MEMORY 2


SEBUAH UPPER CUT TELAK

Kenapa ia tak juga tiba ? Laki laki tampan berambut kelimis dengan janggut jarang jarang itu. Apakah dia tak tahu kalau hari ini adalah hari paling istimewa bagiku dan baginya ? Apakah ia tidak sadar kalau ia tak datang maka berantakanlah keistimewaan yang telah lama kami ditunggu tunggu ? Apakah ia lupa ? atau memang sengaja melanggar janjinya sendiri ? ah pikiranku jadi tak karuan. Suasana hati yang tegang membuat perutku mual, ingin rasanya aku muntahkan seluruh kekhawatiran dari dalam kepalaku sejadi jadinya. Tepat satu jam empat belas menit tiga puluh detik aku menunggu dikursi panjang didepan kelasku. Sementara hari makin redup karena jarum jam makin mendekati angka lima, aku tak enak hati. Seorang perempuan cantik berumur tiga puluhan tengah duduk dimeja kerjanya. Sama sepertiku, ia juga sedang menunggu laki laki kelimis itu dengan perasaan bimbang. Ia tampak serius melihat daftar nama pada sebuah buku panjang bersampul coklat dengan motif batik. Bentuknya seperti buku utang yang suka dibawa oleh rentenir kemana mana. Pada tiap nama disana, berderet sejumlah angka untuk semua mata pelajaran. Setiap biji angka menunjukan kualitas akademik seseorang. Makin besar digit angka yang diraih salah satu dari daftar itu makin pandailah ia dan beliau tersentum penuh rasa puas. Tapi ketika mendapati seseorang yang digit digit angkanya melorot apalagi dibawa enam, beliau langsung mengerutkan dahi. Alisnya bertemu sementara tangan kanannya menopang kepala yang hampir jatuh. meskipun tertutup rapat, bibir beliau yang terlihat layu karena kecewa itu seolah ingin mengungkapkan suatu perasaan terpendam. Dalam kebisuan bu Tetty seolah berkata,”ada apa denganmu nak ? kenapa nilai nilaimu bisa berakhir seperti ini ?”

Beliau meliriku. Aku tak tahu pasti apa arti lirikan tersebut. Sebentar beliau melihat buku nilai, sebentar kemudian memandangiku bagai menjumpai seorang tamu asing yang belum pernah ia temui sebelumnya. Seperti ada rangkaian paralel antara buku nilai, tatapannya dan aku yang sedang duduk dengan perasaan kesal diluar kelas. Diujung rangkaian itu terdapat sebuah lampu pijar yang memancarkan sinyal sinyal ganjil padaku, sinyal berwarna merah, sinyal akan suatu pertanda bencana.

Enam tahun masa SD, enam kali ia mengantarku, dua tahun masa SMP, dua kali pula ia mengantarku. Setiap ia mengantarku kesekolah untuk mengambil rapot setiap kali pula ia pulang dengan kepala tertunduk bak seorang pelatih tinju yang kecewa karena jagoannya selalu keok di KO musuh diatas ring. Aku selalu babak belur pada setiap mata pelajaran. sebagian besar nilai nilaiku terutama fisika, kimia, biologi, ekomomi, akuntansi, dan matematika selalu megap megap minta diselamatkan dari titik nadir. Aku dan nilai nilai raportku seperti perenang amatir yang nekat mengarungi samudra tak bertepi. Kendati telah mengerahkan segala upaya untuk menemukan daratan ia selalu gagal, lebih dari itu ia malah mengalami kram kaki ditengah perjalanan dan kini terengah-engah kehabisan nafas karena ombak hendak menenggelamkannya. Sebagian besar nilai nilaiku karam dibawah angka lima. lautan tinta merah berderet deret membuatku kehilangan muka dihadapan kawan sekelas, ayah dan ibu. Enam tahun masa SD, dua tahun masa SMP, setiap kali berhadapan dengan wali kelas, mereka selalu mengajukan dua pertanyaan singkat, “ada apa denganmu nak ? kenapa nilai nilaimu bisa berakhir seperti ini ?”

Adapun bapak, walau ia tahu setiap tahun prestasi akademikku tak kunjung menunjukan perubahan, ia tak pernah absen datang kesekolah. Suatu waktu ia datang dengan setelan kemeja biru lengan panjang bergaris putih kecil kecil. Mengenakan celana dan sepatu dengan warna senada, hitam mengkilat. kalau kucium kemeja itu, maka aromanya kecut minta ampun karena memang ia terburu buru datang langsung dari tempatnya bekerja walau jadwal shift belum habis demi mengambil buku raportku. Wangi farfum dan deodoran yang ia pakai lebih dulu disamarkan oleh cucuran keringat ditengah perjalanan. Belum juga menarik nafas dan menghela keringat sudah tiba giliranya untuk bertatap muka dengan wali wali kelas, membicarakan ihwal diriku. suatu waktu ia datang dengan batik hitam bermotif dua ekor naga kencana yang saling menerkam berwarna kuning emas menyala. Sementara celana dan sepatunya masih berwarna senada, ia kini tampil seperti mau kondangan, tapi ketika kucium kembali batik yang ia kenakan, aromanya tetap kecut karena tersebut adalah batik yang selalu ia kenakan untuk jum’atan, rapat RW, memenuhi undangan pernikahan, khitanan atau mengantar jenazah tetangga dekat yang wafat kepemakaman.

Aku masih ingat ketika kelas lima SD, Ia mengusap usap kepalaku, mengetuk-ngetuknya lalu tersenyum geli, bukan untuk menyindir, “apakah berisi sesuatu didalam sana atau tidak ?”, tapi untuk menghibur hatiku. ia hanya tak mau aku makin kehilangan muka setelah mengetahui hasil raport yang verry verry predictable itu. Ia menarik nafas, mungkin hendak menguatkan diri ketika nanti langsung bertatap muka dengan wali kelas. Ia menelanjangiku dengan tatapannya yang membuat perasaanku miris. Ku tahu tak nyenyak benar ia tidur semalam. Setelah bekerja sebagai waiter sampai jam dua belas ia harus memilih pakaian mana yang akan ia kenakan untuk memenuhi undangan sekolah esok hari. Air mukanya sembab menahan kantuk. kantung kantung mata itu seolah hendak menyampaikan perasaan campur aduk antara kenyataan, harapan dan sikap pasrah terhadap prestasiku disekolah. Tak kuasa aku melihatnya. seandainya nilai nilai mata pelajaran diumpakan sebagai katrol tiang bendera, maka ingin rasanya ku erek semua nilai nilaiku sampai tinggi membumbung kelangit agar air mukanya yang kusam itu dipenuhi penuhi binar binar kebanggaan, tapi apa daya aku sama sekali tak kuasa berpuat apa apa.

Seorang ayah muda dihadapanku dengan kesederhanaanya akan melakukan apapun agar sang anak bisa sekolah. Dengan penghasilan sebagai penunggu tamu restoran yang gajinya mandek pada angka Rp 500,000 kala itu, ia berharap agar anaknya tak segaris nasib dengannya. Garis nasib yang terbentang panjang sejak ia dilahirkan dimana kemiskinan menyeret ia sekeluarga tersaruk saruk menjalani hidup. “tahukah kau” katanya, “dulu waktu bapak sekolah belum ada angkutan kota, bapak harus jalan kaki sejauh tujuh kilo meter dari rumah sampai SMA 6 Bandung, setiap hari, sepanjang tahun dan takpernah seharipun bapak bolos. Tahu kau kenapa bapak rela melakukan hal seperti itu guh ? karena bapak sedang jatuh cinta. bapak benar benar cinta mati pada ilmu pengetahuan, hingga untuk tetap bermesraan dengannya bapak rela menjadi kuli bangunan kalau setiap liburan sekolah tiba. jarang nenek memberi uang saku, kalau pun beliau memberi uang pasti segera bapak pakai untuk mencicil utang buku pelajaran atau menambal sepatu bapak yang bagian depannya sudah menguap bagai mulut buaya. dan kau tahu guh ? walaupun begitu tak satu bijipun mendapat nilai dibawah angka delapan”.

mimpi sederhana Ayahku adalah agar ilmu pengetahuan bisa menjadi semacam bandul pendobrak benteng kemelaratan keluarga kami yang sudah lama dilecehkan. Ia yang selalu termarjinalkan dari kemapanan hidup ingin aku tampil sebagai pionir yang menjadi kebanggan keluarga. Satu satunya harapan itu berada dipundakku, maka tak segan ia pontang panting mencari dana tambahan atau meminjam dari tetangga asal terus berlanjut sekolahku. Tapi apa balasan atas segala jerih payah itu ? tak lebih dari pengkhianatan. Aku telah melakukan konspirasi dengan ketololan sendiriku yang tercermin dari nilai nilai raport itu. tak terbayang betapa kecewa luar biasa ia tapi semua itu diam diam dipendamnya hanya dalam hati. ah kantung kantung mata itu seperti temaram saja, pelan pelan meredup dipapah waktu kepintu malam paling pekat sepanjang tahun. Ia sendirian dalam perjalanan, melangkah tersaruk penuh luka raca yang telah lama menganga mencarkan harapan akan masa anaknya.

Satu jam empat puluh lima menit tiga puluh detik. Ayahku tak juga datang. Apakah ia sudah terlalu jenuh aku kecewakan. Dari pada capek capek datang kesekolah lebih baik ia menonton televisi dengan ibuku saja sambil menyiapkan ucapan bela sungkawa atas nilai nilaiku kalau nanti aku pulang kerumah. aku makin pesimis ia akan datang. Ibu Tetty masih setia menunggu didalam kelas. bisa saja beliau mengacuhkanku. toh hanya bapakku yang belum datang, bapak seorang murid yang nilai akademiknya pas pasan (untuk menghindari kata memprihatinkan). Tapi seperti ada sesuatu yang istimewa hari itu yang menahan beliau untuk terus setia menunggui bapak.

“jadi bapakmu datang Guh ?” beliau bertanya dari dalam kelas. Aku mengganguk tak pasti. Mau dijawab jadi, kenyataanya bapak belum datang, mau menggelengkan kepala bapak sudah berjanji dan setahuku bapak pantang melanggar janji yang ia buat sendiri.
“kalau tidak datang juga, lebih baik ditunda sampai besok saja bu”
“tidak tidak ! saya harus ketemu sama bapakmu sekarang”

“ pertanda burukkah ? pertanda baikkah ?”, pikirku. kenapa beliau begitu memaksa ? padahal kalau sekedar membagi raport masih bisa ditunda sampai besok. Bu Tetty menyuruhku masuk kelas. kini kami duduk berhadap hadapan. beliau duduk dikursi guru dan aku tepat duduk didepannya.
“untung kau masuk kelas ini guh, pilihan tepat”, beliau membuka obrolan. sebuah introduksi yang agak mengejutkan. Pertanda baik ? agaknya masih blur.
“ibu tahu kamu lemah pada bidang eksakta, kelas bahasa memang kelas yang cocok buat kamu”. Statement singkat atas kelemahanku sekaligus sebuah dukungan moral atas bidang lain yang aku minati. Eksakta, mendengarnya saja kepalaku sudah pening tujuh keliling. Ada semacam trend set dikalangan akademisi kalau yang disebut pintar adalah mereka yang lihai menghitung, mengalikan, membagi dan menambah. orang orang pandai adalah mereka yang selalu berhasil mengurai misteri dibalik angka angka. Tapi bagiku, pandai adalah ketika kita berhasil menjadi diri kita sendiri. kita yang tumbuh dengan minat dan bakat pada suatu bidang ilmu merasa enjoy saat mempelajari imu itu. sehingga kita dapat menyerap setiap stimulus akademik sebanyak banyaknya. aku tahu benar kalau sejak dulu kalau minat besarku bukan pada persolan hitung menghitung tapi pada bahasa dan sastra, tapi memang hanya baru sekarang aku mendapat kesempatan untuk mendalami kedua bidang itu lebih dalam. Sejak masuk jurusan bahasa pada kelas 3 SMA, aku mendapat sesuatu yang belum pernah kudapat sebelumnya, Apresiasi. guru guru menyukai tulisan tulisan dan puisi puisiku. nilai nilaiku pada pelajaran bahasa indonesia, inggris, apalagi jepang selalu meningkat. Semangat belajarku pun sedang on fire, jarang aku tak masuk sekolah apa lagi sengaja bolos.

“well, nak ternyata ada perbaikan catur wulan ini”, bu Tetty tersenyum. Frekwensi sinyal buruk melemah, Frekuensi sinyal baik menguat. aku mangut mangut.
“kalaupun toh bapakmu tak juga datang, apa boleh buat….tapi kita tunggu saja sampai jam setengah enam.”
“begini, masalah nilai…..”,
belum selesai Beliau berkata , terdengar ketukan ketukan kencil dipintu kelas. Kami berdua segera mengalihkan pandangan arah sumber suara. berdirilah disana seorang laki laki berumur empat puluhan. Melihat ia terpisah dari kami sejauh lima meter sudah membuat perasaan miris. Tulang rahangnya menonjol terbalut kulit wajah yang legam karena seharian terbakar marahari. Janggut janggut itu mulai memutih dimakan usia menandakan ia sudah banyak makan asam garam kehidupan. rambutnya kelimis berkilat, kendati sudah bermunculan uban disana sini ia bagiku selalu tampak lebih muda dari usia sesungguhnya. bapak datang dengan setelan berbeda hari itu. baju kokonya putih bersih tanpa motif. bisa kutaksir baju itu ukuran L, karena lengannya menenggelamkan kedua telapak tangan bapak. tuhan batu itu kebesaran. pasti ini salah satu hadiah dari parcel yang dikirim tetangga pada bulan puasa yang lalu. tersenyum geli aku waktu melihat celana bapak. celana tersebut berwarna biru dongker dengan gaya yang mengingatkanku pada bawahan yang selalu dipakai para personil naif, sedikit cutbrai. sedangkan sepatunya masih sepatu lama, sepatu yang biasa ia pakai kerja.
Bu Tetty mempersilahkan ia masuk. Setelah mereka bersalaman aku diminta untuk meninggalkan ruang kelas.


Dari luar kulihat dua orang dewasa berdialog membicarakan soal angka angka dan nasibku. yang ku ingat bapak hanya mengangguk angguk lalu disusul dengan tawa kawa kecil. Entah mereka sedang berbicara apa tapi tak enak perasaanku saat itu. apalagi ketika bu Tetty memperhilatkan buku raport dan begitu kosong pandangan bapak melihat isi raport tersebut. mentalku menciut seperti balon udara yang bocor karena sang pengemudi tak sengaja menusukan jarum pada salah satu bagiannya. haruskah aku melarikan diri saja ? melarikan diri dari bapak yang kembali kehilangan muka didepan wali kelas untuk kesekian kali. Ingin aku membenamkan kepala pada sebuah lubang ditaman sekolah kalau ternyataan dugaan buruk itu benar. Tak kuasa aku menganggung lagi perasaan malu.

Mereka besalaman. Bu Tety akan segera pulang sementara bapak sudah memegang raport ditangan kanannya. acara hari itu berlangsung sangat singkat, tak lebih dari sepuluh menit. Ketika menghampiriku yang lumer diluar karena mengalami dehidrasi akan kepercayaan diri, ia tersenyum lebar. senyum yang makin membuatku merasa kerdil dihadapan segala kesederhanaannya. Sebuah belaian tangan menyapu sisiran rambutku. hangat sekali, setelah itu bagai seorang petinju ia memukul mukul pelan bahuku dengan kepalan tangannya.
“ini namanya uppercut, kau tahu uppercut nak ?”

Tuhan jangan jangan sekarang ia akan menyiksaku karena nilai nilai raport itu. memukuliku dengan rotan atau sapu lidi seperti yang dulu pernah ku lihat dalam poster Arry Hanggara. Namun segala kesangsianku segera sirna sebab ia serta merta merangkul badanku penuh semangat. ketika badan kami bersentuhan, kucium aroma farfum yang belum pernah dapati sebelumnya. Entah wewangian apa yang ia pakai ? aku seolah terhipnotis oleh aroma itu kedalam nuansa anggun timur tengah. Bapak meminta maaf atas keterlambatannya. tapi siang seorang tetangga telah wafat dan ia berkewajiban untuk mengurus pemakamann keluarga yang ditinggalkan. Sekali lagi ia berkata, “upper cut nak, kau memberi mereka sebuah uuper cut telak”. Laganya kini seperti pelatih tinju yang girang tak alang kepalang karena jagoannya menang KO pada awal ronde pertama. Ia kemudian memperlihatkan raport catur wulan pertamaku dikelas tiga bahasa. Disana tertulis kalau aku mendapat rata rata angka sembilan pada tiap mata pelajaran, hanya pendidikan pancasila dan bahasa arab aku mendapat delapan. hasil yang mengejutkan, tak percaya aku melihat buku itu. inikah mimpi ? sungguh Aku mendapat rangking satu. kucubit cubit pipiku. Aku seperti terbang dengan sepasang sayap yang telah lamaku tunggu kemunculannya dupundakku. Ia mengembang lebar membawaku kemasa lalu kemudian mengubur semua kenangan buruk prestasi sekolahku. Hari ini kembali laki laki dihadapanku ini meredup, bukan lantaran sedang berduka tapi karena telah muncul rasa haru akan suatu penantian panjang yang ia yakini sejak dulu kalau suatu saat anaknya bisa mengupper cut kebodohannya sendiri hingga terjungkal tak bangun lagi dan mampu melakukan sesuatu yang berguna.

Komentar

Postingan Populer