Piutang

    Kiranya belum terlalu lamur mata ku untuk mengingat wajahnya. Seorang berandal yang kemarin malam dengan mulut bersungut sungut, tatapan mata kalut dan urat leher tegang menarikku dari trotorar jalan Pasteur. Saat itu naas benar nasib ku, karena harus mengalami suatu peristiwa, dimana sebilah belati lekat di ulu hati lalu dengan kasar diseretnya aku memasuki sebuah gang sempit yang berkelok kelok bagai perut labirin. Dikanan kirinya selokan tak henti muntahkan air coberan. Baunya tengik membuat ku masai menahan muntah. Neraka! ini neraka. Ditengah gulita aku harus memerhatikan pijakan karena kalau tidak, bisa saja menginjak luapan sampah rumah tangga bahkan kotoran manusia. Neraka! ini memang neraka. Harta dan nyawa ku dalam bahaya.

            Disebuah gang buntu yang dijejali drum drum karatan, ia memojokan ku ke tembok. Dipelintirnya leher kemejaku hingga terangkat. Pikir ku inilah tempat para bajingan tengik, kriminal kelas kakap atau bandar besar narkoba membagi hasil kejahatan. Disini mereka biasa berpesta dengan menenggak tiga empat botol vodka bercampur darah manusia sambil mengendus marijuana hingga fly. Seperti dalam film film mafia. Seorang sandera malang akan mereka jadikan umpan agar bisa ditukar dengan sekoper penuh uang tunai. Bila beruntung ditebusan kontan, si sandera dapat melenggang dengan tenang ke rumah. Tapi bila tidak, esok lusa tv dan koran akan menyiarkan berita soal mayat tercacah dua belas yang dibuang begitu saja di kolong jembatan. Aku makin kalut.

            Tubuh ku mengigil ketika ia menempelkan pisaunnya tepat di tenggrorokan ku. Mungkinkah nasib ku akan berakhir seperti nasib sandera dalam pikiranku? Saat ia mendesak kurasakan nafasnya naik turun, jantungnya berdetak kencang. Sementara keringat dingin terus menyeka wajah kumuhnya yang liar! menakutkan! Berbahaya! Dengan paksa ia memerintahkanku mengelurkan seluruh isi dompet. Ada tiga juta rupia dalam pecahan seratus ribu disana. Langsung ia rampas. Ia ambil pula tas kerja ku, dipikirnya ada surat surat berharga dalam tas itu padahal yang ada cuma setumpuk dokumen kerja yang kuyakin tak berguna baginya, berisi sederet nama mahasiswa penerima beasiswa dan berapa jumlah rupiah yang akan mereka terima.

            Usai dikuras hartaku, perlahan desakannya mengendur, belati ia selipkan di pinggang. Sambil melangkah mundur matanya tetap bersiaga mengawasiku. Lalu tanpa ku duga ia membalikan badan dan lari meninggalkanku. Ia pontang panting melangkahkan kaki sampai pada suatu kelokan dirinya menghilang dalam kegelapan. Aku yang masih dicekam rasa takut, mulai mengumpulkan keberanian. Ku berteriak sekeras mungkin agar orang orang bangkit dari buaian mereka dan segera memberi pertolongan. Ku panggil panggil polisi, petugas linmas, satuan pengamanan atau siapapun yang dapat menyelamatkan ku tapi mereka seperti raib ditelan  bumi, tak seorangpun datang padaku. Dengan gontai aku kembali melewati kelokan kelokan berbau tengik itu, sambil menutup hidung. Pikirku Biarlah hilang uang dan tas itu, yang paling penting aku dapat pulang kerumah tanpa harus ada bagian tubuh yang tercacah.

***

            Ya, memang kedua mataku belum lamur. Tepat satu hari setelah peristiwa naas tadi, betapa kaget aku karena sekarang dapat bertemu dengannya kembali. Dari balik pintu diam diam kulihat ia sedang duduk berhadapan dengan seorang perempuan jelita bersafari hijau tosca. Perempuan itu tampak serius membaca beberapa lembar dokumen dihadapannya. Sesekali ia mengerutkan dahi, lalu mengangguk angguk. Sedang si berandal tak lagi berperangai kasar. Ia kini tampak lebih santun dengan memakai setelan kemeja kotak kotak warna biru yang dimasukan dalam pinggang, dengan bawahan celana katun berwarna hitam. Kilat kacamata minus di batang hidungnya mengaburkan seringai yang telah kukenal dari sepasang mata jahat itu. Ingin langsung ku labrak ia dan menyeretnya ke Polisi saat itu juga. Aku bersiaga.

            Kulihat ia menandatangai dokumen diatas meja. Perempuan dihadapannya bertanya kapan ia bisa melunasi tunggakan? Si berandal menelan ludah, lalu ia merogoh saku bajunya untuk mengambil sejumlah uang. Ia bilang dibayar tiga juta dulu, sisanya baru dilunasi setelah mendapat pinjaman baru. Hah? pinjaman? Sialan! Aku tahu itu uang hasil rampokan. Sambil tersenyum perempuan tersebut mensupotrnya agar terus bersemangat. Si berandal membalasnya dengan senyuman pula.

            Setelah bersalaman ia bangkit dari duduknya. Namun saat membalikan badan betapa kaget ia karena mendapatiku sudah berada dihadapannya. Wajahnya mendadak pucat, tubuhnya menggigil, mulutnya seperti hendak mengatakan sesuatu namun seketika tercekat dikerongkongan. Dengan panik Ia menoleh ke arah kiri dan kanan. Ia mencoba lari dari dalam ruangan, aku sekuat tenaga menghadang. Lalu tak disangka ia mengabil kembali uang yang tersimpan diatas meja. Dengan gerakan tergesa ia menyerahkannya kembali padaku.

            Si berandal meninggalkan ruangan, ia lari secepat mungkin agar dapat menjauh dari ku. Aku berteriak pada beberapa orang satpam yang sedang berjaga diluar. Ku perintahkan mereka mengejarnya. Perempuan itu terkaget melihat sikap ku yang tiba tiba reaktif. Diambang pintu ku jelaskan kejadian semalam serinci mungkin. “Betulkah itu pak ketua yayasan ?” gamang ia bertanya. “Anak sepintar itu? Bisakah?” Diserahkannya selembar dokumen pada ku. Dalam dokumen tersebut terdapat data diri si berandal, Namanya Nanang koswara, mahasiswa angkatan 2007 jurusan akutansi dari Ciamis. Indeks  prestasinya ternyata sangat baik, tiga semester lamanya ia meraih angka diatas 3,65 tapi tiga semester pula ia menunggak biaya kuliah.

“Tahun lalu ayahnya meninggal. Mobil elf yang ia tumpangi ke pasar untuk berjualan mengelami kecelakaan.” perempuan itu menerangkan.

            “Oh”, hanya itu jawabanku atas keterangannya yang panjang lebar. Ia turut menyesal atas peristiwa semalam. Diangkatnya gagang telepon, maksud hati hendak menghubungi polisi tapi segera ku sergah. Gagang telepon tadi menyenggol papan namanya diatas meja hingga jatuh kelantai. “Siska Karenina, kepala biro kemahasiswaan”. Nama yang telah lama ku kenal karena akulah yang mengangkatnya untuk menempati posisi itu.

            Ku langkahkan kaki keluar mengikuti jejak langkahnya. Kucari cari ia ke bagian belakang, depan dan samping kampus, Kutanyakan juga pada beberapa orang satpam yang tadi mengejarnya. Namun hasilnya nihil, bukan Nanang yang meraka gelandang, namun para dekan, ketua jurusan dan sejumlah mahasiswa yang terusik atas keributan barusan. Rupanya mereka kalah gesit karena Nanang lebih dulu melompati salah satu tembok kampus dan menghilang di pemukiman warga.

            Lalu aku kembali ke ruangan Siska. Lima belas menit menunggu hingga datanglah mereka, sepuluh mahasiswa mengenakan jas alamamater berwarna biru tua. Dalam acara ramah tamah ku absen satu per satu nama mereka, dan mereka menjawab sembari mengacungkan tangan. Bergantian mereka menghampiri dan mencium tangan ku saat menerima cek beasiswa. Ah mahasiswa mahasiswa ini, cerah benar masa depannya, sebagian adalah putra putri para donator di kampus ini. Sengaja mahasiswa mahasiswa ini kupilih sebagai ucapan terima kasih atas kemurahan hati orang tua mereka, kebanyakan kolega, pengusaha serta kawan satu kampus ku dulu yang sekarang sudah mapan benar hidup mereka. Sebagian  lagi adalah mahasiswa mahasiswa yang aku tahu mereka pandai benar cari muka. Aku tahu benar siapa mereka. Biar ku beri jatah juga agar mereka dapat meredam gejolak yang timbul soal kejanggalan pembagian dana beasiswa selama bertahun tahun di kampus ini. Bukan kah anjing akan menurut pada tuannya bila diberi tulang? Bagi mereka tulang tulang gurih itu adalah lembaran cek beasiswa. Mereka akan melakukan cara apapun untuk mendapatkannya.

            Sementara Nanang ia tidak pernah terlihat lagi di kampus setelah peristiwa itu. Peduli setan ia melarikan, toh uangku juga sudah kembali. Sampai kapanpun Nanang tak pernah masuk dalam hitungan. Persetan juga soal keluarga melarat dan IPKnya. Ku ucapkan selamat melanjutkan perkuliahan mahasiswa mahasiswa penerima beasiswa. Semoga sukses kalian dihari depan. Ku ucapkan selamat jalan pada Nanang. Setelah drop out semoga kau sukses jadi berandal sungguhan.

Komentar

Postingan Populer