Melawan Pelanggaran HAM Terhadap ODHA


Esai ini menjadi pemenang ke tiga seIndonesia dalam Lomba Penulisan Diskursus AIDS Tahap III yang diselenggarakan oleh JOTHI dengan tema "HAM dan orang terinfeksi HIV” pada 2010.

Oleh Suguh Kurniawan

Sesungguhnya penyakit yang paling berbahaya di dunia ini bukanlah AIDS, kanker, tumor ataupun antraks. Tetapi menghina dan merendahkan potensi diri sendirilah penyakit yang sebenarnya paling berbahya di dunia ini.
(Din, dikutip dari buku ‘Selalu Ada Harapan’ hal 16)

Sejak kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Bali pada 1987, tindakan pencegahan dan perawatan digalakan baik oleh pemerintah atau LSM LSM penggiat AIDS dan kemanusiaan. Kendati demikian, setelah duapuluh tiga tahun menjadi bagian dari problema medis Indonesia, jumlah penderitanya terus meningkat. Selain itu perlakuan diskriminatif tak surut ditujukan pada ODHA. Nilai nilai kemanusiaan yang dilanggar menjadi preseden buruk bagi para penderita hingga beban fisik dan psikologis yang harus mereka tanggung makin berat, dan karenanya penegakan HAM Indonesia pun berada dalam dilema.

Diskriminasi Multidimendional
HAM ungkap paus Yohanes Paulus II sebagai, “salah satu dari ekspresi hati nurani manusia tertinggi.” Hak dasar yang melekat pada diri manusia ini, bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugrah tuhan yang harus dihormati dan dijaga (wahyuforlife.blogspot.com). Pilar utamanya adalah saling menghargai, melindungi, membantu serta mendukung manusia atas manusia lain tanpa membeda bedakan asal usul, warna kulit, agama atau status sosial. Dengan demikian diharapkan tercipta tatanan masyarakat sirnegis yang bebas dari cela diskriminasi.

Namun bagi penderita HIV/AIDS faktanya tak demikian. Sampai saat ini masih sering terdengar kabar tak sedap soal tindakan tak manusiawi yang masyarakat tujukan pada mereka disegala lini. Pada ranah terkecil yakni keluarga sebagai contoh, karena minimnya pemahaman mengenai proses penularan HIV/AIDS, keluarga yang harusnya memberi dukungan moril justru melakukan pengucilan. Pada April 2009, di Bali terdapat dua ODHA yang tidak bisa pulang kerumah dari perawatan rumah sakit karena ditolak oleh keluarga mereka. "Estimasi orang terinfeksi HIV sekitar 4000 kasus di Bali. Apa yang terjadi kalau semua ditolak keluarganya? Siapa yang mengurus? Saya juga berpikir dengan nasib saya nanti,” papar Dodi, aktivis AIDS setempat. (satuportal.net/07/09/09).

Sementara dimasyarakat dikriminasi makin kentara. Teman, tetangga, dan lingkungan menjadi hakim yang menjatuhkan vonis pada ODHA secara tidak adil. Orang orang terdekat yang semula akrab, berbalik menjauhi ketika seseorang didiagnosa HIV positif. Peristiwa miris terjadi di Mengi, Badung, Bali. Terdapat suami istri positif HIV, memutuskan untuk membuka status mereka. Namun saat sang suami meninggal, masyarakat melakukan diskriminasi. (satuportal.net/07/09/10). contoh lain adalah penolakan masyarakat atas tujuh jenazah ODHA oleh warga seperti disampaikan Istiana Dewi, aktivis dari lembaga Bali Plus.

Pihak rumah sakit yang mulanya diharap dapat memberi layanan maksimal pun justru melakukan kekeliruan serupa. Padahal secara logika rumah sakitlah yang memiliki pemahaman paling luas mengenai masalh HIV/AIDS dengan segala komplesitasnya dibanding keluarga dan masyarakat. Hal memilukan dapat kita simak dari Sartika Nasmar, Jurnalis dari Makasar. Berdasarkan wawancara yang dilakukannya bersama seorang ODHA berinisial Dedes, diketahui Dedes mendapat anjuran dari dokter yang menanganinya untuk tutup kandungan agar bayi yang ia kandung tak terinfeksi HIV. Padahal seperti diyakininya, dengan memanfaatkan program Preventing Mother To Child Treathmen (PMTCT) hal tersebut dapat dicegah (kesehatan.kompasiana.com//09/01/10).

Begitupun dikalangan penggiat medis lain seperti perawat. “Stigma dan diskriminasi dari dokter atau perawat tidak hanya dialami pasien ODHA saja, tapi kami juga mengalaminya.”, kata Suster berinisial Rima, Salah satu perawat pasien HIV dan AIDS di sebuah rumah sakit di Makassar. Karena dedikasi besarnya untuk merawat ODHA, ia selalu mendengar perawat lain bergunjing atau berteriak memanggilnya dengan sebutan Suster HIV (kesehatan.kompasiana.co/21/09/09). Namun hal tersebut tak memupuskan semangatnya untuk memberikan pelayan terbaik, “Saya nda peduli ji. Saya sudah bikin komitmen berbakti sama pasien HIV sampai habis masa pensiunku.”, Ungkapnya dengan logat Makasar (kesehatan.kompasiana.com//09/01/10).

Tindakan dikriminatif hanya menjadikan kasus HIV/AIDS seperti gunung es, Nampak kecil dipermukaan namun sebenarnya berpotensi menimbulkan bencana besar dimasa depan. Karena takut mendapat stigma buruk dan perlakuan tidak manusiawi dari lingkungan, banyak ODHA yang merahasiakan status mereka. Diluar data rersmi, Departemen Kesehatan memperkirakan saat ini jumlah orang terjangkit HIV sekitar 300.000 kasus (bataviase.co.id/04/12/09), dan bila hal tersebut terus terjadi, para ahli epidemologi memproyeksikan pada 2015 terdapat 1000.000 jiwa penderita HIV/AIDS di Indonesia (bidansmart.wordpress.com/21/12/09).

Solusi: Penegakan HAM
Membiarkan orang terinveksi HIV/AIDS terus dikucilkan dan mendapat berbagai stigma buruk merupakan pelanggaran HAM. Hak hak dasar yang dirampas, membuat mereka asing dilingkungan mereka sendiri. Dibutuhkan solusi tepat guna mengentaskan masalah pelik tersebut. Karena dikriminasi selama ini bersifat multi dimensional, maka solusi penanggulangan dan penyelesaiannyapun harus bersifat multidimensional.

Untuk keluarga dan masyarakat, mereka harus sadar bahwa orang dengan HIV/AIDS bukanlah ancaman yang harus dikucilkan. Pergaulan dan komunikasi baik verbal dan nonverbal harus dijaga dengan baik. Selebriti Christian Sugiono dapat dijadikan teladan. "Gue mulai bisa berteman dengan penderita AIDS karena pengetahuan tentang AIDS bertambah berkat kampanye AIDS. Gue punya teman yang AIDS, santai saja. Bahkan, sering hang out bareng.", ungkapnya (celebrity.okezone.com/12/04/08).

Karena itu Kampanye Anti dikriminasi harus terus digalakan. Selain mengadakan seminar dan simposium, sistem jemput bola dapat menjadi solusi dalam masalah ini. para aktifis penggiat HAM dan AIDS dapat turun langsung kemasyarakat, seperti bekerja sama dengan karang taruna atau aktivis pemuda pada skup masyarakat terkecil, RT dan RW. Dengan menyampaikan pemahaman sederhana bahwa HIV tidak akan menular melalui hubungan sosial seperti jabatan tangan, bersentuhan, berpelukan, penggunaan alat makan, WC, Kamar mandi dan kolam renang bersama, lambat laun perubahan dari bawah ke atas dapat terjadi. Selain itu terbuka pula pemahaman lebih luas yang memungkinkan ODHA untuk terlibat lebih aktif dalam setiap kegiatan dimasyarakat.

Sedang bagi rumah sakit, tindakan dikriminatif apapun harus diganjar dengan sanksi. LSM AIDS dan Kemanusiaan harus memonitor dengan objektif. Karena kebanyakan kasus terjadi lantaran pasien enggan mengungkapnya kepermukaan, saat ini telah tiba masa bagi mereka untuk melaporkan sikap buruk tersebut pada LSM besangkutan agar dapat diambil langkah hukum. Dibutuhkan keberanian lebih dari ODHA untuk mengungkap jati diri mereka atas tindakan tindakan tak menyenangkan yang mereka terima. Bila hal ini dapat mereka lakukan maka lubang dikriminasi dapat ditutup dengan rapat.

Selain itu fungsi pelayanan juga harus dijaga kualitasnya. Berdasarkan SK No.1190/MENKES/2004 mengenai pemberian obat gratis Anti Retroviral (ARV) dan SK No.760/MENKES/SK/VI/2007 mengenai ditunjuknya 237 RS Rujukan bagi ODHA dengan akselerasi program konseling dan testing sukarela, pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dan perawatan, pengobatan serta dukungan (bidansmart.wordpress.com/21/12/09), jangan sampai terdengar lagi keluhan soal minimnya dana pengobatan dimasa depan. Subsidi pengobatan cuma cuma harus ditambah jumlahnya. Apa yang dikampanyekan pemerintah saat pemilu soal kesehatan gratis jangan hanya sekedar menjadi gelembung politik yang terbang kelangit dan tak kembali lagi. Inilah saatnya untuk membuktikan kalau pengobatan gratis itu benar benar bisa dirasakan terutama bagi pasien HIV/AIDS.

Bila pemerintah alpa melaksanakan pelayanan dan gagal mencegah tindakan dikriminatif, maka hal tersebut merupakan suatu pelanggaran kemanusiaan. Nur Kholis, wakil Ketua II Bidang Eksternal KOMNAS HAM menguatkan dengan berkata, "diksriminasi terhadap ODHA dalam mendapatkan layanan kesehatan diindikasikan sebagai pelanggaran HAM." (satudunia.net/24/02/10). Sebagai pihak terdzalimi, pasien dengan bantuan advokasi dari LSM terkait dapat melaporkan tiap tindakan tak menyenangkan pada PBB. Apalagi Indonesia telah meratifikasi konvensi Internasional. Sebagai contoh Konvensi hak-hak sipil dan politik (The International Covenant on Civil and Political Rights-disingkat ICCPR-terdiri dari 53 pasal) yang telah diadaptasi oleh pemerintah Indonesia dengan UUNo.12 Tahun 2005 (satuportal.net/23/03/10). Sudah sepantasknya pemerintah bersikap konsekuen dan siap menerima segala sanksi dari PBB bila mereka lalai melaksanakan undang undang tersebut.

Menggapai Kemengan Monumental
Ditengah ujian yang menimpa mereka orang terinfeksi HIV/AIDS adalah manusia luar biasa. Tidak sepantasnya mereka dijauhi, dikutuk dan dibatasi kesempatannya untuk berkarya dimasyarakat. Pengakuan eksistensi dan mendapat perlakuan manusiawi seperti dicintai, dihargai, dijaga dan dilindungi merupakan sebuah kemengan monumental yang mereka raih ditengah segala tekanan fisik serta psikologis maha berat. Sementara diskriminasi sudah waktunya ditanggalkan oleh mereka yang non ODHA. “live must go on”, kata pemeo lama. Bersama nilai nilai HAM yang dijalankan secara konsekuen oleh pihak pihak yang bersentuhan langsung ataupun tidak dengan ODHA, mereka dapat menjadi manusia dalam arti sesungguhnya.

Komentar

Postingan Populer