MOBIL DINAS BIKIN MACET, ANTI SOSIAL ATAU KEBELET PIPIS?

liat berita di Metro ada oknum Patwal SBY arogan, saya jadi inget artikel saya sebulan lalu, artikel ini di terbitin juga di Kabar Indonesia
Oleh Suguh Kurniawan
Penulis H. Jackson Brown, Jr. berkata, “Pemimpin mencapai suksesnya melalui pelayanan kepada orang lain, bukan dengan mengorbankan orang lain.” Hal ini belum paralel dengan sikap para pejabat kita dijalan raya. Dengan kawalan motor gede Polisi Militer atau Polri kendaraan mewah yang mereka tumpangi dapat melaju tanpa hambatan ditengah kerumunan masa yang geram. Ketika kendaraan kendaraan lain terpaksa berhenti atau menepi untuk memberi ruang gerak pada mereka, muncul pertanyaan besar. Sebagai abdi negara yang sejatinya melayani rakyat justru mereka malah ‘menyakiti’ rakyat sendiri? Apakah hal ini berkaitan dengan kealpaan para pejabat terhadap nilai nilai sosial? Atau kebetulan pada waktu itu pejabat bersangkutan memang sedang kebelet pipis sampai harus memacu mobil cepat cepat agar hajatnya lekas terpenuhi. Pelanggaran Materi Dan Moral Sikap seorang pemimpin ujar pendiri restoran waralaba cepat saji Mc Donald Ray Crock, “bisa dilihat dari standard yang mereka tetapkan untuk diri mereka sendiri.” Faktanya pada Maret 2009 terdapat 32,5 juta penduduk miskin dengan penghasilan kurang dari 7000 per hari di Indonesia (laporan BPS). Dilain pihak nilai utang ‘kita’ yang jatuh tempo pada 2010 mencapai Rp 116 triliun (Detikfinance, 26/12/09). Mempertontonkan kemewahan materi melalui mobil dinas hanya akan menimbulkan kecemburuan sosial. Para pejabat harusnya merasa malu bila melewati tiap perempatan kemudian mendapati anak anak jalanan, pemulung atau pengamen yang rentan dicederai fisik dan psikisnya oleh pihak lebih berkuasa seperti preman atau Satpil PP. Tentu masih segar dalam ingatan kasus Baekuni dan robot gedeg yang membunuh lalu mensodomi belasan korbannya? Atau masih santer terdengar berita soal kasus pelecehan seksual terhadap pengamen jalanan perempuan yang kebanyakan masih dibawah umur. Bukankah pengabaian untuk melindungi keselamatan warga negara merupakan pengingkaran terhadap kemanusiaan? Sementara secara moral, masyarakat umum pengguna jalan juga punya hak untuk mendapat pelayanan maksimal dalam kegiatan berlalu lintas. Karena sudah menjadi tanggung jawab para pejabat untuk memprioritaskan Service to public ketimbang mendahulukan ego. Benar adanya bila ditilik dari prespektif sejarah, para pejabat kita masih mewarisi tabiat raja raja terdahulu. Mereka senang kalau diperlakukan istimewa seperti dikawal, mendapat pelayanan khusus atau diiring iring seperti ‘pengantin sunat’. Padahal pemahaman feodal tersebut harusnya luluh bila melihat kepentingan lebih luas. Karena bisa jadi saat mobil dinas mereka lewat hingga membuat kendaraan lain diverboten, disalah satu angkutan kota, terdapat siswa siswa SMA yang akan mengikuti ujian akhir kemudian terlambat datang kesekolah. Bisa jadi juga ada buruh pabrik, tukang bangunan dan karyawan level bawah berstatus kontrak yang terancam dipotong gajinya karena terjebak macet. Bila alasan melakukan hal tersebut adalah untuk melaksanakan tugas tugas negara, kenapa pula mereka tidak berangkat lebih pagi ketimbang rakyatnya. Dengan segala fasilitas yang telah dipenuhi melalui pajak harusnya mereka bisa bekerja makin trengginas. Dwight D. Eisenhower berkata,“Kau tidak memimpin dengan cara menindas orang, itu kekerasan namanya, bukan kepemimpinan.” Disadari atau tidak oleh para pejabat, dengan mengabaikan kepentingan masyarakat dan mendahulukan keperluan pribadi hanya akan menimbulkan rasa ketertindasan baru diatas ketertindasan lama. Dapat dipastikan yang muncul kemudian bukan simpati namun antipati. Koreksi fundamental mesti dilakukan bila tak ingin mengubah ‘rasa benci’ menjadi Chaos. ‘Bisa Merasa’ VS Kebelet Pipis Ditengah kemiskinan yang masih menjadi bahaya laten bangsa ini, para pejabat harus bisa menjaga sikap. Keberadaan mereka ketika dijalan raya hendaknya bisa mencerminkan kalau mereka adalah abdi negara yang ‘membumi’. Kedepan diharapkan muncul penggede yang berani merombak aturan protokoler. Hal ini dicontohkan oleh Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad yang menolak kendaraan dinas dan setia pada mobil Peugeot butut 504 tahun 1977 miliknya. Pengawalan pribadipun dikurangi. Malah ketika masih menjadi walikota Teheran, anak pandai besi ini berani menyindir presiden Mohammad Khatami saat mengeluhkan kemacetan yang ia alami. "Kita harus bersyukur memiliki presiden yang baru kali ini merasakan persoalan-persoalan yang setiap hari dirasakan oleh rakyat.", ujarnya. Dalam pandangan Ahmadinejad pemimpin jangan hanya mau enak sendiri tapi harus benar benar memahami problema yang dihadapi masyarakat secara global. Karenanya ‘bisa merasa’ menjadi fundamen paling dasar atas suatu kepemimpinan . Bisa merasa dalam arti seorang pejabat sejajar, beriringan serta selevel dengan rakyatnya. Bila macet itu menyebalkan, maka ia memilih bergabung dengan barisan kendaraan lain ketimbang menerobos dengan arogan. Bisa merasa artinya ketika melintas dijalan ia bukan sekedar melintas sambil lalu tapi menyerap gejala sosial yang timpang kemudian merumuskan formula untuk menyelesaikannya. Semakin sering berada dijalan harusnya semakin tangkas ia untuk menyelesaikan masalah anak anak jalanan, pemulung dan pengamen. Agar hal tersebut lekas terwujud, masyarakat sendiri harus menjadi normatic contolers yang efektif. Mereka bisa menerapkan sanksi sosial seperti tidak memilih kembali pejabat yang suka membuat macet pada pemilu berikutnya. Atau melalui LSM LSM kemanusiaan dan HAM dapat mengajukan draft kontrak politik baru pada mereka dengan segala konsekuensi yang harus dipertanggung jawabkan pejabat bersangkutan. Dengan draft tersebut tidak menutup kemungkinan untuk menyita mobil dinas sang pejabat, melelangnya lalu menggunakan keuntungannya untuk biaya pendidikan, mendirikan sekolah gratis atau membuka lapangan kerja baru. Membudayakan sikap malu ketimbang secara vulgar mempertontonkan kemewahan, menjunjung tinggi kerendahan hati, toleran, tenggang rasa serta bisa meraba perasaan rakyat dapat memadamkan ‘bara’ kegeraman yang selama ini ditujukan pada para pejabat dijalan raya. Lebih jauh jika keinsyafan nilai nilai dapat tertata dengan matang, jangankan dikawal dan menerobos, memiliki mobil dinaspun akan dianggap tak pantas. Seperti dikatakan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Laode Ida “Lebih baik uang untuk mobil itu digunakan untuk menyekolahkan anak-anak yang tidak mampu. Pejabat sudah ada tunjangan-tunjangan dan fasilitas lainnya. Sangat tidak logis anggaran digunakan secara konsumtif.” (nasional.kompas.com/2010/01/04). Namun bila segala upaya untuk mensejajarkan hak pengguna jalan ternyata gagal. Sedang mobil para pejabat masih seenaknya menyerobot barisan kendaraan lain dengan kecepatan penuh hingga muncul kesan arogan. Ketimbang melulu memendam rasa jengkel, akan lebih arif bila rakyat belajar untuk berbaik sangka. Setelah kehabisan tenaga karena protes tak pernah ditanggapi, mereka (untuk kesekian kali) diam diam memelas dalam hati sembari berkata, “Ah yaa Tuhan, ternyata banyak benar pemimpin kami yang sedang kebelet pipis.”

Komentar

NURA mengatakan…
salam sobat
benar mas.bikin macet.
karena kebanyakan pada pakai moxil dinas dan kadang hanya 1 penumpangnya.
alhamsulillah kabar di S.A baik2 saja.
semoga kabar disini juga begitu adanya.
suguh mengatakan…
alhamdulillah di sini baik baik juga ^^

ada baiknya anggaran mobil dinas dialihkan buat dana beli beras rakyat aja ya bu^^
genial mengatakan…
terus gmn kang dengan pengurangan kendaraan bermotor yang baru akan di sosialisasikan undang2nya?
Tika mengatakan…
very inspiring and interesting post :)
suguh mengatakan…
@iya indutrialilsasi di negara kita terlalu liberal...jumlah produksi kendaraan, ga sebanding sama lajur jalan....pajak kendaraan harus dinaikan...pelayanan trasportasi lokal juga harus maksimal yaa

@makasih ya tikan kunjungannya ^^

Postingan Populer