Kata Pengantar buku REPUBLIK SONTOLOYO: Manifesto Karavan Keabadian



Sejatinya ‘Republik Sontoloyo’ disusun untuk merangkum sekelumit peristiwa dari berbagai macam dimensi agar menjadi bahan renungan, katalisator untuk berkontemplasi
dan wadah merefleksikan diri bagi kita pada hari ini dan bagi anak cucu kita nanti. Mengail hikmah dari banyak kejadian, lalu dapat belajar dengan segala kearifan darinya ialah suatu kebijaksanaan. Bila tiap kekeliruan, kealpaan bahkan kebebalan lelaku musti dipenggal sama sekali. Bila tiap kebodohan dan kemaha-tololan tindakan harusnya tak diulang lagi.

Terlebih bila bicara pada tataran lebih luas, kita menyaksikan semacam pertunjukan sirkus yang teramat konyol. Diatas panggung pertunjukan kawanan badut dengan rupa rupa topeng memainkan lawakan yang terlampau garing untuk ditertawakan. Badut itu bernama oknum ‘Mahasiswa’, yang tak bisa berdemokrasi dengan cara cara elegan. Mereka memilih untuk mengintimidasi dan mengancam lawan politiknya. Lebih jauh, jangankan membahas isu isu strategis seperti pendidikan gratis atau membuka lapangan kerja baru. Yang ada ialah ‘banci banci salon’ yang lebih doyan mengurusi persolan persoalan fun dan happy happy. ‘Mahasiswa’ nyatanya telah melakukan bunuh diri sosial yang amat tragis, lantaran menempatkan diri mereka diatas menara gading yang Sama sekali tak bersentuhan dengan kepentingan masyarakat, induk semangnya.

Ditataran elit, para pejabat melakukan kekonyolan serupa. Mereka bertingkah ibarat minyak dan air bila berhadapan dengan rakyat. Ketika dibawah rakyat memanut penuh monoloyal diatas pejabat justru bertingkah monoroyal. Kasus mobil dinas mewah Kabinet Indonesia Bersatu jilid II atau rencana pembangunan gedung DPR baru, merupakan sedikit contoh bila pejabatkita merupakan pejabat yang lebih memilih untuk memperturutkan libido bermewah mewahnya ketimbang menjadi negarawan yang membumi.


Ya kawan, buku ini disusun untuk memetakan zaman kita. Zaman dimana keborokan nilai nilai telah berurat dan berakar. Penjahat, bromocorah, mafia dan tukang menjilat nyatanya makin berjaya pasca gerakan reformasi yang heroik dan berdarah darah itu. Diatas genangan darah korban kerusuhan Mei dan para Mahasiswa yang ditembak kemarin dulu, saat ini mahasiswa mahasiswa oportunis berlaga sok suci, namun sejatinya mereka adalah bajingan bajingan tengik, tukang tukang cari muka pada dosen dan tukang menyontek pula waktu ujian. Dihadapan selaput dara perempuan perempuan Tiong Hoa yang diperkosa, para pejabat sangat pandai menggoyang dangdut masa kampanye. Mereka lihai memberikan mimpi dan angan angan kosong. Ketimbang merumuskan konsepsi lalu bertindak nyata.

Ya Kawan, buku ini adalah kesaksian sejarah. Sejarah bangsa yang bebal dan dungu. Dikatakan bebal, lantaran badut badut pemerannya adalah para intelektual, mereka yang sedang kuliah dan lulusan perguruan tinggi.

Kelak anak cucu kita membaca kembali buku ini, dapat belajar banyak soal generasi kita saat ini. Generasi yang sedang lesu vitalitas dan loyo nilai nilai. Yang serba transaksional dan kompromistis dengan menghambakan segenap jiwa pada materi. Saya tak tahu apakah nanti zaman akan lebih baik atau lebih buruk dari sekarang. Tapi harapan saya semoga buku ini dapat menjadi kawan pengiring yang setia bagi mereka untuk memilih jalan yang semustinya mereka pilih. El camino dela perdad, kata Sub Comandante Marcos, Jalan para pahlawan, jalan para pejuang, jalan para pengambil risiko yang mempertaruhkan segalanya atas apa apa yang mereka yakini benar. Bukankah sejatinya keyakinan adalah hal paling asasi. Dan karena itulah anak cucu kita tak menggadaikannya meski diimingi materi selangit. Bukankah pada hakikatnya, memiliki intelektual yang tak bisa dibeli sama artinya dengan memiliki pemerintah tandingan. Dan itulah yang kemenangan para intelekual yang paling sejati. Gerenasi setelah kita, kan berbaur pada zamannya tapi semoga tak latah membebek dan ikut ikutan lebur. Adalah pada waktu kita berharap, untuk memberikan pembuktian, mereka jauh lebih baik dari kita semua.

Sedang bagi kita yang menjalani zaman ini, jaman kita sendiri, sudah tiba masa untuk melalukan oto kritik. Bukan seberapa besar diri kita untuk merubah keadaan, tapi seberapa tindakan nyata yang telah kita korbankan untuknya. Berpangku tangan dan melamun adalah pekerjaan para pemimpi. Memaki maki dan marah adalah pekerjaan orang orang frustasi. Tika yang lain sedang selebor memabuki zaman, sudah selaiknya kita insyaf. Kemudian mulai menggagas ide, karena perubahan bisa dimulai dengan tersemainnya gagasan. Berdiskusi dengan kawan kawan lalu mulai terjun dimasyarakat. Kendati hanya dengan sekeping koin, kendati hanya dengan selembar selendang usang, kita musti pula merasai perih luka dan rajam kemiskinan kebanyakan saudara sekandung bangsa kita. Diatas segalanya, apalah yang lebih nikmat bagi seorang intelektual selain telah memenuhi panggilan jiwanya.

Semua tulisan dalam buku ini sudah saya publikasikan melalui blog pribadi saya yaitu blogspot dan kompasiana, media cetak dan online serta ada pula yang memang belum sempat dipublikasikan kemudian masuk didalamnya. Sebagian tulisan dalam buku ini, pernah pula memenangi lomba lomba menulis. Setelah melakukan penyeleksian, maka terhimpunlah tiga bab didalamnya. Ditulis dari awal 2007 sampai akhir 2011. Pada Bab I membahas isu isu kemahasiswaan, Bab II membahas isu isu nasional dan internasional dan Bab III membahas seni budaya dan suka suka, yakni tulisan bebas non artikel dengan tak melupakan sikap kritis membangunnya.

Saya ucapkan pada kawan semua selamat membaca. Yang tertulis akan abadi dan selebihnya akan sirna ditelan pusaran waktu. Maka, dengan membaca buku ini saya mengajak kawan kawan untuk bergabung dalam karavan panjang keabadian. Yang hidup dalam damai dengan bersampir kehormatan dan kebesaran jiwa. Tabik!


Komentar

Postingan Populer