ISLAM, PENDIDIKAN DAN PERADABAN

Selaiknya Indonesia dapat menjadi tonggak kebangkitan peradaban Islam. Potensi penduduk Muslim terbesar didunia serta dukungan kekayaan sumberdaya alam yang mumpuni membuat hal tersebut amat rasional untuk diwujudkan. Selain itu makin besar pula kerinduan umat untuk kembali merengkuh kecemerlangan Islam disegala bidang seperti masa kejayaan kaum Muslimin terdahulu. Namun persoalannya kemudian menjadi anti klimaks, karena alih alih berperan sebagai leader dan sumber inspirasi, negeri berjuluk zambrud katulistiwa ini justru menorehkan noda hitam pada perjalanan sejarahnya.

Kebangkitan Tinggal Harapan?
Degradasi moral masih menjadi bahaya laten bangsa kita. Meminjam istilah populer teranyar, pengaruhya dapat ‘berdampak sistemik’ terhadap eksistensi Indonesia secara lokal dan citra baiknya dimata dunia secara global. Demoralisasi yang sudah sampai pada titik paling mengkhwatirkan ini, nampak ditiap lini kehidupan.

Sebagai contoh, ditataran elit oknum birokrat sibuk memperkaya diri. Hal tersebut diamini oleh Adnan Topan Husodo, koordinator Bidang Informasi Publik ICW yang melansir kerugian negara karena korupsi pada 2006 mencapai Rp 10,6 Triliun (detiknews.com/19/7/06). Penggede penggede sekelas Sarjan Tahir, Al Amien Nur Nasution, Yusuf Erwin Faisal dan Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan (Kepulauan Riau) Azirwan yang menjadi tersangka dalam kasus alih fungsi hutan, atau mark up atas pembelian 2 buah helikopter PLC Rostov jenis MI-2 senilai Rp 12,5 miliar yang dilakukan Abdullah Puteh hanya sederet kecil kasus korupsi ditengah tirani ketidak jujuran yang menindas bangsa Ini (id.wikipedia.org/yahya_zaeni).

Sementara pelajar dan mahasiswa yang sejatinya dapat menjadi pembaharu justru melakukan keculasan serupa. Generasi muda kita tumbuh menjadi pribadi pribadi tanpa percaya diri. Hal ini kentara tiap kali ujian tiba. Ketimbang belajar, menyontek menjadi jalan instant untuk lulus tepat waktu. Sedang mahasiswa ‘malas’ dapat menjadi sarjana dengan skripsi abal abal (hasil plagiat atau bukan hasil karyanya sendiri). Didunia maya,terdapat situs yang mengkomersilkan naskah skripsi dengan harga Rp 450.000 dan Thesis Rp 1.750.000 . Pengelola menjual naskah naskah tersebut bak kacang goreng karena sambutan antusias para peminatnya yang datang dari berbagai kota besar diseluruh Indonesia. Terlepas dari etis atau tidak mengkomersilkan karya ilmiah orang lain, hal ini hanya membuat mahasiswa tumpul daya analitisnya, menjadi pencuri ide orisinil dan penjiplak. Tentu belum hilang dalam ingatan kita kasus memalukan, soal guru besar yang memplagiat karya ilmiah hingga ia divakumkan secara tidak hormat dari aktivitas pendidikannya.

Lebih jauh generasi muda kita juga tumbuh tanpa jati diri. Arus globalisasi yang permisif tidak disikapi secara tangkas dan cermat. Jangankan mewarnai, yang ada justru malah terwarnai oleh perubahan zaman. ‘Pembebekan’ masal atas nilai nilai barat membuat mereka jadi konsumtif, royal serta mengedepankan eksistensi ketimbang substansi. Tidak dikatakan gaul kalau belum dugem dan glamoritas yang nampak dari pakaian atau aksesoris serba mahal menjadi tata nilai baru dikalangan anak muda. Bagi anak anak orang kaya, dengan sokongan materi orang tua tentu sangat mudah bagi mereka untuk memuaskan gaya hidup luxnya. Tapi untuk anak anak dengan kondisi ekonomi pas pasan jalan pintas kembali dijadikan pilihan. Kasus 20 siswi SMP Negri Tambora Jakarta Barat yang menjual keperawanan mereka seharga Rp 2-3 Juta, menguatkan sinyalemen kalau generasi muda kita sudah gelap mata terhadap materi, sekaligus menunjukan gejala sangat memrihatinkan. Karena menurut Luh Putu Ika Widani dari ‘LSM Kita Sayang Remaja’, disembilan kota besar yang telah ia teliti, dirinya menemukan angka kehamilan tidak diingkinkan pada remaja meningkat 150-200 ribu kasus per tahun. (bataviase.co.id/09/01/10).

Bila menilik sederet kasus diatas, mustahil kiranya mengharapkan kebangkitan peradaban Islam bangkit dan bermula di Indonesia. Tapi seperti dikatakan pemeo lama, “beter late than never”, kesempatan itu masih terbuka amat lebar kalau ada itikat kuat dari berbagai kalangan. Bukankah Allah tidak akan merubah nasib suatu kamu bila kaum itu tidak merubahnya sendiri?

Mencari Akar Masalah
Koreksi fundamental fardhu’ain hukumnya dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Reformasi pendidikan hendaknya menjadi sasaran utama. Seperti dikatakan oleh budayawan Ajip Rosidi, “Sistem pendidikan nasional di Indonesia masih mewarisi sistem kolonial. Perlu dilakukan perombakan total pada sistem pendidikan nasional agar bisa membentuk watak anak yang mandiri dan kreatif”( hati.unit.itb.ac.id).

Kebobrokan sosial disegala lini selama ini bermuara pada sistem pendidikan salah kaprah. Faktanya sekolah dan kampus hanya menjadi tempat untuk mentrasfer ilmu pengetahuan tanpa dibarengi pesan moral dan kemanusiaan. Peserta didik dicekoki seabrek pelajaran yang membuat mereka cerdas secara intelektual tapi bebal secara sosial. Tak heran bila kemudian muncul intelektual intelektual bermental kolonialistik seperti diungkapkan Ajip, karena mereka sekedar menuhankan kepentingan pribadi diatas pengabdian pada masyarakat. Alih alih menjadi kreatif dan mandiri, Kolusi, korupsi, nepotisme, pembodohan publik, pencucian uang serta segala hal tercela lain menjadi suatu kelaziman umum.

Agama Islam yang harusnya menjadi rem moralpun teralienasi dipinggiran. Sistem pendidikan sekuler tak menghendaki Islam memberi warna bagi para siswa dan mahasiswa. Seperti halnya minyak dan air, keduanya terpisah oleh jarak. Kalau berbicara soal pendidikan agama dilembaga pendidikan formal kita, tak lebih dari hafalan hafalan tahun dan tanggal, mengingat nama nama malaikat dan nabi atau menderasi bacaan shalat diluar kepala. Sedangkan esensi Islam sebagai rahmatan lil alamin serta sifatnya yang tak terpisahkan ditiap sendi kehidupan tak pernah diajarkan secara mendalam. ‘Pendidikan agama sambil lalu’ terbukti tidak memberi dampak real pada kepribadian peserta didik. Generasi muda kita, seperti halnya robot justru makin tumbuh dengan pola pikir monoton, egois, dan rabun nilai nilai karenanya.

Pendidikan Islam Sebagai Solusi
Kedepan langkah langkah progresif musti dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Karena sistem pendidikan formal kita masih bersifat sekuler, ada dua hal fundamental yang dapat dijadikan solusi.
1. Mendirikan Sekolah Dan Kampus Islam Unggulan.
Ditengah menjamurnya sekolah bertaraf internasional sudah waktunya umat Islam mendirikan banyak sekolah serupa. Kebijakan pro umat harus menjadi sumber motivasi terdepan. Indonesia Zakat and Development Report (IZDR) memproyeksikan penghimpunan dana ZISWAF tahun 2010 oleh semua OPZ akan berkisar antara Rp 1,025 triliun hingga Rp 1,395 triliun (hanumisme.wordpress.com/28/12/09).

Bila disalurkan secara produktif, dengan potensi dana semelimpah itu dapat dibayangkan berapa banyak sekolah dan kampus Islam bertaraf Internasional bisa dibangun ditiap kota di Indonesia. Selain kurikulum, pendidik dan iklim yang serba Islami, hal paling penting dari pendirian lembaga lembaga ini adalah tiap siswa dan mahasiswa tidak dipungut biaya sepeserpun. Selain dapat menyerap peserta didik yang cerdas tapi kurang mampu secara finansial untuk bisa meraih pendidikan terbaik, hal ini dapat menepis kesan kalau untuk masuk sekolah atau kampus unggulan harus mengeluarkan budget ‘selangit’, dan Islam bisa menjawab problema tersebut.

Diluar zakat masyarakatpun bisa berpartisipasi ekstra. Misalnya menggalang dana pendidikan sukarela. Koin peduli Prita atau koin cinta Bilqis yang disosialisasikan melalui facebook dapat menjadi contoh. ketika isu kemanusiaan diusung menjadi tema utama, tanpa diminta masyarakat merasa terpanggil untuk membantu meski hanya dengan sekeping koin. Lembaga dakwah kampus atau LSM Islam yang terbukti keamanahan serta komitmen dakwahnya dapat menghimpun dana itu, kemudian sepenuhnya dialokasikan untuk pendidikan.

2. Menyampaikan Nilai Nilai Islam Pada Tiap Mata Pelajaran
Bagi sekolah dan kampus formal yang sistem pendidikannya sekuler, pendidikan Islam bukan hanya menjadi tanggung jawab Guru agama semata. Tiap pengajar dari dimensi ilmu yang beragam memiliki kewajiban serupa untuk menyampaikannya.

Sistem pendidikan di Saudi bisa dijadikan model. Menurut pakar pendidikan Erma Parwita sari, Kalau kita membuka buku sains SD yang menggunakan kurikulum negri kaya minyak itu, sebelum anak anak belajar tentang makan misalnya, mereka lebih dulu disuguhi firmal Allah yang mengingatkan betapa syukur dapat mengundang nikmat lebih besar dan kufur dapat mengundang azab yang pedih (QS. Ibrahim (14): 7). ”Betapa indahnya apabila anak-anak kita tidak hanya belajar tentang jenis-jenis makanan dan manfaatnya, tetapi juga belajar memahami makanan sebagai salah satu syukur nikmat Allah yang wajib kita syukuri.”, Papar Alumni Boston Universtity itu (myquran.com).

Meski tak semirip Saudi tentu hal ini bisa diterapkan juga di Indonesia dengan sedikit modifikasi. Seorang guru ekonomi selain mengajarkan neraca rugi laba, ia juga mengingatkan bahwa mencuri dan berbohong itu itu dosa besar serta para pedagang harus mengutamakan kejujuran ketika mereka berniaga. Seorang guru sosiologi, selain mengajarkan hubungan antar manusia, ia juga mededahkan hal kalau hijab antara laki laki dan perempuan hendaknya dijaga dan keperawanan adalah segalanya bagi tiap siswi. Seorang dosen planologi, selain mengajarkan bagaimana caranya menata kota dengan cakap, juga memberitahu para mahasiswa kalau penggusuran serta penyerobotan lahan adalah pealnggaran kemanusiaan dan setiap warga negara berhak diperlakukan dengan adil seperti termaktub dalam Al qur’an dan Sunah. Dan begitu seterusnya pada setiap latar belakang pendidikan.

Karenanya dibutuhkan para pengajar yang insyaf terhadap nilai nilai kaislaman. Mengajar bukan hanya untuk mentrasfer ilmu tapi juga berdakwah. Unsur materi tentu tidak dapat dielakan dari kegiatan pendidikan seorang pengajar, namun hal itu tidak mengalahkan idealismenya untuk menyampaikan hal penting bahwa Islam mencakup segala semdi kehidupan dan bila segala sesuatu diuar ibadah ritual dibarengi niat untuk mendapat keridhoan Allah, hal tersebut dapat medatangkan keutaan bagi para siswa dan mahasiswa.

Tonggak Awal Peradaban
Jhon W Newbern mengatakan, manusia dapat dibagi dalam tiga kategori, pertama, mereka yang membuat sesuatu terjadi. kedua, mereka yang melihat sesuatu terjadi. ketiga, mereka yang terkesima dengan apa yang terjadi. Dengan memaksimalkan potensi sekolah dan kampus Islam unggulan serta pendidikan Islam disekolah formal hal tersebut membuka harapan untuk mewujudkan cita cita kita diawal untuk menjadikan Indonesia sebagai tonggak kebangkitan Peradaban Islam didunia.

Hal tersebut menjadi sangat niscaya karena pendidikan menjadi pilar utamanya. Kelak kemudian hari, Istana Qazruzzabad nan agung tidak lagi muncul di Baghdad, istana megah Al Hambra tidak lagi muncul di Cordoba, Kerajaan Mulukuththawaif nan elok permai tidak lagi muncul di Sevilla, kota Sammara nan cantik dan apik tidak lagi muncul di sebelah timur sungai Tigris. Karena semuanya, beserta segenap ilmuwan, cendikiawan dan sumber pengetahuan paling mutakhir disegala bidang, berhimpun dan bermuara di Indonesia. Insya Allah.

Komentar

Anonim mengatakan…
Peradaban Islam akan bangkit kembali.

Postingan Populer