TOILET




Huh! Siapa sih yang ada didalam sana? Lama sekali dia. Hampir lima belas menit aku menunggu. Memangnya toilet ini punya nenek moyangnya apa? Tak tahu atau memang pura pura tak tahu ia bila yang menggunakan tolilet bukan hanya dirinya tapi juga orang lain? Dasar egois!

            Berkali kali aku melihat arloji pada tangan kananku. Putaran jarumnya jadi terasa amat lambat, seperti seorang nyonya makmur tengah baya yang terhuyung melangkahkan kaki lantaran obesitas. Kecepatannya terasa makin menurun pula, bahkan nyaris berhenti dalam pandanganku yang nanar. Hal tersebut membuat aku tambah gregetan. Rasa ngilu itu tambah membelenggu. Keinginan memunaikan hajat kecil itu tak bisa lagi menunggu. Rasanya aku tak sanggup lagi menahan lebih lama. Karena kalau tidak, tamat sudah riwayatku dengan pipis dicelana.

            Bukannya aku dungu atau pendek akal dengan tak mencari toilet lain. karena kenyataanya disini hanya terdapat satu pintu toilet. Itupun tengiknya naudzubillah. Tercium kuat kuat  hingga tempatku berdiri kini. Terpisah hanya setengah meter lima beas inci. Kontan aku menutup hidung dengan saputangan yang selalu kubawa bila bepergian kemana mana. Dijaga seorang lelaki usia sekitar lima lima, berkaos partai politik sisa pemilu tempo hari. Laganya seperti bos besar saja. Duduk pada kursi rotan dan meletakan sebelah kaki diatas meja yang terdapat dihadapannya. Sesekali ia menghisap Dji Sam Soe hingga membumbunglah asap putih ke langit langit. Ketika aku pertama kali bersitatap, ia dengan bahasa tubuh yang acuh seolah hendak berkata agar aku jangan lupa ngencleng seribu sebelum menunaikan hajat dalam toiletnya. Ku terka terka, bisa jadi lelaki ini sedikit banyak belajar dari gambar pria kelimis yang sedang mengumbar senyum sembari mengepalkan tangan pada kaos yang dikenakannya. Antara ia dan pria kelimis itu bagiku sama saja, sama sama penindas.

            Ingin ku minta ia agar menggedorkan pintu buatku. Tapi belum apa apa aku segan. Terlebih bila melihat brewok di pipi dan tubuh gempalnya yang bertato. Bisa bisa dikunyahnya aku mentah mentah. Maka beginilah aku jadinya. Memasang wajah pias sembari menelungkupkan kedua tangan diantara selangkangan. Keringat dingin pelan pelan menetes. Gigi gemeretak ngilu seperti mengunyah es.

             Sedang ia yang berada didalam sana tak menunjukan tanda tanda mau keluar. Entah apa yang sedang dilakukannya hingga banyak membuang waktu begitu lama? Adakah dirinya sedang mengalami sembelit maha seret hingga musti berjongkok berlama lama? Atau seseorang yang sudah berminggu minggu tak mandi dan baru kali ini menemukan air lagi?

            Kembali aku menengok arloji. Kini jarum menitnya sudah menginjak pada hitungan dua puluh lima. Artinya hampir setengah jam ia disana. Benar benar tak tahu adat orang ini. Kesal tak tertanggungkan perasaanku dibuatnya. Selintas sempat terbersit lagi untuk mendobrak pintu itu, tapi bagaimana kalau perkaranya makin panjang. Bagaimana kalau orang dibalik papan bertilam seng setinggi hampir dua meter itu malah balik emosi padaku? Kemudian kami beradu jotos. Maka makin runyamlah perkaranya.

            Sedang aku saat ini tak bisa membuang banyak waktu. Pasalnya bis malam yang ku tumpangi beberapa saat lagi kan berangkat. Lalu lalang orang orang diluar sana sudah mulai jarang lantaran mereka telah duduk pada kursi masing masing. Sedang bis bis lain beberapa saat lalu malah  sudah melaju  meninggalkan terminal ini.

            Ah, haruskah aku mengurungkan niat buang air kecil? Terang aku tak mau ketinggalan tumpangan. Susah payah aku antri tiketnya tiga hari lalu. Apalagi rindu itu kini makin menggebu. Ada perasaan dalam hati yang amat kuat mendorongku tuk pulang kerumah. Melihat kembali wajah Risa dan Mila kedua adik perempuanku. Mencium lagi tangan ibu, perempuan yang seputih terigu amat menyayangiku. Aku tak tahu bagaimana keadaan mereka sekarang. Dan yang terakhir namun pasti tentu aku kangan pada ayah. Setelah hampir dua tahun minggat dari rumah moga saja segalanya telah berubah kini.

            Perselisihan tempo hari dengannya lambat laun mulai pudar. Kabar ayah main serong dengan Bu Yayah tetangga kampung kami yang berstatus janda anak dua membuat amarahku tersulut. Apalagi setelah kang Engkus yang saat itu kebagian ronda malam, diam diam menguntit ayah keluar rumah dini hari. Tak diduga tak dinyana, ia masuk rumah bu Yayah yang pintunya sengaja tak dikunci. Tak menunggu lama pamong desa, petugas linmas dan warga mengepung kediaman perempuan yang terkenal genit diseantero kampung itu. Beberapa orang masuk kedalam sana. Kemudian dua orang dengan pakaian setengah telanjang digelandang ke luar rumah. Itulah ayah dan ceu yayah. Mereka tampak seperti maling ayam yang kepergok dan tertangkap basah mencuri. Pasrah, masai, pucat tiada daya.

            Hingga subuh mereka diarak keliling kampung dengan pakaian tak pantas, hingga subuh pula ibu sesenggukan menahan tangis. Sedang aku, lepas beberapa hari sejak peristiwa itu memutuskan tuk minggat dari rumah. Rasanya hilang muka ini bila berpapasan dengan tetangga.

            Tapi kini segalanya lambat laun mulai berubah. Amarah telah reda sedang pintu maaf lebar lebar telah terbuka. Jelek jelek ayah adalah darah dagingku sendiri. Selalu ada kesempatan kali kedua untuk mereka yang melakukan kekhilafan. Terus terusan memusuhinya membuat aku lelah sendiri. Lebih baik aku pulang dan memulai semua dari awal. Ku kira dua tahun adalah waktu yang cukup bagi ayah tuk bertafakur dan mengisyafi diri.

            Aku menarik napas panjang. Makin geram perasaanku kini. Apalagi diluar sana tampak sopir sudah menyalakan mesin sedang kernetnya sudah pula menutup pintu belakang bis. Rasa ngilu makin menjadi. Hasratku tak bisa ditahan lagi. Maka ditengah perasaan campur aduk yang menggelayuti diriku. Aku putuskan tuk menggedor pintu itu. Inilah kesempatan terakhir buatku tuk menunaikan hajat sebelum mengarungi perjalanan yang jauh ke kotaku. Tak lucu rasanya bila nanti harus kencing dicelana, dalam bis pula.

            Rasanya ingin langsung ku serobot orang dalam toilet bila ia menunjukan batang hidungnya. Jika perempuan, mungkin kan ku bilang saja, “Please deh mbak, gantian dong udah setengah jam nih!” atau jangan jangan bagaimana kalau, “Ga tau diri banget sih, kalau mau tidur di rumah jangan di toilet.” Tapi jika yang ada didalam ternyata laki laki? Ada baiknya ku bilang, “Lagi dandan mas? Lama banget deh!”  atau, “Mau berang mas? dikolam renang sana! Jangan disini!”

            Geramku tak tertahankan. Dengan tangan terkepal aku mendekati pintu, napasku naik turun seolah hendak melontarkan tinju. Begitu kepalan tanganku hendak menggedor, tak diduga diduga pintu itu terbuka dengan sedirinya. Aku sedikit terhenyak dibuatnya. Tak lama aroma farfum  menyeruak dari dalam sana. Seorang perempuan berbadan sintal keluar dengan langkah enggan. Saat kami saling tatap ia meluruskan kaos you can see ketatnya yang berwarna jingga. Saking ketatnya sekilas dapat kulihat pusar dan perut bagian bawah itu tak tertutupi. Sembari mengusap peluh, dirinya mengikatkan rambut sebagu itu dengan seikat karet gelang. Oh rupanya ini yang sedari tadi membuat aku terkangkang kangkang seperti orang kena burut itu?

            Perasaanku tiba tiba menjadi lumer dihadapannya. Segala serapah yang kan ku ucapkan tadi entah kenapa tak mau keluar dan seolah tercekat dikerongkongan. Lebih jauh aku malah bersikap acuh. Meski rasa kesal sudah sampai ubun ubun, yang terpikir adalah secepatnya masuk kedalam toilet, menutup pintu dan menunaikan hajat. Tapi saat tangaku hendak menyentuh dawai pintu, tak kuduga kembali seseorang keluar. Kini seorang pria paruh baya dengan menghisap sebatang rokok kretek. Beberapa kancing kemejanya masih terbuka. Hingga tampaklah singlet warna putih itu lekat pada badannya yang tambun. Seperti perempuan tadi iapun menyeka keringat yang bercucuran di keningnya.

            Aku hanya bergeming saat bersitatap dengannya. Kini sama sekali diriku tak menunjukan gelagat kaget. Detak jantung dan tarikan napaskupun tetap terjaga dengan tenang. Hal sebaliknya justru terjadi dengan dia. Ia terlihat amat gelagapan saat menjumlaiku disana. Mukanya mendadak pias seperti muka orang habis melihat hantu. Beberapa kali dirinya menelan ludah.

            Hingga suaraku pun memecah kekikukannya, “Ayah....” Pria itu menggaruk garuk kepala meski ku tahu ia tak merasa gatal sama sekali.

“Indah?....Kemana saja kau nak selama ini?”

            Mendengar pertanyaan itu aku cuma bergeming. Diriku begitu saja masuk kedalam tolilet dan membanting pintu. Saat aku telah sendirian disana, diriku tak segera menunaikan hajat. Aku hanya bersandar di dinding toilet dengan kepala tertunduk. Rasa pegal dan kesal itu seolah menghilang. Berganti dengan cairan bening yang menggenang dikedua pipi. Perlahan mengalir hingga bibir dan dagu.

            Sedang diluar, ku dengar langkah ayah meninggalkan toilet. Ia menjauh dan pergi seirama dengan derak mesin bis yang menderu deru meninggalkan terminal. Hanya sekali berjumpa dengannya pada tempat dan masa macam ini membuatku mahfum bila kelakukannya justru makin tak keruan saja.  

            Aku terus tersedan dengan suara yang ditahan, moga orang orang diluar tak menaruh curiga pada diriku. Sendri, hanya sendiri aku terpekur bagai patung. Hingga pria penjaga toilet itu membuka pintu dan menyodorkanku selembar tissue. “Terimakasih  pak.” lirihku. Ia acuh dan berlalu.

Komentar

Postingan Populer