TOILET
Berkali kali aku melihat arloji pada
tangan kananku. Putaran jarumnya jadi terasa amat lambat, seperti seorang
nyonya makmur tengah baya yang terhuyung melangkahkan kaki lantaran obesitas. Kecepatannya
terasa makin menurun pula, bahkan nyaris berhenti dalam pandanganku yang nanar.
Hal tersebut membuat aku tambah gregetan.
Rasa ngilu itu tambah membelenggu. Keinginan memunaikan hajat kecil itu tak
bisa lagi menunggu. Rasanya aku tak sanggup lagi menahan lebih lama. Karena
kalau tidak, tamat sudah riwayatku dengan pipis dicelana.
Bukannya aku dungu atau pendek akal
dengan tak mencari toilet lain. karena kenyataanya disini hanya terdapat satu
pintu toilet. Itupun tengiknya naudzubillah.
Tercium kuat kuat hingga tempatku
berdiri kini. Terpisah hanya setengah meter lima beas inci. Kontan aku menutup
hidung dengan saputangan yang selalu kubawa bila bepergian kemana mana. Dijaga
seorang lelaki usia sekitar lima lima, berkaos partai politik sisa pemilu tempo
hari. Laganya seperti bos besar saja. Duduk pada kursi rotan dan meletakan
sebelah kaki diatas meja yang terdapat dihadapannya. Sesekali ia menghisap Dji Sam Soe hingga membumbunglah asap putih
ke langit langit. Ketika aku pertama kali bersitatap, ia dengan bahasa tubuh
yang acuh seolah hendak berkata agar aku jangan lupa ngencleng seribu sebelum
menunaikan hajat dalam toiletnya. Ku terka terka, bisa jadi lelaki ini sedikit
banyak belajar dari gambar pria kelimis yang sedang mengumbar senyum sembari
mengepalkan tangan pada kaos yang dikenakannya. Antara ia dan pria kelimis itu
bagiku sama saja, sama sama penindas.
Ingin ku minta ia agar menggedorkan
pintu buatku. Tapi belum apa apa aku segan. Terlebih bila melihat
brewok di pipi dan tubuh gempalnya yang bertato. Bisa bisa dikunyahnya aku mentah
mentah. Maka beginilah aku jadinya. Memasang wajah pias sembari menelungkupkan kedua
tangan diantara selangkangan. Keringat dingin pelan pelan menetes. Gigi gemeretak ngilu seperti mengunyah es.
Sedang ia yang berada didalam sana tak
menunjukan tanda tanda mau keluar. Entah apa yang sedang dilakukannya hingga
banyak membuang waktu begitu lama? Adakah dirinya sedang mengalami sembelit
maha seret hingga musti berjongkok berlama lama? Atau seseorang yang sudah
berminggu minggu tak mandi dan baru kali ini menemukan air lagi?
Kembali aku menengok arloji. Kini
jarum menitnya sudah menginjak pada hitungan dua puluh lima. Artinya hampir
setengah jam ia disana. Benar benar tak tahu adat orang ini. Kesal tak
tertanggungkan perasaanku dibuatnya. Selintas sempat terbersit lagi untuk
mendobrak pintu itu, tapi bagaimana kalau perkaranya makin panjang. Bagaimana
kalau orang dibalik papan bertilam seng setinggi hampir dua meter itu malah
balik emosi padaku? Kemudian kami beradu jotos. Maka makin runyamlah perkaranya.
Sedang aku saat ini tak bisa
membuang banyak waktu. Pasalnya bis malam yang ku tumpangi beberapa saat lagi kan
berangkat. Lalu lalang orang orang diluar sana sudah mulai jarang lantaran mereka
telah duduk pada kursi masing masing. Sedang bis bis lain beberapa saat lalu
malah sudah melaju meninggalkan terminal ini.
Ah, haruskah aku
mengurungkan niat buang air kecil? Terang aku tak mau ketinggalan tumpangan.
Susah payah aku antri tiketnya tiga hari lalu. Apalagi rindu itu kini makin
menggebu. Ada perasaan dalam hati yang amat kuat mendorongku tuk pulang
kerumah. Melihat kembali
wajah Risa dan Mila kedua adik perempuanku. Mencium lagi tangan ibu, perempuan
yang seputih terigu amat menyayangiku. Aku tak tahu bagaimana keadaan mereka
sekarang. Dan yang terakhir namun pasti tentu aku kangan pada
ayah. Setelah hampir dua tahun minggat dari rumah moga saja segalanya telah
berubah kini.
Perselisihan
tempo hari dengannya lambat laun mulai pudar. Kabar ayah main serong dengan Bu
Yayah tetangga kampung kami yang berstatus janda anak dua membuat amarahku
tersulut. Apalagi setelah kang Engkus yang saat itu kebagian ronda malam, diam
diam menguntit ayah keluar rumah dini hari. Tak diduga tak dinyana, ia masuk
rumah bu Yayah yang pintunya sengaja tak dikunci. Tak menunggu lama pamong
desa, petugas linmas dan warga mengepung kediaman perempuan yang terkenal genit
diseantero kampung itu. Beberapa orang masuk kedalam sana. Kemudian dua orang
dengan pakaian setengah telanjang digelandang ke luar rumah. Itulah ayah dan ceu
yayah. Mereka tampak seperti maling ayam yang kepergok dan tertangkap basah
mencuri. Pasrah, masai, pucat tiada daya.
Hingga
subuh mereka diarak keliling kampung dengan pakaian tak pantas, hingga subuh
pula ibu sesenggukan menahan tangis. Sedang aku, lepas beberapa hari sejak
peristiwa itu memutuskan tuk minggat dari rumah. Rasanya hilang muka ini bila
berpapasan dengan tetangga.
Tapi
kini segalanya lambat laun mulai berubah. Amarah telah reda sedang pintu maaf lebar lebar telah
terbuka. Jelek jelek ayah adalah darah dagingku sendiri.
Selalu ada kesempatan kali kedua untuk mereka yang melakukan kekhilafan. Terus
terusan memusuhinya membuat aku lelah sendiri. Lebih baik aku pulang dan
memulai semua dari awal. Ku kira dua tahun adalah waktu yang cukup bagi ayah
tuk bertafakur dan mengisyafi diri.
Aku
menarik napas panjang. Makin geram perasaanku kini. Apalagi diluar sana tampak
sopir sudah menyalakan mesin sedang kernetnya sudah pula menutup pintu belakang
bis. Rasa ngilu makin menjadi. Hasratku tak bisa ditahan lagi. Maka ditengah
perasaan campur aduk yang menggelayuti diriku. Aku putuskan tuk menggedor pintu
itu. Inilah kesempatan terakhir buatku tuk menunaikan hajat sebelum mengarungi
perjalanan yang jauh ke kotaku. Tak lucu rasanya bila nanti harus kencing
dicelana, dalam bis pula.
Rasanya
ingin langsung ku serobot orang dalam toilet bila ia menunjukan batang
hidungnya. Jika perempuan, mungkin kan ku bilang saja, “Please deh mbak, gantian dong udah setengah jam nih!” atau jangan
jangan bagaimana kalau, “Ga tau diri
banget sih, kalau mau tidur di rumah jangan di toilet.” Tapi jika yang ada
didalam ternyata laki laki? Ada baiknya ku bilang, “Lagi dandan mas? Lama banget deh!” atau,
“Mau berang mas? dikolam renang sana! Jangan disini!”
Geramku
tak tertahankan. Dengan tangan terkepal aku mendekati pintu, napasku naik turun
seolah hendak melontarkan tinju. Begitu kepalan tanganku hendak menggedor, tak
diduga diduga pintu itu terbuka dengan sedirinya. Aku sedikit terhenyak
dibuatnya. Tak lama aroma farfum menyeruak
dari dalam sana. Seorang perempuan berbadan sintal keluar dengan langkah
enggan. Saat kami saling tatap ia meluruskan kaos you can see ketatnya yang berwarna jingga. Saking ketatnya sekilas
dapat kulihat pusar dan perut bagian bawah itu tak tertutupi. Sembari mengusap
peluh, dirinya mengikatkan rambut sebagu itu dengan seikat karet gelang. Oh
rupanya ini yang sedari tadi membuat aku terkangkang kangkang seperti orang
kena burut itu?
Perasaanku tiba tiba menjadi lumer
dihadapannya. Segala serapah yang kan ku ucapkan tadi entah kenapa tak mau
keluar dan seolah tercekat dikerongkongan. Lebih jauh aku malah bersikap acuh. Meski
rasa kesal sudah sampai ubun ubun, yang terpikir adalah secepatnya masuk
kedalam toilet, menutup pintu dan menunaikan hajat. Tapi
saat tangaku hendak menyentuh dawai
pintu, tak kuduga kembali seseorang keluar. Kini seorang pria paruh baya dengan
menghisap sebatang rokok kretek. Beberapa kancing kemejanya masih terbuka. Hingga
tampaklah singlet warna putih itu lekat pada badannya yang tambun. Seperti
perempuan tadi iapun menyeka keringat yang bercucuran di keningnya.
Aku
hanya bergeming saat bersitatap dengannya. Kini sama sekali diriku tak
menunjukan gelagat kaget. Detak jantung dan tarikan napaskupun tetap terjaga
dengan tenang. Hal
sebaliknya justru terjadi dengan dia. Ia terlihat amat gelagapan saat
menjumlaiku disana. Mukanya mendadak pias seperti muka orang habis melihat
hantu. Beberapa kali dirinya menelan ludah.
Hingga suaraku pun memecah kekikukannya, “Ayah....”
Pria itu menggaruk garuk kepala meski ku tahu ia tak merasa gatal sama sekali.
“Indah?....Kemana saja kau nak selama ini?”
Mendengar pertanyaan itu aku cuma
bergeming. Diriku begitu saja masuk kedalam tolilet dan membanting pintu. Saat
aku telah sendirian disana, diriku tak segera menunaikan hajat. Aku hanya
bersandar di dinding toilet dengan kepala tertunduk. Rasa pegal dan kesal itu
seolah menghilang. Berganti dengan cairan bening yang menggenang dikedua pipi.
Perlahan mengalir hingga bibir dan dagu.
Sedang diluar, ku dengar langkah
ayah meninggalkan toilet. Ia menjauh dan pergi seirama dengan derak mesin bis
yang menderu deru meninggalkan terminal. Hanya sekali berjumpa dengannya pada
tempat dan masa macam ini membuatku mahfum bila kelakukannya justru makin tak
keruan saja.
Aku terus tersedan dengan suara yang ditahan, moga orang orang diluar tak menaruh curiga pada diriku. Sendri, hanya sendiri aku terpekur bagai patung. Hingga pria penjaga toilet itu membuka pintu dan menyodorkanku selembar tissue. “Terimakasih pak.” lirihku. Ia acuh dan berlalu.
Komentar