MENELANJANGI BOROK TUKANG TUKANG NYONTEK


1. Perubahan Omong Kosong
Kalau tidak ingat pengorbanan saya siang malam sebelum kuliah, mungkin saya telah menyebut kalau kuliah sama dengan tahi kucing. Hal ini saya ungkapkan karena saya sudah terlalu kecewa dengan kepura puraan di kampus.

Sebelum masuk kampus, kuliah dalam pemahaman saya adalah idealisme, pertarungat sengit mempertahankan nila nilai dengan keringat bahkan darah sebagai taruhannya. Kuliah adalah wahana untuk mencetuskan revolusi berpikir, dimana ego pribadi luntur dan intelektualitas yang bergerak menjalankan fungsi sosialnnya digulirkan bersama sama. Intelektualitas adalah tameng dan mahasiswa mahasiswa adalah garda yang berdiri paling depan untuk melawan setiap kedzoliman baik yang dilakukan penguasa atau pribadi pribadi yang sok punya kuasa. Dalam menempuh perjuangan, mereka menggunakan cara cara bersih, jujur dan elegan sehingga ketika perjuangan tersebut mencapai keberhasilan maka hal itu adalah cermin dari kemenangan kaum intelektual.

Bagi saya heroisme gerakan mahasiswa 98 yang berdarah darah, peristiwa penembakan mahasiswa di Trisakti dan Semanggi, sikap lapang dada para ayah dan ibu yang merelakan anaknya ditembaki dalam huru hara dan pemerkosaan serta pembunuhan perempuan perempuan Tiong Hoa menjelang lensernya soeharto telah membulatkan tekat saya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi selepas SMA. Saat itu saya yakin dapat menemukan jati diri saya dilingkungan kampus.

Tapi apa yang saya dapati kemudian seperti jauh panggang dari pada api. Karena yang saya temukan adalah kekecewaan. Dikampus tempat saya kuliah, tidak ada heroisme seperti angkatan 98, tidak ada gerakan massif melawan kedzooliman, tidak ada panggung orasi yang lantang berteriak ketika kekuasaan memilih jalan yang dirasa tidak populis bagi masyarakat kampus dan luar kampus. Semuannya diam. Diam saja. Tidak pernah meledak aksi besar besaran ketika 1300 orang Palestina dibunuhi penjajah israel. padalah lebih dari 60 % dari mahasiswa mahasiswa dikampus adalah Muslim. Tidak terdengar info pengiriman relawan saat bendungan situ Gintung jebol. Tidak muncul kecaman konfrontatif dari pemerintahan mahasiswa walau tiap tahun biaya pendidikan selalu naik.

Yang ada adalah kemunafikan. Banyak benar Mahasiswa mahasiswa yang pandai berackting dihadapan para dosen sebagai pribadi yang sopan dan bersih, Tapi kenyataanya ketika ujian mereka tak lebih dari tukang tukang contek yang menghalalkan segala cara untuk mendapat nilai bagus. Saya khawatir Intelektualitas kehilangan fitrahnya karena ia tidak lagi dipakai sebagai sarana untuk mengabdi pada keluarga dan lingkungan tapi tak lebih dari pencapaian nilai nilai saja. Ujian tidak dijadikan tolok ukur keberhasilan empat bulan masa perkuliahan, tapi sebatas rutinitas yang sudah terjadwal dimana mahasiswa berusaha mendapat nilai terbaik walau harus dengan mencontek. Suatu ketika kawan sekelas saya mengatakan sangat bahagia karena nilai ujiannya lebih besar dari nilai saya. Padalah saya tahu ia mendapatkannya dengan mecontek. Setelah masa ujian selesai, dosen pada mata kuliah bersangkutan memujinya sebagai mahasiswa yang harus ditiru. Hah ? ditiru ? tentu saya tidak menyalahkan dosen itu karena ia tidak mengikuti proses ujian berlangsung. Saya hanya tertawa dalam hati karena seperti yang sudah saya katakan, inilah contoh kemunafikan seorang mahasiswa yang katanya agen of change itu.

Menyikapi masalah ini, Tanpa mengeneralisir kalau semua mahasiswa adalah tukang nyontek, Saya ingin bertanya, tidak bisakah kita jujur ketika ujian ? apalah artinya nilai nilai bagus kalau ternyata membohongi diri sendiri ? atau memang kita sudah betah dengan kebohongan, kepalsuan dan opotrunisme sehingga melacurkan diripadanya demi mendapatkan nilai bagus? Kalau memang benar demikian adanya, berarti hal ini adalah bencana besar bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia. Karena mahasiswa memaknai pendidikan sebatas draft huruf angka angka pada lembaran nilai hasil ujian. Sekali lagi Saya ingin bertanya, bagaimana mungkin kita bisa peduli pada masalah masalah sosial, seperti GAZA, Situ gitung, kemerdekaan Burma dan lain lain kalau mahasiswa mahasiswanya saja tidak jujur pada diri sendiri. Iman Syahid Hasan Al Banna berkata, “tidak mungkin dapat bersatu antara sesuatu yang haq (benar) dan bathil (salah)”. Bagaimana mungkin mahasiswa mahasiswa berhasil memperjuangkan sesuatu yang benar sementara masih terdapat kebathilan dalam dirinya ? Semua perubahan adalah omong kosong kalau orang orang yang sok jadi agen perubahan ternyata adalah tukang nyontek.

2. Bercermin Dari Orde Baru
Imam Syahid juga berkata, “nasib kita hari ini adalah hasil perjuangan kita dimasa lalu, dan nasib kita esok adalah hasil perjuangan kita hari ini”. Nasib indonesia yang hari ini carut marut adalah hasil dari perbuatan para pendahulu kita. Masa tiga puluh dua tahun pemerintahan diktator soeharto adalah masa masa paling kelam dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Ketika soeharto berkuasa, maka orang orang tedekatnya seperti anak, teman main golf dan memancing, sanak famili bisa dengan mudah masuk kedalam jajaran birokrasi. Kolusi kental ditubuh anak anaknya, karena proyek jalan tol, penjualan cengkeh petani, pengadaan mobil nasional dimonopoli oleh trah cendana. Pada saat itu rakyat dipaksa untuk diam dan manut pada kekuasaan kalau tidak mau dituduh melakukan subfersif atau PKI. Jangan coba coba melawan, karena nyawa taruhannya. Soeharto dan trah cendananya menjalankan pemerintahan seperti menguasai sebuah kerajaan besar bernama Indonesia. Ada sebuh anekdot yang bercerita kalau suatu hari mantan erdana mentri Inggris Tony Blair datang ke Indonesia untuk berkonsultasi dengan pemimpin orde baru itu.
Blair berkata, “pak harto bagaimana pendapat bapak kalau sistem pemerintahan Inggris dirubah dari monarki menjadi demokrasi?”
Soeharto mengerutkan dahi, kemudian menjawab, “saudara Blair anda ini bagaimana ? kok ingin merubah sistem pemerintahan negara anda dari monarki jadi demokrasi. justru saya sekarang sedang berencana merubah sistem pemerintahan Indonesia dari demokrasi jadi monarki”

Barangkali hal itu hanya anekdot tapi mencerminkan kondisi real Indonesia selama pemerintahan orde baru. Pemerintahan yang sarat KKN membuat Indonesia menempati ranking pertama dalam masalah korupsi di Asia. Rakyat kehilangan muka dan puncaknya terjadi pada peristiwa Mei 98 dimana mahasiswa mahasiswa berhimpun digedung MPR menuntut reformasi tolal . Saat itu Atas desakan yang kuat dari mahasiswa pulalah akhirnya diktator soeharto tumbang dari kekuasaanya.

3. Mau jadi Pahlawan Atau Tirani ?

Saya dan anda semua pembaca artikel ini, tentu tidak mau ada diktator diktator baru muncul dimasa depan. Soeharto sudah cukup membuat rakyat menderita. Di era reformasi yang lebih terbuka seperti sekarang, semua rakyat menghendaki perubahan disegala lini terutama berkaitan dengan masalah kesejahteraan dan jaminan untuk berekspresi dengan bebas.

Mahasiswa sebagai agen perubahan berkewajiban untuk mengawal lancarnya laju reformasi, karena dimasa depan mereka yang akan menggantikan pemimpin pemimpin yang berkuasa hari ini. Sebagai calon calon pemimpin, mahasiswa dituntut bukan hanya cerdas secara intelektual tapi juga bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme. Untuk mendukung hal itu, perubahan kearah yang lebih positif harus dilakukan bagaimanapun kecilnya hal itu. Agar mereka kelak menjadi pemimpin pemimpin yang bersih, kebiasaan mencontek harus dihentikan mulai detik ini. Karena mencontek adalah mencuri dan mencuri adalah bagian dari korupsi. Kalau belum berkuasa saja sudah jadi koruptor kecil kecilan mungkin nanti setelah jadi pejabat bisa jadi koruptor besar. Kejujuran dalam merentas kekuasaan yang lebih besar harus dijadikan landasan, karena seorang filsuf berkata, “setiap kekuasaan kecil, kalau tidak diemban dengan hati hati, berpotensi melahirkan tirani besar.

Buku buku yang mendukung artkel ini

1.Parry, Lyoid Richard, ZAMAN EDAN, Indonesia Di Ambang Kehancuran, 2005, PT Serambi ilmu semesta
2.Rakyat Indonesia, Mati Ketawa Ala soeharto, 1998, Anggota Ikatan Penerbit Indonesia Alternatif

Komentar

Dhiora Bintang mengatakan…
ketika saya menginjakkan kaki di jejak kampus UTama, saya merasakan kemegahan yang luar biasa. tapi didalamnya ada benih2 kontradiktif, kampus yang bersandar kepada pembangunan artifisial. kang suguh, tulisan ini saya repost yah di FB?
sanur sukur mengatakan…
boleh dhiora....dengan senang hati.....semoga bermanfaat

Postingan Populer