Pertanda



           Gamang perasaan Juita malam ini. Hujan yang terus mengguyur sejak petang tak membuat hatinya sejuk. Sebaliknya, ia justru merasa makin gerah. Pasalnya pada saat hujan pula Lilian minggat empat hari lalu. Gadis itu mengemasi pakaiannya dalam ransel yang biasa ia pakai kalau camping bersama kawan-kawan pencinta alamnya di kampus. Satu tamparan keras di pipi sudah cukup tuk membuat ia melupakan rumah.

            Dihisapnya rokok dalam-dalam. Asapnya mengepul ke langit-langit kamar. Sayang, hati Juita tak juga tenang. Ia terus memikirkan puterinya itu. Bagaimana ia sekarang? Dengan siapa? Sedang apa? Bayang-bayang kecemasan makin lama makin tebal. Bertumpuk di pelupuk mata, menjadi selimut dan membuatnya terlelap.

            Dalam tidurnya Juita bermimpi, pada suatu sore, ketika matahari meredup dan malam mulai mengelambui rumahnya, entah dari mana tiba-tiba datang seekor kupu-kupu. Kupu kupu itu cantik bukan buatan. Sayap bagian depannya berwarna orange cerah, sedang di sekitanya dilingkupi oleh saputan warna hitam pekat. Totol-totol putih genit di ujungnya membuat kecantikannya makin tak terbantahkan. Jenis Apodemia Mormo Langei kah? Entahlah.

            Juita yang kala itu bersandar di sofa ruang tengah, segera bangkit. Maksud hati hendak menangkapnya. Akan menarik bila ia memasukannya dalam botol dan menjadikannya hiasan. Tapi kupu-kupu itu lebih sigap, ia terbang dan hinggap di atas lampu kristal. Juita menjinjitkan kedua kaki lalu menjulurkan tangan kanannya ke atas, namun sayang jangakauannya terlalu pendek.

            Tak habis akal kini ia naik ke atas sofa, namun lagi-lagi belum berhasil. Lalu diambilnya sebuah kursi dan ia letakan di atas meja. Dengan begitu posisinya menjadi jauh lebih tinggi. Pelan-pelan Juita menaiki kursi itu. Saat berdiri dengan tegak, maka tampaklah kupu-kupu itu. Tangan kanan Juita menjulur ke depan sedang tangan kirinya menjaga keseimbangan. Namun ketika hendak menangkapnya, tak diduga tiba-tiba muncul getar dari dasar bumi karena getaran itu seluruh rumahnya seolah akan ambruk. Juitapun lepas pijakan dan tubuhnya  terpelanting ke tanah. Anehnya Di bawah sana ternyata bukan lagi lantai rumah seperti yang ia selalu pijak saban hari, tapi sebuah jurang dengan kobaran api maha dahsyat. Juita terjun bebas ke dalam sana. Dengan panik ia meminta tolong pada Lilian, namun puterinya itu tak nampak, entah ia ada di mana. Hingga, saat bulat-bulat tubuhnya akan menyentuh api, Juita siuman. Keringat bercucuran di kening, napasnya naik turun. Hatinya makin gamang.

***

            Nyatanya mimpi itu tak datang hanya sekali, tapi berkali-kali. Saban terjaga dari mimpinya Juita langsung teringat pada putrinya. Bayang-bayang dari rasa cemasnya kah? Juita coba tak ambil pusing. Ia tidak percaya hal-hal tak masuk akal macam itu.

             Genap seminggu Lilian hilang. Kawan-kawan Lilian sewaktu SMA yang sering berkunjung ke rumah sudah ia hubungi. Namun jawabannya nihil. Catherine bilang tak tahu menahu di mana keberadaanya. Saat menutup telepon samar-samar masih terdengar bunyi musik berdentum di ujung sana, ditingkahi tawa beberapa orang perempuan yang renyah. Begitu juga Amanda, malah bukan dirinya yang mengangkat panggilan, namun seorang pria asing. Siapa pula lelaki itu? Seingatnya Amanda belum menikah dan ngekost sendirian di daerah Karang Setra. Lagi pula saat ini ia masih kuliah sebagaimana Lilian. Hanya yang pasti lelaki tersebut dengan ketus mematikan sambungan sebelum Juita bertanya lebih jauh.

            Lagi sebatang rokok ia hisap di ruang tengah. Ditambah satu tegukan Chateau Margaux, Anggur ekstra Eksklusif dari Prancis, semoga reda gundahnya. Tapi ternyata tidak. Bayang bayang Lilian justru menghantui pikirannya. Minggu lalu ia bermaksud melapor ke Polisi. Siapa tahu Lilian telah menjadi korban penculikan, dicuci otak atau dihipnotis. Tayangan di televisi itu, terbitan di koran pagi itu, tampak amat mengerikan memberitakan hal-hal tersebut. Bagaimana kalau nanti Lilian pulang, bertingkah seperti orang hilang akal. Lupa nama lupa rumah. Bukankah hal macam itu yang sering ia saksikan hampir saban hari? Namun niat melapor itu urung. Karena beberapa hari terakhir Juita musti terbang ke Bali. Menghabiskan lima hari di Denpasar, betemu investor dari Taiwan tuk membuka hotel baru di kawasan Ubud. Bisnis hotelnya di Bandung berkembang pesat dan ia kini ingin membuka hotel kedua disana. Juita butuh suntikan dana segar.

            Sepulang dari Denpasar, niat itu tak kunjung ia tunaikan. Yang ada perasaanya tambah tak keruan hingga ia bosan bila lama lama berada di rumah. Perjalanan yang mustinya menjadi semacam rekreasi itu rupanya tak mampu pula membendung kegundahannya yang terus mengunung. Maka malamnya Juita menghidupkan mesin mobil. Kira-kira Pukul dua puluh dua, toyota inova itu melaju dari kompleks perumahan di Setia Budi ke arah Suka jadi. Melewati Paris Van Java lalu berhenti di perempatan jalan Pasteur, lampu merah menyala di hadapan. Padangan Juita nanar dalam mobil. Pandangan itu kosong, seperti tak ada jiwa di dalamnya. Rasa lelah menggelayuti sekujur tubuhnya, sedang matanya terasa makin berat.

            Antara sadar dan tidak, ia melihat seekor kupu-kupu hinggap di kaca luar mobilnya. Kupu-kupu yang berkali-kali ia lihat dalam mimpi. Ia amat manis hingga Juita bermaksud menangkapnya. Tapi ketika tangan kanannya menjulur dari arah kemudi ke kaca di mana kupu-kupu itu hinggap, tiba-tiba suara klakson menyalak. Seketika kupu-kupu itu lenyap dari pandangan dan lampu lalu lintas berubah kembali menjadi hijau. Mata juita terkerejap. Astaga. Ia ketiduran tadi

            Mobil Juita kembali melaju. Ia melewati Istana Plaza di jalan Pajajaran, terus lurus hingga melewati halaman depan SMA 6. Di ujung sana ia belok kiri ke pasir kaliki Hyper Mall. Dunia gemerlap telah menanti, menjadi pelampiasan rasa gundahnya. Hingga nanti subuh ia pulang dengan mata berat diselingi sendawa.

***

            Apa yang tak diberikannya pada lilian? Uang? Mobil? Pendidikan? Semua hanya untuknya. Tapi anak itu memang telah berubah rupanya. Apalagi sejak masuk kuliah. Lilian telah menjadi sosok yang amat berbeda. Ia lebih sering mengenakan pakaian longgar. Lengan baju itu menjulur sampai pergelangan tangan. Sedang rok yang dikenakannya menyentuh mata kaki. tak ada lagi pulasan gincu di bibir, tak ada lagi saputan bedak di pipi. Kawan kawannya kah yang memberi pengaruh? Organisasi yang diikutinya? Atau siapa? Juita tak tahu pasti.

            “Kalau ada waktu, sekali kali kita pengajian ke Masjid Agung” kata Lilian tempo hari. Juita tersedak mendengar kata-kata itu. Tapi ia menahan agar air mineral dalam mulutnya tak keluar lagi. Dihipnotiskah dia? Dicuci otakkah dia hingga berkata macam demikian? Lalu Lilian pun meninggalkan rumah dengan mengenakan kerudung selebar pinggang dan menyandang Al’Quran di dadanya. Sedang Juita berkemas. Pekerjaan telah menantinya di kantor. Ia tak menjawab apapun saat Lilian mengucapkan salam.

             Lain waktu bisa-bisanya ia memberi nasehat agar ia jangan pulang subuh-subuh lagi. Bagaimana bisa? Ini bukan soal etika, karena Juita tahu benar bila perempuan pulang hampir saban subuh sendirian akan membuatnya dicap tak beretika. Ini soal lain yang jauh lebih dari sekedar hiburan. Relasi justru terjalin pada saat-saat fun. Para eksekutif, manajer pemasaran bahkan Grand Manajer tak jarang mengikat kerjasama dengannya di dunia gemerlap itu. Bukankah sedari SMA Lilian juga suka hura-hura bersama kawan-kawannya hampir saban malam? Tapi kini, begitu tahu Juita pulang dengan bersendawa, Lilian masuk dalam kamar lalu menutup pintu.

            Karena itu pula belakangan mereka berdua sering cekcok. Terakhir, Lilian menyaksikan Juita membawa pulang seorang lelaki yang jauh lebih muda darinya ke rumah. Subuh itu mereka berpelukan di  sofa ruang tengah. Lilian yang baru bangun tidur sekonyong konyong membentak mereka. Bukankah perempuan dan laki-laki dilarang bersentuhan kulit apalagi berasik mahsyuk berdua? Ah Lilian, lucu sekali dia. Padahal Juita juga tahu benar kelakukannya dengan mantan pacar pacarnya sewaktu SMA.

            Lilian mengusir Laki laki itu. Tahu pasangannya dipermalukan, Juita membela. Ia melayangkan satu tamparan keras dan segalanya menjadi serba hening. Lilian bungkam, ia masuk kamar dan samar-samar terdengar isakan dibalik pintu. paginya, saat matahari belum menyembul karena awan pekat berjejalan dihadapannya sedang hujan turun dengan deras, Lilian sudah tak ada lagi di rumah. 

***

            Pukul delapan tiga puluh pagi saatnya bekerja. Juita memeriksa Inbox sms dan facebook, dengan harapan semoga saja Lilian menghubunginya. Namun seperti yang ia duga tak ada apa-apa di sana. Setelah sarapan Juita menghidupkan mesin mobil dan meluncur ke hotelnya yang terletak di kawasan Cikutra.

            Jalanan mulai padat pagi itu. Matahari meninggi, sinarnya seperti mengigit-gigit kulit Juita dibalik kemudi. Ia musti berhati-hati pula karena para pengedara motor terkadang menyalipnya tanpa memberi klakson terlebih dulu. Mobil itu melaju melewati Gandok ke arah jalan Ganesha. Sepanjang melintasi samping luar kampus ITB suasana menjadi amat sejuk karena pohon-pohon yang dua kali tingginya dibanding tiang listrik, merumbaikan dedaunan rimbun. Mereka serupa raksasa-raksasa yang dalam  The Lord of the Rings: The Return of the King, agung, kokoh, bahkan menakutkan bila malam datang dan siang tergelincir. Sampai di Taman Sari ia belok kiri menuju arah Pusdai. Namun ketika ia akan berbelok, tak ia duga seekor kupu-kupu hinggap di kaca depan mobilnya. Mimpi lagi kah ia kali ini? Juita mengucek-ngucek matanya, ia dalam keadaan sadar. Sedang kupu-kupu itu begitu lincah terbang dari satu sisi ke sisi lain kaca depan mobilnya.

            Pandangannya teralihkan dari arah jalanan pada kupu-kupu itu. Sialnya, karena tak fokus mobil Juita oleng. Ia hilang keseimbangan dan menambrak trotorar di simpang Dago. Suara benturan itu membuat para pengedara lain kaget hingga melirik kearah mobilnya. Kaca depan pecah sedang bagian depan mobil bopeng. Mesin mengepulkan asap hitam ke udara. Beruntung Juita mengenakan sabuk pegangaman hingga kepalanya tak terbentur dashboard. Dengan geram ia membuka pintu dan berniat menangkap kupu-kupu itu. Tapi ia kalah sigap, karena sang kupu-kupu terbang lebih dulu. Ia menyebrangi perempatan jalan dengan sayap kecilnya. Juita mengikuti. Tak ada ampun lagi pikirnya dalam hati. Ia ingin meremas remas kupu-kupu itu sampai remuk kalau nanti ia mendapatkannya.

            Juita Terus mengejar. Para pengedara motor dan pejalan kaki keheranan melihat tingkahnya. Tapi peduli amat pikir Juita, ia sudah terlanjur kesal. Saat kupu-kupu itu hinggap di batang pohon juita menerkamnya, tapi ia dengan licin terbang lagi. Begitu terjadi berulang kali hingga keduannya sampai ke jalan Diponegoro. Kupu-kupu itu terbang hingga ke depan pintu gerbang Pusdai. Ia menuju suatu arah di mana terdapat orang-orang berkerumun di depan sana. Juita mengurai kecepatan larinya. Sedang kupu-kupu itu mendekati mereka. Makin lama makin dekat. Lalu hilang di antara tubuh-tubuh yang saling bedesakan itu. Penasaran, Juitapun mendekat. Ia masih ingin menagkap kupu-kupu itu. Siapa tahu kalau berada di tengah kerumunan, dengan mudah ia mendapatkannya. 

            Susah payah Juita merangsek, susah payah ia mengerahkan segenap tenaga. Hingga tampaklah kupu-kupu itu. Ia hinggap diatas tubuh perempuan berjilbab putih sepinggang yang tertelungkup di trotoar. Tubuh itu tampak mengenaskan lantaran terbujur dengan darah bersimbah d itubuhnya.

            Juita lama menilik-nilik, memerhatikan, dan mengingat. Wajah itu meski dibalut oleh jilbab mengingatkannya pada seseorang. Pada.... Ya tuhan! Ketika sadar, kontan Juita berteriak, “Lilian!” ia mendekati puterinya itu. Didekapnya Lilian erat-erat.  Darah Lilian lekat pada baju yang ia kenakan. Setelah sekian lama hilang, ia menemukannya dalam keadaan seperti ini. “Tertabrak mobil saat akan ke masjid” kata salah satu dari mereka sebari berbisik bisik. Orang-orang membopong tubuh Lilian ke tempat yang lebih aman. Di gerbang Pusdai beberapa petugas masjid membersikan luka-lukanya.

            “Mama...” katanya. Lilian terisak. Juita menatap lekat-lekat wajah penuh luka raca itu. Setelah mengucapkan kata yang hanya sepatah, Lilian tersengal, menarik napas panjang dan menghembuskan napasnya yang penghabisan. Tangis juita meledak. Orang-orang menahan napas sejenak.

***

             Para pelayat pulang setelah menyalami juitan dan mengucap bela sungkawa. Jasad Lilian terbujur di ruang tengah. Kata salah seorang petugas Masjid yang ikut mengantar, Lilian sudah seminggu menginap di sana. Saban pagi ia berangkat kuliah dan sorenya ia tidur di masjid. Ketika ditanya oleh para jamaah perempuan sebanyanya kenapa ia tak pulang ke rumah. Lilian menjawab dengan senyuman dan berkata, “Nanti, nanti saya pulang”


            Ia termenung mendengar cerita tersebut sembari menatap jasad Lilian. Hatinya perih bila menengok kembali segalanya ke belakang. Air mata tak surut menyimbahi pipinya. Ia mengusap air mata itu. Ia mengambil air wudhu yang sudah entah berapa lama tak menyimbah wajahnya, lalu bersama para pelayat yang masih bertahan ia bersimpuh di hadapan jasad Lilian.

            Saat itu, entah dari mana seekor kupu-kupu hinggap di pundaknya. Kupu-kupu itu lagi. Yang tempo hari datang dalam mimpinya, yang susah payah ia coba tangkap, justru kini datang sendiri. Juita mengusap sayap kupu-kupu itu. Rasanya lebut sekali. “Terima kasih.” Katanya.“Mulai saat ini kau kuberi nama Lilian.”  Seperti mengerti Kupu-kupu itu mengepakkan sayap. Ia bertengger di bahu Juita hingga segalanya kembali menjadi sepi, dirinya menjadi saksi atas kedukaanya. Menjadi saksi pula saat kali pertama perempuan itu merapalkan doa yang sudah lama ia lupa.


 

Komentar

Postingan Populer