CATATAN SEORANG MAHASISWA TUA

saya jadi ingat kata katanya Hok Gie kalau sejarah manusia adalah sejarah pengkhianatan. Apakah tanpanya sejarah tak akan lahir? Kebenaran hanya ada dilangit dan dunia adalah palsu. Palsu.

Sebentar lagi saya lulus kuliah, sebentar lagi saya bukan mahasiswa. Tinggal menulis tugas akhir, ujian sidang dan lulus. Rasanya baru kemarin saya mengijak kampus dan sekarang segalanya akan berakhir. Masih kata hok Gie lagi, semua kembali pada hari yang biasa, pada masa yang telah kita ketahui. Nanti tidak akan ada lagi kuliah, diktat diktat dan ujian. segalanya berakhir dan saya akan menjalani hidup sebagai orang yang biasa.

Tapi pengalaman kemarin dapat menjadi tapal batas paling maksimal atas nilai nilai yang telah diperjuangkan. Karena perkara kuliah bukan Cuma perkara belajar saja tapi juga perkara moralitas. Menjelang lulus masih banyak benar bajingan bajingan tengik tukang menyontek, mahasiswa mahasiswa penjilat dan tukang cari muka berkeliaran di kampus. Dan sialnya mereka menjadi pemimpim pemimpin mahasiswa. saya terang terangan melihat ketika ujian presiden mahasiswa menyontek dikelas diikuti oleh mahasiswa lain yang juga melakukan hal serupa. Seorang pengwas yang ‘baik hati’ mengijinkan kami membuka buku (padalah dilarang) karena mahasiswa mahasiswa yang diawasi terlihat kebingungan mengahdapi soal ujian. Tapi demi tuhan kawan, langit dan bumi menjadi saksi dan apa yang saya katakan akan dipertanggung jawabkan kelak dihadapan Allah, saya tak lantas ikut ikutan membebek menyontek. Saya tak selembarpun membuka buku waktu itu.

Ada juga kejadian waktu saya dan kawan dekat saya mau dipukuli oleh panitia ospek. Luar biasa kawan mungkin jumlahnya sepuluh sampai lima belas orang. Pasalnya waktu itu kami bersama kesatuan aksi menyebarkan buletin ilegal, atau bisa disebut gelap. Didalamnnya terdapat konsepsi kami soal ospek. Bagi kami ospek tak melulu musti harus betendensi feodalistik dan menindas. Hal paling esensial adalah melakukan kaderisasi. Uang hanya akan mubazir bila dibelikan barang barang remeh temen seperti karton, tas kantong terigu, pita, balon dan lain lain. Pelatihan motivasi dan kepribadian jauh labih pas untuk disampaikan pada mahasiswa baru ketimbang bentakan.

Apa yang saya alami dengan Dhiora adalah terror, intimidasi, kekerasan psikologis waktu itu. Kami tidak merasa dielilingi oleh kumpulan mahasiswa tapi bandit. Dikatakan bandit karena sudah jumlahnya banyak mereka bicara kasar dan sarkas. Untunglah kami bisa keluar dengan elegan dari kondisi serba menjepit macam itu. Lebih jau soal Dhiora, dia sering benar dimaki makidi facebooknya. Tak terhitung kawan banya benar hinaan yang haru di dapat karena selama kuliah bersikap objektif. Tapi Kawan tionghoa saya ini tetap bergeming dan bertahan pada nilai nilai kebenaran yang dia pegang.

Pernah suatu waktu ada dua orang bernama Doni dan Roni memaki maki dhiora difacebook. Bosan lantaran makian mereka, secara terang terangan saya tantang mereka untuk berdebat secara elegan diruang public. Saya tantang mereka bicara langsung di Radio Rapublik Indonesia dan disaksikan oleh elemen elemen gerakan mahasiswa sebandung raya. Setelah itu mereka hilang. Tak pernah muncul lagi.

Soal kuliah adalah soal moralitas kawan, tak mestilah orang yang IPKnya tinggi itu dalah seorang intelektual sejati. Karena bisa jadi dia sekedar seorang bajingan tengik yang menghalakan segala cara untuk mendapat nilai baik. Efeknya tentu saja pada kualitas lulusan. Meeka yang lulus belum tentu kompeten. Dan masyarakat tak mengenal kata ampun dalam berkompetesi. Lingkungan yang lebih real menuntut kompetensi bukan selembar ijazah yang sarat dengan nilai nilai palsu.

Dalam hal berkawan, mereka yang setia adalah mereka yang ada ketika kita menangis bukan Cuma tertawa. Dan hal itu saya dapat dari Sari yang nyentrik, Tyo yang totaliter, Dhiora yang amuk amukan atau arul dan wildan yang pendamai. Perahabatan tidak lagi ditakar dengan materi tapi loyalitas, maka kami lebih berhubungan lebih dekat dari saudara sekalipun. Pernah suatu kali saya tak punya uang untuk bayar kuliah, pikiran saya kalut sekali. Padahal semester baru sementar lagi akan dimulai. Lalu dhiora lah yang menalangi kekurangan uang kuliah saya. sarilah yang menjari saya betapa pahit rasa penghkianatan. tyo mengajarkan saya soal loyalitas.

Selebihnya diluar kuliah saya lebih banyak gila gilaan dengan kawan kawan saya ini, main keluyuran sampai subuh, nonton ke Bioskop, makan makan di Punclut, karaoke atau Cuma duduk dibukit bintang. Bermain adalah pelarian dari lingkungan yang naïf. Bermain adalah wahana melepaskan diri dari masalah yang bertumpuk tumpuk.

Setelah lulus nanti saya tak muluk bermimpi. Saya tak terlalu ngebet ingin jadi orang kaya, saya Cuma ingin menjadi berguna saja buat lingkungan. Seperti waktu kuliah, saya ingin kembali merumuskan konsepsi yang tepat guna buat masyarakat. Saya bermimpi membuka sekolah, pengobatan dan pendidikan Cuma Cuma. Saya bermimpi ingin membantu banyak orang tanpa dibarengi embel embel materi. Berbuat tak musti pula bergabung dalam partai. Karena sebgian orang partai juga bajingan. Saya mungkin akan menjadi guru, penggiat LSM aekaligus jadi penulis buku. Saya mungkin akan mengajak kawan kawan saya waktu kuliah untuk ikut berjuang. Tapi kalaupun toh saya harus berjuang sendiri, saya akan berjuang sendiri saja. Tak jadi soal lah masalah jumlah karena hal paling penting adalah kita suda mulai merumuskan konsepsi dan mulai bergerak.

Komentar

Yesi Moci mengatakan…
Semoga cita-cita mulia-mu terwujud semua, kawan!

Keep spirit...
Keep Istiqomah...
Keep writing....

Postingan Populer