kejuaraan Atletik pelajar sekota Bandung. Bersama saya terdapat atlet-atlet yang lebih berpengalaman. Mereka tampak percaya diri dengan menggunakan spike, yang merupakan sepatu khusus bagi para pelari. Sepatu jenis ini amat ringan saat dipakai dan memiliki paku paku yang berjajar rapi di bagian bawahnya. Karenanya bisa membuat hentakan kaki seorang pelari lebih kuat dan langkahnya bertambah lebar.
         
   Adapun saya, menggunakan sepatu murahan merek Kodachi. Ini lah sepatu multi fungsi, karena selain dipakai untuk olah raga, juga telah menemani saya selama satu terakhir buat ke sekolah. Warnanya putih, alasnya dari karet. Kalau karet itu menggilas lantai, maka akan mengeluarkan bunyi berdecit yang khas.
           
Lalu, wasitpun mengangkat pistol berpeluru hampa di pinggir lintasan. Kami semua bersiap. Saat pelatuk ditarik, serta merta kami mulai bersaing tuk jadi yang pertama pada lari jarak menengah 1500 meter putra tingkat SMA. Saya yang tak punya pengalaman langsung memacu kecepatan tinggi-tinggi. Seperti roket, saya melesat ke depan, meninggalkan atlet-atlet itu di belakang. Mulanya saya percaya diri dan membuat asumsi kasar, bila untuk jadi juara ternyata tak susah-susah amat.
           
Namun kejadiannya jadi anti klimaks. Lantaran setelah melewati 400 meter pertama, saya mulai kepayahan. Napas saya mulai sesak, tarikan napas jadi tak teratur. Sedang kedua kaki terasa amat berat. Perlahan kecepatan saya melambat. Sedang atlet-atlet itu sekarang mulai mendahului saya. Mula-mula jaraknya cuma satu-dua langkah, tapi kemudian main jauh saja. 
           
Saya berusaha mengejar mereka. Tapi hingga menginjak garis finish urutan saya malah melorot di bagian belakang. Saya kalah total waktu itu. Adapun saat pertandingan usai, saya melihat sepatu bagian kiri mulai koyak. Namun saya tak memedulikannya dan memaksakannya lagi tuk bertanding. Kini pada lari jarak pendek, 200 meter dan 400 meter. Hasilnya? Naas. Senaas sepatu saya yang kini benar-benar koyak. Pelindung bagian depannya terlepas amat lebar.
           
Sore itu saya pulang dengan langkah tertahan-tahan. Kalau bergerak lebih cepat saya khawatir sepatu itu akan tambah jebol. Kekalahan dalam tiga nomor berturut-turut memang menyakitkan. Sedang teman-teman satu sekolah saya berhasil mendapat medali. Tampak demikian bagus mendali-medali itu. Terang, berkilauan dan membuat pemiliknya selalu tersenyum.
          
  Setelah pertandingan, sempat terpikir untuk berhenti latihan lari. Saya merasa tak cukup berbakat tuk jadi pelari. Tapi bila mengingat sepatu Kodachi itu, saya merasa ada panggilan yang membuat saya tuk kembali ke lintasan lari. Panggilan yang datang dari alam bawah sadar, yang membuat saya merasa perlu tuk melakukan refleksi diri. Kalau saya kurang rajin berlatih, tak punya stategi dan masih minim pengalaman.
           
Akhirnya sepatu itu saya simpan di rumah. Sering saya lirik ia, untuk mengingatkan ke masa lalu bila saya telah mengamami kekalahan yang amat menyakitkan. Sekaligus melihat ke masa depan bila saya harus meraih prestasi yang lebih baik.
           
Kemudian saya kembali berlatih dengan kawan-kawan satu klub atletik di sekolah, Atletik Bumi Siliwangi namanya. Saya lebih rajin datang ke lintasan lari. Setelah lewat beberapa bulan sayapun diberi program latihan oleh pelatih atletik kami, Pak Sudjarwo Kuncoro Djati. Kini latihah jadi lebih terstruktur, sebab dilakukan  tak cuma dua-tiga kali dalam seminggu, tapi enam hari berturut-turut. Ketika satu program latihan selesai dalam satu bulan. Maka akan ada program lain yang lebih berat pada bulan berikutnya.
           
Hingga datang lah kabar dari pak Sudjarwo akan ada pertandingan atletik sekota Bandung lagi. Sayapun kembali bertanding, tentu tidak dengan sepatu lama, tapi dengan sepatu baru. Pada pertandingan itu, terbuktilah hasil latihan berat yang dilakukan selama berbulan bulan. Untuk kali pertama, saya mendapat medali perunggu pada nomor lari 1500 meter. Tak sampai di sana pada lomba-lomba lain saya mendapatkan medali  pada nomor 5000 meter, halang rintang 3000 meter, estafet 4000 meter dan sebagainnya.
           
Berlari, telah memberikan saya pencerahan bila tak ada yang tak mungkin untuk bisa di raih. Sedang kemenangan, bisa dimulai dengan modal yang sedernaha. Meski dengan sepatu murahan, bila tekun kita dapat pula meraih prestasi. Sepatu murahan itu memang penuh kenangan, sepatu kemenangan atas segala keputus-asaan, rasa frustasi dan pesimisme. Untuk kemudian menggapai keniscayaan mimpi yang paling mustahil sekalipun.





Komentar

Postingan Populer