Wayang Dan Etika Kepemimpinannya

Esai ini menjadi pemenang pertama dalam lomba menulis Esai tingkat Nasional dalam kategori mahasiswa yang diselenggarakan oleh Kementrian Pemuda dan Olah Raga yang bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena Pusat Pada 28 Oktober 2010.
Ironi Kepemimpinan Nasional
Idealisasi kepemimpinan nasional menjadi suatu tuntutan. Wacana perubahan sudah semustinya tak hanya berada pada ranah retorika dan pencitraan, namun harus bergulir pada tindakan nyata. Apalagi ditengah krisis yang masih menjadi musuh laten bangsa ini. Tiap pemimpin dituntut pandai pandai memosisikan diri. Karena mereka sejatinya adalah representasi dari rakyat Indonesia yang sedang gamang didera kemiskinan. Legitimasi dan kepercayaan kemudian menjadi semacam bonus, karena hal paling esensial adalah berjalannya roda kepemimpinan yang manjur untuk ‘menyehatkan’ kembali bangsa yang sedang ‘sakit’. Namun sejatinya kini, ibarat pepatah lama berdedah, “buruk rupa cermin dibelah”. Harapan tak melulu paralel dengan kenyataan. Sikap egalitarian elit seperti makan nasi aking, keliling pasar tradisional atau kunjungan ke tempat pembuangan sampah hanya marak ketika kampanye. Setelah itu semua kebiasaan tersebut raib. Kita menyaksikan kebiasaan baru dimana antara pemimpin dan rakyat seperti minyak dan air. Ketika dibawah rakyat memanut penuh monoloyal, diatas para pemimpin justru bertingkah monoroyal. Belum kering berita soal mobil dinas mewah jajaran kabinet Indonesia Bersatu jilid II dan rencana ambisius membangun degung DPR baru yang menyulut kontroversi luas itu. Hal yang amat ironis sekaligus memrihatinkan. Dikatakan memrihatinkan lantaran diatas gelimang kemewahan, masih terdapat 8,89 juta orang menganggur pada 2010. Selain itu masih terdapat pula 11,7 juta siswa putus sekolah pada 2009. Tentu hal ini menjadi preseden buruk. Bila terlalu lama didiamkan berpotensi menurunkan popularitas dan legitimasi pada pemimpin bersangkutan. Reaksi rakyat yang terlanjur kecewa pada sebuah rezim, berpotensi menimbulkan chaos. Huru hara 12 Mei 1998 dapat dijadikan pelajaran betapa kekuasaan yang sudah tak legitimated akhirnya harus tumbang. Karena itu cara cara solutif tanpa kekerasan sudah selaiknya ditempuh sebagai ikhtiar mencari jalan keluar. Diharapkan potensi pertumpahan darah antar anak bangsa dapat diredusi. Jangan sampai ‘ijtihad’ kita menyesaikan masalah ternyata menimbulkan masalah baru. “Cai na herang lauk na beunang” (airnya terang ikannya dapat), ujar ungkapan Sunda lawas. Wayang Dan Kearifannya Selanjutnya, kembali pada nilai nilai kearifan yang datang dari budaya bangsa patut mendapat porsi lebih. Karena nilai nilai tersebut selain membuat kita tak lupa pada purwadaksina (asal usul), ajaran yang dikandungnyapun tak kalah canggih dengan sejumlah pemikiran ‘stensilan’ barat. Wayang dalam hal ini bisa kita jadikan bahan pembelajaran. Menurut akademisi Universitas Indonesia Darmoko, wayang memiliki nilai moral serta seni yang akan selalu mendominasi dalam setiap ceritanya. Hal itu diamini pula oleh pengamat kebudayaan Dr. A Ciptoprawiro, bila kesenian yang telah ditetapkan sebagai "A Masterpiece of The Oral and Intangible Heritage of Humanity" oleh Unesco ini dianggap sebagai pagelaran kesenian yang menyajikan banyak nilai sebagai tuntunan (etika) dan tontonan (estetika). Sebelum tokoh tokoh barat macam Abraham Zalzenik, John P. Kotter, James M. Kauzes, Barry Z. Posner atau Burt Nanus merumuskan teori kepemimpinan versi mereka masing masing, nilai nilai kearifan wayang sudah mendedahkan perkara bila sebaik baik pemimpin adalah ia yang dapat meresapi hakikat Purwa Sajati. Inilah tipe kepemimpinan yang bersifat amanah dan terpercaya. Didalamnya terkandung ajaran sepi hing pamrih rame hing gawe. Dalam prespektif pewayangan Jabatan dimaknai sebagai suatu pengabdian bukan untuk menumpuk numpuk kekayaan seperti tejadi sekarang. Dengan merenungi intisarinya seseorang dapat menjadi sosok yang selamat secara personal hingga terbebas dari cela dan dosa politik serta menyelamatkan karena fungsi fungsi kepemimpinanya bisa dirasakan langsung oleh lingkungan. Hal tersebut tercermin dari sifat Kresna misalnya. Dibidang politik karirnya amat cemerlang bukan karena faktor pencitraan namun sifatnya yang bijaksana. Meski berdarah, berkulit dan berdaging hitam, tapi ia adalah sosok yang amat disegani. Ucapan ucapannya amat inspiratif hingga setelah pulang berkonsultasi darinya, para relasi Kresna merasa bersemangat kembali menjalani hidup. Selain itu terdapat Sri Rama dan Arjuna yang tak hanya penampilanya saja yang rapi, tapi juam mereka penuh dengan senyum, bertutur bahasa halus, bertingkah laku terukur dan tampak tak berminat membuat orang susah terhadap siapapun serta selalu mengedepankan kebenaran dan keadilan. Atau pada ‘bab lain’ kita bisa belajar dari Abiasa. pada waktu menjadi penguasa di negeri Astina ia selalu mencintai dan memberi perhatian kepada rakyatnya, memiliki kepribadian kuat, konsisten, visioner dan integritas tinggi hingga ia dicintai dan dipercaya oleh pengikutnya. Guna mewujudkan suksesi kepemimpinan ideal, dalam pewayangan terdapat tiga syarat yang sifatnya simbolik sekaligus mengandung kedalaman makna dan pesan moral. Ketiga syarat itu ialah, 1. Nembus Bumi (Bisa menembus Bumi) Dalam prespektif nembus bumi, seorang pemimpin musti bisa menyelaraskan standar hidupnya dengan standar kebanyakan rakyat. Kalau kemiskinan itu menyebalkan ia lebih memilih hidup sederhana daripada bermewah mewah. Hal ini dapat kita simak dalam dedahan ki dalang yang sering diucapkan pada saat pertunjukan, “Gedong sigrong moal digandong, Sawah lega moal dibawa, Pamajikan geulis moal diais, Salaki ginding moal dijinjing (Gedung (rumah) mewah tidak akan digendong (dibelakang), Sawah luas tidak akan dibawa, Istri cantik tidak akan digendong (didepan), Suami gagah tidak akan dijinjing). Dalam konteks kekinian kita dapat belajar dari Presiden Iran Mahmmoud Ahmadinejad. Meski menduduki posisi Iran satu, sosok Ahmadinejad jauh dari kesan glamor. Ia tinggal dipemukiman padat penduduk di Teheran dan menolak segala macam kemewahan. Pernah suatu ketika listrik mati di Iran, sejumlah pegawai membawakan mesin pemanas untuknya. Tapi simaklah apa yang dikatakan anak pandai besi ini, “kalau rakyatku dan mustadh’afin menggigil, mengapa pula aku harus bersenang senang dengan mesin pemanas ini.”. Tat Twam asi (aku adalah kamu) ujar Mahatma Ghandi, dan karenanya legitimasi dari rakyat makin tebal pada seorang pemimpin karena mereka melihat diri mereka pada diri pemimpinya. 2. Napak Sancang (berdiri diatas air) Pluralisme adalah fitrah yang tak dapat disanggah bagi bangsa multi enitnis, agama dan budaya seperti Indonesia. Keberagaman membuatnya makin kaya dengan potensi dan sumber daya. Namum faktanya kerap perbedaan menjadi pasal penyulut konflik. Tragedi Ambon, Poso atau Sampit dapat dijadikan bahan renungan, dimana clash antar agama dan suku berakhir dengan huru hara serta banjir darah. Dalam hal ini seorang pemimpin harus bisa ‘napak sancang’ dalam arti dapat berdiri diatas semua golongan. Kehadirannya adalah perwujudan dari bangsa yang memiliki keragaman latar belakang dan asal usul namun tetap dapat tampil utuh dihadapan bangsa bangsa lain. Ia memiliki kelihaian untuk meredam konflik dengan memeberikan cara pandang pada rakyatnya bila kepentingan bersama lebih utama dari kepentingan golongan. Serta roda pembangunan tak dapat berputar oleh satu elemen bangsa saja tapi semua memiliki tanggung jawab untuk bergerak. Dalam prespektifnya, pertikaian hanya akan mebuat progres pembangunan mundur. Kesejahteraan rakyat bisa makin buruk karena kondisi keamanan yang tak kondusif untuk menjalanan kegiatan ekonomi dengan aman. Persaudaraan, perdamaian dan sinergi antar hendaknya dapat dikampanyekan oleh seorang pemimpin, tak musti hanya pada pemilu saja tapi sifatnya prefentif jauh sebelum benih benih konflik baru muncul. Selain itu tiap elemen bangsa musti insyaf pula dari mempermasalkan hal remeh temen dan memilih rekonsiliasi untuk menyelesaikannya. 3. Bisa Ngapung (Bisa Terbang) Ketika Bima merentas laut untuk mencari Tirta Amerta (Air Kehidupan) di samudra selatan ia mengalami cobaan maha dahsyat. Selain harus menerjang gelombang yang sedang bergejolak, Bimapun harus bertarung melawan seekor naga raksasa bernama Nembur Nawa. Nyawanya dipertaruhkan dalam suatu pertarungan. Atas keteguhan hati dan tekatnya pertarungan itu berakhir dengan tewasnya sang naga. Sementara Bima meski telah kepayahan dapat melanjutkan perjalan untuk meraih tujuannya. Kisah singkat Bima diatas bisa kita terjemahkan dalam dua dimenasi. Satu, seperti Bima pemimpin harus harus memiliki visi, tujuan serta cita cita yang dirancang secara konstruktif. Mensejahterakan rakyat harus menjadi tujuan yang utama. Unsur skala prioritas harus dikedepankan. Anggaran belanja negara jauh lebih pas bila dialokasikan untuk kepentingan real seperti menyelanggarakan sekolah gratis, membuka lapangan kerja baru atau mendirikan rumah sakit cuma cuma. Kearifan mengelola anggaran adalah cermin atas sikap egalitarian elit yang sesungguhnya. Kedua, seperti dikatakan oleh Prof. Dr. D.H. Burger ahli kebudayaan Jawa dari Belanda, wayang menyiratkan nilai nilai Riderlijk Cultuur atau budaya ksatria. Seperti Bima seorang pemimpin adalah penjaga martabat diri dan bangsanya. Dalam konteks global ia tak hanya manut dan menurut pada kekuatan adi kuasa tapi memainkan posisi tawar dengan kemampuan diplomasi yang cakap. Sikap tegasnya akan mengangkat harga diri bangsanya bahwa ia bukan budak, bukan pula jongos Negara Negara besar. politik bebas akitfnya tak sekedar menjadi retorika kosong tapi menggambarkan keberanian mengambil posisi atas nilai nilai keadilan dan pembelaan pada bangsa bangsa ditindas. Inilah dua inti dari istilah bisa ngapung, yakni gambaran pemimpin yang dapat menggenggam dengan erat martabat diri dan bangsanya baik dinegrinya ataupun dipentas dunia. Menyongsong Momentum Perubahan Belajar dari nilai nilai kearifan wayang adalah suatu keniscayaan. Darinya seorang pemimpin bisa berkaca diri dengan segala kerendahan hati kemudian mulai melangkah untuk merekonstruksi bangsanya. Diharapkan dapat terjadi kesadaran nilai nilai saat mereka sedang menduduki suatu jabatan tertentu. Segala macam pencitraan dan sikap bermewah mewah diharapkan dapat diganti dengan satu kata yang amat sederhana namun masih terbilang langka dinegri ini, pengabdian yang tulus dan total. Mensejahterakan Indonesia memang pekerjaan sulit. Tapi rasa optimis akan bergulirnya perubahan musti tetap dijaga dalam diri. Seperti disampaikan diatas, mulai berbuat dengan tindakan nyata ialah langkah yang musti ditempuh. Kita tak bisa lagi mengulur waktu dan menunggu bila memang menghendaki perubahan terjadi dengan segera disegala lini di negri ini. “Let me fasten my seat belt, and I’am now ready to take off,” ujar Kartini Sjahrir dalam ‘Soe Hok Gie Sekali Lagi’ dan mulai bergeraklah. Sampurasun. Daftar Pustaka 1. Prasetyo, Eko, 2006. INILAH PRESIDEN RADIKAL, Yogyakarta. Resist Book 2. Fadhly, Fahrus Zaman, 1999. MAHASISWA MENGGUGAT: Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, Bandung. Pustaka Hidayah 3. Badil, Rudi, Luki Sutrisno Bekti dan Nessy Luntungan R.2009, Soe Hok-gie sekali lagi, Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. Jakarta : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) 4. http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/30/267/serat_saking_tanah_jawi_bagian_1 5. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20070201112437 6. http://id.shvoong.com/books/1945041-nilai-nilai-kearifan-budaya-wayang/ 7. http://bataviase.co.id/content/wayang-yang-sayang-di-lupakan 8. http://sabdalangit.wordpress.com/2009/02/27/wayang-upaya-menggapai-rahsa-sejati/ 9. http://antikorupsi.org/indo/content/view/16100/6/ 10. http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/2010/8/3/52385/117-juta-anak- indonesia-putus-sekolah 11. http://www.mediaindonesia.com/read/2009/12/12/114198/4/2/Angka-Pengangguran-2010-Diprediksi-Turun 12. http://penggemarwayang.blogspot.com/2009/02/tokoh-pewayangan-ajarkan- karakteristik.html 13. http://www.kaskus.us/showthread.php?p=255189280

Komentar

Postingan Populer