Mahasiswa Dalam Prespektif Kearifan Lokal Masyarakat Sunda
Esai Ini menjadi pemenang pertama dalam lomba menulis esai se Indonesia, yng diselenggarakan oleh UKM Belistra FKIP Universitas Tirtayasa Banten pada 2010
Oleh Suguh Kurniawan
Hura hura Ala Mahasiswa
Mahasiswa (tanpa bermaksud mengenaralisir) nyatanya telah terjebak pada pandangan sempit. Bahwa kuliah dimaknai tak lebih dari rutinitas keseharian biasa yang hanya berkutat pada buku dan diktat. Sementara aspek sosial kemasyarakatan amat jarang dijadikan topik pembicaraan apalagi didebatkan untuk dicari solusinya. Pembelaan terhadap masalah masalah HAM, dimana rakyat kebanyakan selalu jadi pesakitanpun terlupakan atau lebih tepat diam diam dilupakan. Hal ini terjadi karena para hamasiswanya sibuk untuk menjadi yang terbaik secara akademik, berambisi lulus tepat waktu kemudian bekerja ditempat nyaman dan terjamin. Sepintas tak ada yang salah pada cara pandangan tersebut. Namun bila mengkajinya lebih dalam, hal ini menjadi preseden buruk. Sebab para mahasiwa hanya melaksanakan aspek pendidikan dan penelitian dengan melupakan aspek pengabdian. Kontra produktif bila membandingkannya dengan mahasiswa terdahulu yang begitu giat menggemakan isu isu kerakyatan.
Kemudian, alangkah naif pula bila Mahasiswa yang selama ini dianggap sebagai pembela HAM justru malah mengkhianatinya. Apa pasal? Ketika 32,5 juta rakyat di Indonesia berjuang sekuat tenaga untuk keluar dari zona kemiskinan, ternyata ada (oknum) mahasiswa yang justru bersikap tak acuh. Meski tak tertulis dan terucap, sikap emang gua pikirin yang ditunjukan para mahasiswa amat kentara. Alih alih merumuskan formula atas suatu kasus kemanusiaan, mereka sibuk memenuhi desakan libido hura huranya. Riset Gilang Desti Parahita penulis buku Tuhan di Dunia Gemerlapku mengatakan lebih dari 70 % mahasiswa Indonesia doyan dugem. “Dalam penelitian itu, saya menemukan tiga tipe mahasiswa yang ada di tempat dugem. Pertama, mahasiswa yang dugem karena coba-coba, kedua karena telah terbiasa dan ketiga karena prestise. Dan, 70 persen dari mereka karena terbiasa dan prestise”,tandasnya. Selain itu pergaulan bebas yang lepas kendali menyebabkan munculnya efek domino. Pada 2008 telah beredar lebih dari 500 video porno buatan Indonesia dimasyarakat, baik dalam bentuk VCD, DVD maupun beredar dari ponsel ke ponsel. Yang mengagetkan pelaku adegan adegan syur itu adalah mahasiswa dan pelajar. Hal tersebut disusul dengan meningkatnya kematian wanita hamil karena belum memasuki usia matang dan tindakan aborsi sementara pasangan pria mereka tak mau bertanggung jawab.
Apabila kita menilik fakta fakta tadi dari aspek sosiologis, tak bisa dimungkiri proses globalisasi yang tak tangkas disikapi oleh para mahasiswa telah menyebabkan blunder. Ibnu Khaldun menggariskan, bila peradaban pemenang akan menghegemoni peradapan pecundang. Saat ini barat sedang menjejalkan sampah peradabannya ke timur. Ibarat pestisida, racun westoksinasi disemprotkan secara membabi buta melalui media mainstream seperti internet, Tv Radio, koran dan majalah. Lalu dengan latah para mahasiswa kita ‘membebekan diri’ tanpa lebih dulu menyaringnya dengan nalar yang jernih. Karena itu pergaulan serba boleh (hedonisme), hura hura dan free sex dianggap sebagai suatu hal yang keren kendati bertentangan dengan norma agama dan sosial.
Sedangkan secara politis, walau sudah tumbang lebih dari dua belas tahun lalu, tak bisa disanggah bila orde baru mewariskan tatanan birokrasi yang mapan. Proses NKK/BKK pasca huru hara Malari ternyata masih terasa dampaknya hingga saat ini. Alienasi kampus dari kegiatan politik dilakukan dengan cara cara represif. Sosiolog Ignas Kleden dalam paparanya menyebut, “setiap Insiden politik sebelum ini selalu dihadapi dengan rumus yang sama: tangkap pemimpin gerakan dengan poros Bandung-Jakarta-Jogja, ancam rektornya atau beri dia janji promosi, lalu api itu segera padam.” Ketika rezim berganti pada 1998 tak serta merta merubah iklim kebebasan bereskpresi mahasiswa diseluruh kampus ditaha air. Dalam sebuah kesempatan saya pernah bertanya pada seorang teman satu kampus, kenapa dia tidak melakukan aksi saat Gaza diserang Israel. Dia menjawab, takut dikeluarkan kuliah bila melakukan hal tersebut. Bayang bayang Pengekangan dan pengkooptasian itu bagi sebagian birokrat kampus dan para mahasiswanya masih membayangi, hingga mereka cenderung apatis bila diajak ‘bergerak’.
Melihat fakta fakta diatas, langkah progresif musti dilakukan oleh mahasiswa. Meminjam ungkapan Aktifis Mahasiswa angkatan 66 Soe Hoek Gie, terdapat beban moral yang harus mereka tanggung sebagai entitas the happy selected view, yang beruntung bisa kulias saat jutaan pemuda Indonesia tak mendapatkan kesempatan serupa. Melahirkan mahasiswa mahasiswa berkepribadian ideal merupakan suatu tuntutan. Sedangkan idealisme sendiri, tak serta merta jatuh dari langit namun hanya muncul bila mereka berani menilai diri secara obketif dan melakukan perbaikan personal.
Merenung adalalah pilihan bijak sebagai langkah awal. Dalam prespektif masyarakat Sunda renungan difilosofikan dengan ungkapan “indit kudu bari cicing, lumampah ulah ngalengkah.” (berangkat harus dengan diam, berangkat jangan melangkah). Suatu pemahaman yang sejatinya hanya dijalani oleh para petapa. Namun pada ranah kekinian, hal tersebut dapat ditafsirkan sebagai ajakan pada kita untuk menarik diri sejenak dari hiruk pikuk kehidupan, berpikir dan kontemplasi, melakukan introspeksi lalu merumuskan perubahan.
Kembali Pada Kearifan Lokal
Kalau apatisme selama ini diumpamakan dengan air, maka ia adalah air yang terdapat pada sebuah danau. Bila terlalu lama menggenang dapat membuatnya busuk dan berbau. Guna menyikapinya perlu dibuka penggalang yang telah menyumbat aliran agar genangan dapat bergerak secara lancar. Banyak rumusan dan teori untuk kembali menggiatkan aktifisme Mahasiswa, namun akan lebih bijak bila kita menilik nilai nilai kearifan lokal yang tak kalah canggih dengan metode stensilan barat.
Jauh jauh hari sebelum Nietzsche mendedahkan konsep kemanusiaan dalam wacana human to all human, kearifan lokal masyarakat Sunda berkata bila seorang intelektual musti bisa meresapi ungkapan, “Mun aya angin bula-bali, ulah muntang kana kiara, muntang mah ka sadagori.” Artinya kalau ada angin puting-beliung jangan berpegang pada pohon beringin, tetapi pada rumput sadagori. Rumput sadagori adalah sejenis tanaman kecil yang berakar sangat kuat. Bila ditafsirkan, ungkapan tersebut memiliki makna bila rakyat menghadapi masalah baik itu dalam hal sosial, politik, kesejahteraan, kemiskinan dan lain lain sampaikanlah pada mahasiswa untuk mencari solusinya. Mahasiswa dianggap dapat menjadi sandaran karena merekalah yang memiliki kapabilitas dan kapasistan keilmuan untuk menjawab tantangan yang berkembang. Sejarahpun menggariskan, kalau kaum muda merupakan representasi atas aspirasi rakyat yang mereka waliki. Baik itu berupa parlemen jalanan atau melakukan tekanan tekanan politis pada pemerintah incumbent, gerakan mereka terbukti ampuh dalam menumbangkan sistem pemerintahan dan rezim yang terbukti telah bobrok lalu menggantinya dengan rezim baru. Meski datang dengan memakai baju ideologi, latar belakang kampus, asal usul serta agama berbeda beda, namun mahasiswa dapat bersatu bila sudah menginjak ranah yang sifatnya universal, yakni mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Sedangkan mahasiswa, dalam menanggapi masalah kerakyatan musti pula memahami ungkapan, “Ka cai kudu saleuwi, ka darat kudu salogak.” Artinya kesungai jadi satu lubuk, kedarat jadi satu lembah. Mahasiswa harus memiliki kecerdasan dalam berinteraksi dengan rakyat. Dalam istilah politisi Budiman Sudjatmiko disebut dengan membaca lingkungan. Mereka terjun langsung kelapangangan, memetakan masalah lalu mencari solusinya. Jurang antara kaum terdidik dan tak terdidik serta merta hilang lantaran mahasiswa dengan segala kerendahan hati menanggalkan gap intelektualitasnya. Mereka tak merasa menggurui dan rakyat juga tak merasa didikte karena kedua belah pihak sama sama memegang prinsip “Hirup mah ulah paluhur-luhur tangtung, ulah pagede-gede gawe”. (Jangan berlomba-lomba mengejar kedudukan, jangan berebut dalam pekerjaan). Hal paling penting adalah terciptanya sinergi saling menguntungkan. Mahasiswa dapat melaksanan fungsi fungsi sosialnya, sedangkan rakyat dapat terentaskan masalah masalah yang selama ini mereka hadapi.
Guna membentuk karakter Mahasiswa yang tangguh dan siap mengabdi, ajaran sunda buhun mengatakan seseorang harus memenuhi tiga aspek fundamental dalam dirinya,
1. Luhung Elmuna (Tinggi Ilmunya)
Mahasiswa musti menjadi pribadi yang berkualitas secara intelektual. Menjadi ahli dibidang yang digeluti, merupakan suatu tuntutan sekaligus kewajiban karena tugas seorang mahasiswa adalah belajar dan menunjukan rasa tanggung jawab yang amat besar kepada orang tua yang telah membiayai kuliah. Menjadi man on the class merupakan manifestasi perjuangan seorang intlektual yang sedang menuntut ilmu.
Sedang filosofi menuntut ilmu sendiri adalah journey bukan race. Mereka yang memaknainya sebagai race akan terjebak untuk menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Sebagai contoh menyontek menjadi suatu kelaziman umum, memplagiat tugas akhir tak lagi merasa berdosa dan menyuap dianggap sebagai suatu hl lumrah. Tujuannya tak lain agar dirinya lulus tepat waktu meski penuh ‘cacat moral’ disana sini. Tentu hal ini dapat mencederai dunia pendidikan tinggi tanah air karena persaingan intlektual mahasiswa baik dikelas ataupun saat ujiang sudah tak lagi fair.
Namun mereka yang memaknainya sebagai journey, lebih mengutamakan proses. Beranjak setahap demi setahap menapaki tangga pengetahuan, kadang mengalami pula kesulitan. Namun hal tersebut dianggap sebagai tantangan yang akan mematangkan pribadi dan skill mereka secara personal dimasa depan.
Bila mahasiswa yang memaknai menuntut ilmu sebagai race cenderung bersikap egois dengan mengutamakan kepentingan diri sendiri, mahasiswa pada kelompok kedua ini memiliki niatan kuat kalau pengetahuan yang dipelajari dikampus kelak dapat diaplikasikan secara langsung dimasyarakat. Kemampuannya teu diheungheum sorangan (tak disimpan sendiri) tapi “Pakena gawe rahayu pakeeun heubeul jaya di buana. Pakena kreta bener pakeeun nanjeur di juritan” (Pekerjaannya menyejahterakan rakyat, agar ia lama berjaya. Pekerjaannya memakmurkan negeri agar unggul dalam perang atau perjuangan).
2. Pengkuh Agamana (Kokoh Agamanya)
Dalam paradigma Sunda buhun (kuno), manusia merupakan bagian dari seke seler (sub sistem) alam semesta. Karenanya ia mengikuti aturan kesemestaan. Semua benda termasuk manusia dibalik penampakan fisik materialnya meyakini terdapat kekuatan metafisik. Ialah yang disebut dengan Sanghyang tunggal (Tuhan Yang Esa) sebagai sembahan. Konsep Tapa dinagara (Bertapa ditengah kehidupan sehari hari)pun diterapkan. Orang sunda buhun berpandangan bahwa ibadah bukan hanya saat melakukan ritus religis saja namun pada setiap aspek kehidupan merupakan bagian dari pertapaan (peribadatan) agar kelak mereka layak berhadapan dengan sang pencipta.
Konsep ini paralel dengan ajaran agama dalam prespetif kontemporer. Diharapkan nilai nilai agama dapat memberi dampak nyata dalam keseharian. Dimensi pahala dan dosa memberi rambu sebelum suatu tindakan diambil oleh seseorang . Dengan nilai nilai agama pula, mahasiswa dapat menyadari esensi penting pendidikan, bahwa menjadi pintar saja tak cukup, bila belum bisa bertindak benar. kepintaran yang tak dibarengi kebenaran selain berpotensi mendatangkan bala dari ‘Sang Hyang Tunggal’, juga dapat merusak sendi sendi sosial pada masyarakat. Tingkat korupsi yang terus melonjak dan bobroknya birokrasi merupakan contoh kecil dari nilai nilai keagamaan yang tak sepenuhnya teraplikasi dalam kehidupan. faktanya memang tak ada manusia yang benar benar terbebas dari dosa. Namun mereka yang mampu meredusi keburukan dengan kebaikan dalam naungan agamalah yang akan selamat.
3. Jembar budayana (Lestari Budayanya)
Artinya seorang mahasiswa, kendati hidup pada era global jangan sampai melupakan nilai nilai kebuhunan yang luhur. Karena nilai nilai inilah yang amat potensial untuk memfilter dampak buruk ‘westoksinasi’ ala barat seperti disampaikan diatas. Ajarannya amat sederhana namun memiliki kedalaman makna amat luar biasa. Misalnya ketika pengaruh barat mengajarkan hidup individualistik, ajaran buhun justru mengajarkan kita untuk bersikap Someah hade ka semah (Ramah kepada tamu), Hade ku omong, goreng ku omong (Segala hal sebaiknya dibicarakan). Ketika pengaruh barat cenderung merentas batas batas kesopanan, konsep buhun mengajarkan kita untuk selalu bersikap handap asor (sopan santun) dengan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat melalui “Undur katingali punduk datang katingali tarang (Pergi tampak tengkuk, datang tampak pelipis, yakni bahwa perilaku kita sebagai anggota komunitas harus diketahui oleh anggota komunitas lain), ketika pembanguan ala barat membabi buta hingga merusak ekosistem, konsep sunda buhun mengajarkan, “Leuweung kaian, gawir awian, legok balongan ” (Hutan tanami kayu, tebing tanami bambu, palung jadikan kolam).
Namun dengan melakukan hal demikian bukan berarti mahasiswa mengisolasi diri dari kebudayaan luar. Nilai nilai yang datang dari luar tak sepenuhnya pula bersifat negatif. Karena dari barat mahasiswa dapat belajar mengenai disiplin, etos kerja, ketepatan waktu, dedikasi dan pengorbanan, pengembangan IPTEK dan lain sebagainnya. Berbaur tapi tak lebur, belajar dengan segala kerendahan hati pada siapapun dengan tak melupakan purwa daksina (asal usul) merupakan kunci bagi kita untuk mengejar ketertinggalan dan bersaing dengan bangsa bangasa lain pada tataran global.
Ngigelkeun Jaman
Dengan menerapkan nilai nilai kearifan lokal dalam kehidupan, mahasiswa dapat mengenal diri dan lingkungannya. Mereka tak lagi kurung batokeun (dalam pribahasa Bahasa Indonesia istilah ini setara dengan ungkapan: seperti katak dalam tempurung) karena kearifan lokal menggariskan agar mahasiswa dapat berguna bagi diri dan lingkungan. Kegiatan aktifisme niscaya dapat bergairah kembali, karena mereka tergerak untuk turun kelapangan, memformulasi masalah, berdiskusi dan memecahkannya. Pembelaan terhadap hajat rakyat banyak, bukan lagi angan angan tapi dapat menjadi kenyataan karena mereka bersinergi dan mulai bergerak.
Hirup ngan sakali (hidup hanya sekali), maka inilah kesempatan terbaik bagi seluruh mahasiswa untuk ngigelkeun jaman (menggerakan zaman) bukannya diigelkeun jaman (digerakan zaman). Perubahan tak jatuh begitu saja dari langit namun harus ada yang berani memulainnya. Para pioneer mutlak dibutuhkan oleh bangsa yang sedang dirundung masalah. Ketimbang menunggu kehadiran sang pioneer, sudah saatnya para mahasiswa menjadi avantgarde untuk kembali melaksanakan tugas tugas intelektul dan sosialnya. Mereka musti bersiaga menyambut segala kemungkinan, mederas segala tantangan. Setiap kita, harus segera caringcing pageuh kancing, saringset pageuh iket (setara dengan ungkapan: menyingsingkan lengan baju) bila menghendaki pilar perguruan tinggi yang telah pincang itu, dapat berdiri dengan ajek kembali. Sampurasun.
Daftar Pustaka
1. Al-Malaky,Ekky.2003.Remaja Doyan Filsafat? Why Not.Bandung.Penerbit DAR, Mizan
2. Koespardono, Gantyo, KICK ANDY, Kumpulan Kisah Inspiratif, Bandung. Mizan Media Utama
3. Fadhly, Fahrus Zaman, MAHASISWA MENGGUGAT: Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, Bandung. Pustaka Hidayah
4. http://www.facebook.com/note.php?note_id=86528033415
5. http://jendelapemikiran.wordpress.com/2008/05/12/bercermin-pada-kearifan-lokal/
6. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&dn=20070127193606
7. http://pangasuhbumi.com/article/20582/pemulihan-lingkungan-dengan-kearifan-lokal.html
8. http://suguh-kurniawan.blogspot.com/kemahasiswaan
9. http://www.opensubscriber.com/message/urangsunda@yahoogroups.com/11902024.html
Komentar