Konsep Idealisasi Perpustakaan Kita


Menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang ramah bagi siapapun untuk dikunjungi merupakan tantangan tersendiri. Bukan rahasia, jika kenyataanya perpustakaan diidentikan dengan tempat yang kolot dan kaku seperti museum. Hanya orang orang memiliki kepentingan tertentu seperti mencari bahan untuk menulis artikel, mengerjakan tugas kuliah atau skripsi yang mengunjunginya.

Sedang masyarakat umum, dari segala profesi seperti ibu rumah tangga, anak anak, orang tua, pedagang, buruh dan pekerja sepertinya amat langka dijumpai di perpustakaan. Kita tentu tak menghendaki perpustakaan hanya ‘dimiliki’oleh sebagian pihak saja’. Musti ada upgrading kualitas agar kehadirannya dapat mengakomodasi kepentingan semua kalangan.

 Problema Minat Baca
Lesunya tingkat kunjungan ke perpustakaan tercermin dari Laporan Human Development Report yang dikeluarkan UNDP pada 2008/2009.  Di mana disebutkan bila minat baca bangsa Indonesia menduduki peringkat 96 dari negara negara di seluruh dunia. Hal yang dapat membuat miris tentu saja. Karena terjadi saat pemerintah sedang gencar mengkampanyekan wajib belajar 9 tahun.

Memang terdapat alasan mengapa budaya baca jadi demikian lesu di Indonesia. Faktor kemiskinan berada pada urutan pertama. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data pada 2008, di Indonesia terdapat 32,8 juta rakyat miskin. Seperti disampaikan Anggota Komisi I DPR RI Tantowi Yahya, aktiftas baca memilki kaitan dengan kemampuan masyarkat dalam membeli buku atau koran.

Hal lain adalah faktor ekspansi informsi. Ekspansi informasi yang menyerang melalui media mainstream dapat menyebabkan blunder bagi mereka yang tak dapat waspada. Sifatnya yang audio visual jauh lebih menarik ketimbang lembaran buku yang tebal dan kaku. Terbukti berdasarkan data BPS yang dirilis pada 2006, masyarakat kita lebih banyak menonton televisi TV (85,9%) dan mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%) dalam mengakses informasi.

Adapun faktor terakhir adalah karena mandulnya fungsi perpustakaan sendiri. Masih terdapat anasir anasir negatif bila kita mendengar kata perpustakaan. Seperti disampaikan di atas, kesan kolot dan kaku langsung tergambar bila langunjungi tempat yang satu ini. Kemudian masalahnya diperparah dengan minimnya program alternative yang digagas oleh pengelola.

Perpustakaan Ideal
Bila menghendaki perubahan sudah selaiknya perpustakaan perpustakaan kita berbenah. Hal paling esensial yang mula mula musti direalisasikan ialah mengubah paradigma. Ikhtiar yang dapat ditembuh ialah menjadikan perpustakan bukan hanya sebagai tempat menyimpan dan membaca buku tapi juga sebagai learning center  atau pusat belajar. Harapan besarnya adalah tercipta kesadaran di masyarakat bila perubahan bisa digagas dan diraih dengan cara meningkatkan pengetahuan. Pencerahan intelektual menjadi sasaran utamanya. Mereka yang datang tak lagi bersifat insdental tapi benar benar menjadi pengunjung yang loyal karena dapat menemukan solusi atas persolan persoalan yang sedang mereka hadapi. Dengan begitu setiap orang merasa terwakili kepentingannya.

Karenanya guna mewujudkan cita cita tersebut, selaiknya perpustakaan di tanah air mengejawantahkan tindakan nyata dalam tiga hal berikut,

1. Pembenahan Sarana Fisik
Dalam hal ini kita dapat belajar dari Perpustakaan Iskandariah Mesir. Setelah 20 abad porak porandari lantaran dibakar pasukan Julius Caesar, kini Isknadariah berdiri lebih megah dibanding sebelumnya. Yang menarik, selain dapat menampung delapan juta judul buku, terdapat pula berbagai fasilitas pendukung yang lengkap. Seperti 500 unit komputer berbahasa Arab dan Inggris untuk mempermudah mencari katalog buku. Adappun pada ruang bacanya dapat menampung sebanyak 1700 orang. Fasilitas tambahan lain adalah ruang konfrensi, ruang Khusus tuna netra, pustaka bagi anak-anak dan museum manuskrip kuno.

Dari Iskadariah kita dapat belajar bila totalitas dan dedikasi yang utuh dapat mewujudkan cita-cita memiliki perpustakaan ideal. Meski levelnya tak serta merta menyamai perpustakaan tertua di dunia itu,  paling tidak kita dapat mengambil ancang ancang soal langkah apa yang dapat dilakukan untuk membenahi perpustakaan perpustakaan kita. Klaim pemerintah soal 20% anggaran pendidikan musti diwujudkan dalam bentuk investasi jangka panjang dibidang kepustakaan.



2. Meningkatkan Kualitas Pustakawan
Sebagai front liners pustakawan musti sadar akan esensi sigma kepuasan pelanggan, meski perpustakaan adalah lembaga nonprofit, tapi membuat pengunjung loyal untuk datang perpustakaan adalah tantangan tersendiri bagi mereka.  Guna mewujudkan hal itu, para pustakawan dapat bercermin dari filosofi The Pike Place Fish, tempat perdagangan ikan di pasar rakyat Seatle Amerika Serikat.  Di sana terdapat empat nilai motivasi yang selalu dipraktikan oleh para pekerjanya.  Diantaranya,

• Kesenangan
Profesionalitas muncul dari antusiasme. Sedang antusiasme muncul dari rasa senang. Seorang pustakawan adalah ia yang gembira melaksanakan tugas tugas kepustakaanya. Karena sadar bila dirinya adalah bagian dari perubahan atas bangsanya menuju arah yang lebih cerdas dan kreatif.

• Cerahkan hari-hari pengunjung
Dengan pelayanan yang penuh dedikasi, total dan ramah membuat potensi pengunjung datang kembali keperpustakaan amat besar. Bisa jadi koleksi perpustakaan masih minim, tapi dengan sikap positif yang ditunjukan pustakawan, pengunjung akan merasa amat nyaman karena orang yang melayani mereka begitu akrab, ramah dan simpatik.

• Siap melayani
Seorang pustakawan musti menempatkan dirinya pada posisi pengunjung. Kesan berbelit belit dan birokratis musti pula dihapuskan. Selain menambah jumlah pustakawan profesional untuk mengantisipasi membludaknya pengunjung yang akan meminjam atau mengembalikan buku, merekapun sejak dini mesti menyadari prinsip dasar pelayanan, “Kalau bisa dipermudah kenapa harus dipersulit.”

• Tentukan sikap sebagai pustakawan
  Pustakawan mempunyai komitmen serta visi dan misi untuk selalu mengembangkan perpustakaan. Darinya diharapkan muncul gagasan gagasan menerobos untuk menjaga eksistensi Perpustakaan agar tetap bisa bersaing dengan pengaruh media mainstream. Perubahan disikapi dengan kecakapan berpikir dan berwacana hingga kesan dinamis tak lekang dari Perpustaan meski waktu terus berputar.

3. Membuat Program Alternatif
Undang undang Republik Indonesia Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 pasal 3 tentang perpustakaan menyebut bahwa perpustakaan tak hanya berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian dan informasi semata tapi juga wahana untuk berekreasi, di mana tujuannya ialah untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa.

Karena itu kesan fun musti dikembangkan oleh pihak Perpustakaan. Perlu dibuat program program alternatif yang dapat meningkatkan kunjungan dan minat baca. Tiap segmen usia memiliki programnya masing masing. Untuk kalangan anak anak kita dapat mencontoh perpustakaan di Delf Belanda. disana anak anak selain membaca buku, dapat pula mengikuti sejumlah aktifitas. seperti lomba menggambar dengan tema tertentu. Di lain kesempatan untuk memperingati wafatnya pengarang Annie M.G. Schmidt, diadakan lomba mewarnai tokoh Floddertje yang merupakan figur karangan Annie.

Hal ini dapat kita terapkan di tanah air agar kunjungan pada segmen anak anak dapat meningkat dan menepis anggapan selama ini bila yang datang ke Perpusnas hanya kalangan tertentu saja.

Sedang untuk segemntasi orang dewasa, Kita dapat belajar dari YPPI (Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia). Dengan mendirikan 13 TBM (Taman Bacaan Mayarakat) fungsinya bukan hanya menjadi tempat mengkaji ilmu. Tapi juga memiliki usaha produktif, seperti membuat makanan kecil, pupuk organik, kerajinan tangan dan sebagainya. Selain dapat menambah ilmu, masyarakat yang datang dapat pula menambah penghasilan.

Pihat perpustakaan tentu tak dapat bergerak sendiri. Kontribusi dari berbagai kalangan musti digalang, baik dari pihak individu ataupun LSM LSM penggiat pendidikan. Dedikasi para aktifis LSM misalnya tak dapat diragukan lagi. Selama ini, meski tanpa ada yang meminta dan membayar mereka dengan penuh kesadaran sudah bergerak sendiri untuk berbuat nyata bagi lingkungan.

Menjadikan perpustakaan sebagai tempat yang ramah bagi siapapun tak lagi sebatas asa. Bila ada itikat dari semua pihak hal tersebut dapat segera diwujudkan. Dengan begitu kehadirannya tak sebatas untuk tempat membaca, tapi juga menjadi pusat belajar. Tempat menemukan solusi atas segala permasalahan dengan tetap menjaga keramahan dan semangat funnya.







Daftar Pustaka
1. Al-Malaky,Ekky.2003.Remaja Doyan Filsafat? Why Not.Bandung. Penerbit DAR, Mizan
2. http://oase.kompas.com/read/2010/10/29/01404039/Faktor.Ekonomi.Pengaruhi.Minat.Baca
3. http://edukasi.kompas.com/read/2010/05/17/18153173/Nasib.Perpustakaan.Daerah.
4. http://www.dapunta.com/teknologi-informasi-dan-citra-pendidikan.html
5. http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/05/02/92540/Perpustakaan-Nasional-Makin-Dilupakan-Orang
6. http://writingsdy.wordpress.com/2007/06/01/mengatasi-rendahnya-minat-baca-di-indonesia/
7. http://duniaperpustakaan.com/2010/03/14/menggagas-perpustakaan-modern-di-masa-depan-strategi-pemanfaatan-teknologi-informasi-melalui-kreativitas-pustakawan/
8. http://hendrinova.blogspot.com/2010/09/koin-ilmu-untuk-membangun-perpustakaan.html
9. http://emakannisa.multiply.com/journal/item/4/Perpustakaan_dan_Minat_Baca_di_Belanda
10. http://pritahw.multiply.com/journal/item/25
11. http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/06/08/brk,20100608-253596,id.html
12. http://blog.unsri.ac.id/admin/sumatera-selatan/galakkan-minat-baca-bangun-perpustakaan-lingkungan/mrdetail/1011/

Komentar

Postingan Populer